Jumat, 07 Juli 2023

Sejarah dan Politik Pembangunan (A Translation)

The Concept of Development

Terdapat banyak pembicaraan tentang kata 'pembangunan'. Kita pernah mendengar istilah 'proyek pembangunan', 'petugas pembangunan', 'negara kurang berkembang', 'negara berkembang', 'negara maju'; ada 'Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan' (bagian dari Kelompok Bank Dunia), UNDP, dll., dll.

Tapi apa yang dimaksud proses 'pembangunan' ini? Apa yang diandaikan dalam penggunaan kata tersebut? saya mungkin akan berbicara tentang asal-usulnya dalam pemikiran Barat karena memang konsep 'pembangunan' tertanam kuat dalam tradisi Barat. Salah satu pertanyaan sentral yang perlu direnungkan adalah apakah konsep 'pembangunan' secara intrinsik bersifat etnosentris, atau dapat dilepaskan dari asal-usulnya.

The Biological Metaphor

Konsep pembangunan berasal dari pemikiran Yunani Kuno tentang biologi. Perkembangan (pertumbuhan, pematangan) adalah proses di mana makhluk hidup mencapai potensinya — melewati tahap 'belum berkembang' (misalnya, benih) ke bentuk 'berkembang penuh' (misalnya, pohon).

Pemikirannya adalah bahwa setiap spesies makhluk hidup memiliki sifat khasnya sendiri, dan perkembangan adalah proses pemenuhan potensi alam itu. Jika suatu organisme gagal berkembang, itu berarti ada yang tidak beres (misalnya, tidak adanya nutrisi yang tepat telah 'mengerdilkan' tanaman tersebut).

Pembangunan dengan demikian merupakan gagasan tentang suatu proses yang memiliki arah (bersifat progresif; berjalan satu arah); bersifat kumulatif (tahap selanjutnya dibangun di atas tahap sebelumnya); dan ada kecenderungan pendapat yang kuat bahwa pembangunan adalah hal yang baik: sebuah gerakan dari keadaan yang buruk ke keadaan yang lebih baik.

Saat kita menjalani kelas ini, saya pikir kawan-kawan akan melihat bahwa ide biologis metapforis ini hidup dalam penggunaan istilah 'pembangunan' ketika berbicara tentang bidang sosial-ekonomi.

A Very Selective History of the Idea

Salah satu konsep kunci yang berperan di sini adalah kemajuan / progres. Gagasan bahwa sejarah manusia adalah kisah kemajuan (perpindahan dari kondisi yang lebih buruk—dalam arti tertentu—ke kondisi yang lebih baik—dalam arti tertentu) ditemukan dalam pemikiran Yunani Kuno, pada saat lahirnya kesadaran sejarah.

Ini telah menjadi cara berpikir Barat yang dominan tentang sejarah selama dua setengah milenium terakhir. Ada konsepsi lain tentang sejarah yang dapat ditemukan dalam tradisi Barat. Salah satu alternatifnya adalah pemikiran yang berlawanan bahwa sejarah bukanlah kisah kemajuan, tetapi tentang kemerosotan —perpindahan dari keadaan yang baik (misalnya, 'Zaman Keemasan' masa lalu) ke keadaan yang lebih buruk. Alternatif lain adalah melihat sejarah sebagai siklus. Namun, ini tidak memiliki pengaruh budaya seperti yang dimiliki oleh konsepsi sejarah sebagai kemajuan.

Unsur-unsur yang biasa terdapat dalam konsep kemajuan, adalah bahwa sejarah adalah cerita tentang: 1. Peningkatan pengetahuan yang progresif (sehingga mengarah pada peningkatan teknologi); 2. karenanya, peningkatan progresif dalam kehidupan manusia (seperti, melalui peningkatan pengetahuan, kita dapat meningkatkan kendali kita atas —eksploitasi— alam); 3. Seringkali, peningkatan progresif dalam kekuatan kognitif manusia (misalnya, rasionalitas yang lebih besar). Konsep pembangunan pra-sejarah ini hidup dalam penggunaan modern.

St Augustine

Tokoh kunci di sini adalah St. Agustinus (354–430)—salah satu pemikir Kristen awal yang terbesar. Dalam De Civitate Dei (Kota Tuhan), Agustinus memperkenalkan ide yang sangat penting: yaitu kesatuan umat manusia. Sebelum ini, sejarah telah dilihat sebagai kisah orang atau bangsa tertentu. Namun, Agustinus berpendapat (atas dasar teologis) bahwa ada sejarah universal kemanusiaan.

Artinya, bagi Agustinus, umat manusia secara keseluruhan maju ke kesempurnaan yang lebih besar dari waktu ke waktu — dan dengan demikian memenuhi rencana Tuhan bagi kita. Dalam tradisi Yahudi (misalnya, dalam Perjanjian Lama), sejarah tidak dilihat sebagai memiliki beberapa rencana keseluruhan atau rasa kemajuan - sebaliknya, sejarah adalah kekacauan manusia, di mana Tuhan akan, kadang-kadang, campur tangan. Namun, untuk Agustinus (meminjam di sini dari pemikiran bahasa Yunani), Tuhan lebih seperti seseorang yang telah menanam benih, dan kemudian melihatnya tumbuh dari waktu ke waktu — semua peristiwa manusia adalah bagian dari pengungkapan rencana Tuhan, dan pemenuhan potensi manusia. Dengan kata lain, Agustinus mengawinkan kemajuan dengan perkembangan (pembangunan).

Agustinus berpendapat bahwa, atas dasar ini, umat manusia secara keseluruhan seperti organisme biologis, yang berkembang melalui tahapan. Maka tidak mengherankan, istilah Agustinus untuk tahapan ('zaman') sejarah manusia adalah: infantia, pueritia, remaja, juventus, senoris aetas, dan senectus —yaitu, tahapan kehidupan manusia dari masa bayi hingga usia tua. Oleh karena itu, sejarah manusia, bagi Agustinus, adalah kisah perkembangan progresif seluruh umat manusia dari waktu ke waktu.

The Enlightenment

Pencerahan Eropa (sekitar abad 17-18) melihat perkembangan lebih lanjut dari tema-tema ini. Bagi banyak pemikir, sejarah manusia menjadi kisah rasionalitas umat manusia yang semakin meningkat. Kemajuan/pembangunan dipandang sebagai perpindahan dari rezim otoriter (misalnya, monarki) ke bentuk pemerintahan yang lebih liberal dan demokratis; ke mode pengorganisasian ekonomi yang lebih kapitalis; dan —sebagai bagian dari ini—meningkatnya kebebasan individu. Banyak pemikir pencerahan melihat ini sebagai bagian dari 'kematangan' umat manusia yang sedang tumbuh, membuang mode organisasi sosial yang didasarkan pada 'tradisi' dan 'takhayul', dan merangkul bentuk-bentuk yang bukannya didasarkan pada 'akal'. Untuk melihat di mana tema Pencerahan ini berakhir, ada baiknya melihat secara singkat mungkin tiga pemikir paling berpengaruh abad ke-19: Comte, Marx, dan Spencer.

Auguste Comte

Dalam Filsafat Positifnya, Comte (1798-1857) berpendapat bahwa manusia (dan masyarakat-masyarakat) harus bergerak melalui tiga tahap peningkatan 'kematangan' kognitif. Pertama adalah tahap teologis, di mana manusia mencoba menjelaskan sesuatu memohon / berdasarkan  petunjuk Tuhan dan Dewa. Kedua adalah tahap metafisik, di mana pemahaman berdasarkan metafisika abstrak. Akhirnya, tahap 'dewasa' perkembangan manusia adalah tahap positif atau ilmiah, di mana dunia harus dijelaskan — dan masyarakat diatur — dalam kerangka hukum alam.Sejarah, di mata Comte, dengan demikian merupakan perkembangan progresif umat manusia dari masa kanak-kanak takhayul, hingga rasionalitas ilmiah yang matang.

Karl Marx

Marx (1818-1883) terkenal berargumen bahwa sejarah manusia mengikuti 'hukum' perkembangan di mana mode produksi 'lebih primitif' digantikan oleh mode 'lebih tinggi' atau 'lebih maju' (misalnya, mode feodal digantikan oleh mode kapitalis, yang ditakdirkan untuk digantikan oleh komunis). Ini adalah perkembangan progresif karena mewakili semakin terbukanya potensi ras manusia (untuk mengendalikan lingkungannya, membebaskan dirinya dari ketergantungan pada alam, dan dengan demikian memenuhi dirinya sepenuhnya).

Herbert Spencer

Spencer (1820-1903) berpendapat bahwa perkembangan, atau 'evolusi' dari tahap yang lebih rendah ke tahap yang lebih tinggi, adalah kecenderungan yang diperlukan dalam segala hal — apakah organisme individu, atau spesies, atau masyarakat manusia. Berkenaan dengan masyarakat, pembangunan adalah langkah menuju tumbuhnya rasionalitas dan individualisme. Oleh karena itu, demokrasi liberal dan kapitalis merupakan tahap perkembangan yang lebih tinggi daripada bentuk-bentuk organisasi sosial-ekonomi lainnya.

Conclusions

Dengan demikian kita dapat melihat beberapa bagian penting dari sejarah konsep pembangunan ini. Manusia adalah bagian dari satu sejarah, yang melibatkan kemajuan dari tingkat perkembangan yang lebih rendah ke tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Semua masyarakat dengan demikian dapat diberi peringkat pada skala linier (dari 'primitif' hingga 'beradab'; 'belum berkembang' hingga 'berkembang'). Barat dipandang sebagai perwujudan tahap pembangunan tertinggi saat ini (yang kemudian diidentikkan dengan demokrasi liberal, sekularisme, kapitalisme, industrialisme, urbanisme, konsumsi massa ...).

Dengan cara ini, masyarakat lain (non-Barat) menjadi bagian dari sejarah universal, tetapi dalam prosesnya mereka kehilangan sejarah mereka sendiri—mereka menjadi 'panggung' dalam apa yang sebenarnya merupakan cerita Barat. Mereka juga kehilangan budaya mereka — apa yang tidak dianggap 'rasional' oleh standar Barat harus menjadi sisa primitif, ditakdirkan untuk menghilang.

Introduction of Social Welfare: A Catalyst for Societal Progress

Introduction of Social Welfare: A Catalyst for Societal Progress

Introduction:

The concept of social welfare has been an integral part of human civilization since time immemorial. While its specific manifestations have varied across cultures and epochs, the underlying principle of providing support and assistance to vulnerable members of society has remained constant. In this essay, we will explore the introduction of social welfare in various historical contexts, its evolution over time, and its significance as a catalyst for societal progress. By delving into the various dimensions of social welfare, we will gain a comprehensive understanding of its implications and the ways in which it contributes to the betterment of society.

Historical Context:

The roots of social welfare can be traced back to ancient civilizations, such as the Indus Valley and Mesopotamia, where community-based support systems were established to provide sustenance and care for the elderly, orphaned, and disabled. These early instances of social welfare laid the foundation for subsequent initiatives in ancient Greece and Rome, where the concept of philanthropy and communal responsibility toward the less fortunate gained prominence. Throughout medieval Europe, the church played a pivotal role in providing relief to the poor, while the Elizabethan Poor Laws in 16th-century England formalized the state's responsibility in supporting those in need.

Evolution of Social Welfare:

The Industrial Revolution of the 18th and 19th centuries brought about significant socioeconomic changes, leading to the rise of capitalism and mass urbanization. Alongside these transformations, the uneven distribution of wealth and widening social inequalities became glaring issues. This prompted the emergence of the modern social welfare state, with countries like Germany pioneering comprehensive social insurance programs in the late 19th century. The devastating consequences of the Great Depression further emphasized the need for expanded social protection, as evidenced by the establishment of the New Deal in the United States.

Significance of Social Welfare:

Social welfare programs serve as crucial safety nets that enhance societal well-being and equality. By addressing inequalities and promoting social justice, they help alleviate poverty, improve healthcare access, and provide educational opportunities for marginalized individuals and communities. Moreover, social welfare initiatives contribute to the overall stability and cohesiveness of society by reducing social unrest, crime rates, and public health crises. The provision of adequate social protection also ensures a fair distribution of resources and fosters social mobility, enabling individuals to realize their full potential.

Achieving Societal Progress:

The introduction and expansion of social welfare programs haveproven to be indispensable for achieving societal progress. These programs empower individuals by offering them a lifeline during periods of distress or vulnerability, thereby enabling them to become active contributors to society.By addressing socioeconomic disparities and fostering inclusive growth, social welfare initiatives cultivate an environment conducive to innovation, economic productivity, and social cohesion. Furthermore, they cultivate a sense of community, solidarity, and collective responsibility, strengthening social bonds and fostering a more compassionate and equitable society.

Conclusion:

The introduction of social welfare programs throughout history has been a testament to human resilience and compassion. With a rich historical background and an evolving mandate, social welfare has played a pivotal role in shaping modern society. By prioritizing the well-being of all citizens, regardless of their socioeconomic status, social welfare initiatives have proven to be indispensable for achieving societal progress. As we navigate the complexities of our contemporary world, it is imperative that we continue to recognize the significance of social welfare as a catalyst for building a more inclusive and humane society.

 

 


Minggu, 08 Januari 2023

Hukum Waris Menurut Pandangan Islam Serta Pembagiannya Serta Kontribusi Serta Kontribusi Terhadap Sistem Hukum Nasional

 PENDAHULUAN

 1.       LATAR BELAKANG

 

Menurut Badruddin (2012), kajian sejarah hukum (legal history) Hindia Belanda tentang kedudukan Hukum Islam dapat dibagi atas dua priode, pertama; Priode penerimaan hukum Islam sepenuhnya (pada kejayaan kerajan-kerajaan Islam di nusantara). Priode ini dikenal dengan teori reception in complexu. Kedua; Priode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat yang dikenal dengan teori receptie. Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronye. Hukum Islam dimasukkan dalam katergori hukum adat oleh pemerintah kolonial, akan tetapi, hukum Islam masih tetap berlaku dan di bidang-bidang hukum perdata tertentu.  Hingga tahun 1937, pemerintah Hindia Belanda dengan Stablat di tahun yang sama mengatur hukum waris dalam sistem peradilan yaitu Pengadilan Negeri dan diraihnya kemerdekaan Republik Indonesia dengan UUD 1945 sebagai konstitusi melegitimasi peraturan yang ada masih berlaku dan dikuatkan di pasal 29 ayat 2 yang menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing (Badruddin, 2012).

Dalam konteks hukum Nasional, hukum Islam dan hukum adat juga sebagai sumber hukum nasional. Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dan warga wajib menjunjung hukum dan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim merupakan perumus dan penggali hukum dari nilia-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu, seorang hakim harus menyatu dengan masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu melayani perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Salah satu putusan yang sering di bidang dalam pengadilan agama adalah perihal warisan. Di samping itu, putusan hakim terkait dengan warisan di Indonesia tentunya banyak terkait dengan pemeluk agama Islam yang hukumnya bersumber dari ajaran-ajaran dalam agama Islam.

Hukum Islam yang berlaku di Indonesia sekarang ini telah dianggap sebagai hukum positip yang berlaku (ius constitutum). Hukum tertulis yang terkait dengan hukum waris dan telah diundangkan tersebut ada di Kompilasi Hukum Islam (KHI) di buku dua. Selain itu, seperti yang telah disebutkan di atas bahwa putusan hakim (jurispruden) terkait dengan hukum waris juga menjadi penting sebagai hasil ijtihad seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara warisan dan dapat dijadikan rujukan serta pengambangan terhadap hukum Islam dalam arti sempit serta kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional Indonesia.

Oleh karena itu, pemahaman dasar tentang hukum waris menjadi penting untuk bisa dipahami secara baik oleh mahasiswa. Selain itu, perhatian atas putusan-putusan hakim pengadilan agama juga menjadi sumber kajian penting dalam memperkaya serta memperdalam pemahaman tentag hukum Islam, khususnya hukum waris. Makalah ini dibuat untuk memahami secara mendasar poin-poin penting dalam hukum waris dalam perspektif agama Islam dan belajar dari salah satu putusan hakim agama terkait dengan hukum waris sehingga mahasiswa bisa memahami secara umum hukum waris dan kontribusi apa yang diberikan oleh hukum waris dalam hukum Islam dalam pembangunan sistem hukum nasional.

Sumber primer dari makalah ini adalah Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama, atas dasar Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor I Tahun 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam ditindak lanjuti dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991. Selain itu, sumber sumber lain adalah hasil penelitian akademik tentang putusan hakim di sistem peradilan agama terkait hukum waris tulisan-tulisan lain berbentuk artikel jurnal dan tulisan berbasis website.

2.   RUMUSAN MASALAH

 

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut 

o   Apa yang dimaksud dengan waris ?

  • Apa saja syarat dan rukun waris ?
  • Siapakah golongan ahli waris?
  • Hak-hak yang bersangkutan dengan harta waris.
  • Bagian-bagian ahli waris.
  • Penyebab tidak mendapatkan harta waris.
  • Apa yang di maksud dengan ‘Aulu?
  • Hal-hal apa saja yang menghalangi waris
  • Apa yang di maksud dengan Wasiat?.
  • Kontribusi Hukum Islam dalam Hukum Nasional (Studi Kasus; Putusan Mahkamah Agung)

 

3.   TUJUAN

 

  • Untuk mengetahui dan memaparkan hukum waris menurut pandangan agama Islam.
  • Untuk menambah wawan pembaca mengenai hukumwaris menurut pandangan agama Islam.
  • Untuk mengetahui contoh kontribusi Hukum Islam dalam SIstem Hukum Nasional.

 

PEMBAHASAN

1)       PENGERTIAN WARIS

 

Di Indonesia ada beberapa istilah yang penggunaannya sepadan dengan ilmu mawaris, antara lain ilmu faraidl, hukum kewarisan Islam, hukum waris Islam, dan fiqh mawarith. Istilah-istilah tersebut mengarah pada pengertian yang sama dengan ilmu mawaris yang penggunaannya dalam kehidupan masyarakat saling melengkapi sesuai dengan tradisi masing-masing daerah (Nawawi, 2016). Kata dasar dari terminologi-terminologi di atas adalah kata waris.

Kata waris sering didentifikasikan dengan kata warisan yang dipahami sebagai harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada seseorang yang masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Sedangkan kata waris dalam hukum waris diartikan sebagai sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan setelah wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak menerima harta peninggalan di sebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta peninggalan, ahli waris telah memiliki bagian-bagian tertentu (Nawawi, 2016). Seperti yang tercantum dalam Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ Ayat 7 sebagai berikut :

لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (Kemenag RI, 2022)

Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Kata ورث adalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Quran.  Kata waris dalam berbagai bentuk makna tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:

§  Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. an-Naml, 27:16).

§  Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. az-Zumar,39:74).

§  Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. al-Maryam, 19: 6). (Kemenag RI, 2022).

 

      Menurut Hayati, Haris, & Hasibuan (2015) yang mengutip al-Malibary. Para ahli fikih memberikan pengertian ilmu waris adalah sebagai berikut:

 

علم يعرف به من يرث ومن لا يرث ومقداركل وارث وكيفية التوزيع

“Artinya: Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan orang yang mewaris, kadar yang diterima oleh ahli waris serta cara pembagiannya.”

 

Kata waris dalam keilmuan Islam diartikan sebagai perpindahan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup (Khisni, 2011). Kata waris juga menempel dengan istilah Hukum Kewarisan Islam yang membahas apa dan bagaimana pelbagai hak-hak dan kewajiban kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup dalam tuntunan agama Islam. Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.

 

Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan dengan warisan (Kemenag, 2018 & Khisni, 2011), diantaranya adalah:

a.     Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.

b.     Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal) baik secara haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan pengadilan.

c.      Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak setelah diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan wasiat.

d.     Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.

e.     Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan wasiat.

 

Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya terdapat di Pasal 171 huruf a (Kemenag, 2018). Dalam arti luas, hukum waris adalah ketentuanyang mengatur tentanf peralihan harta kekayaan (hak dan kewajiban) dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang atau lebih (Meliala, 2018). Ketentuan-ketentuan utama terkait hukum waris di buku II KHI ini dapat dilihat sebagai berikut.

     

Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini , yaitu:

  1. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
  2. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
  3. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
  4. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
  5. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
  6. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
  7. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
  8. Baitul Maal adalah balai harta keagamaan (Kemenag, 2018).

 

Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui tata cara pembagian dan untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian, siapa yang tidak mendapat bagian dan berapa besar bagiannya adalah ilmu faroidlAl-Faraaidh (الفرائض) adalah bentuk jamak dari kata Al-Fariidhoh (الفريضه) yang oleh para ulama diartikan semakna dengan lafazh mafrudhah, yaitu bagian-bagian yang telah ditentukan kadarnya (Supardin, 2020).

 

2)       Kewarisan Menurut Hukum Islam

Hukum Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al-ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya (Wahyuni, 2018).

Tujuan dari adanya dan implemetasi hukum waris untuk menghindarkan seseorang dari pelanggaran ajaran agama (Islam) yaitu menggunakan atau mengambil hak yang bukan menjadi hak individu tersebut. Pentingnya hukum waris bagi muslim ditegaskan oleh Rasulullah SAW yang dikutip oleh Fadillah (2021). Yang artinya: “Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya. (HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I). Dalam agama Islam, mempelajari hukum kewarisan hukumnya adalah fardlu kifayah yang berarti jika dalam suatu daerah tidak ada yang faham tentang hukum kewarisan (Islam), maka berdosalah orang-orang di kampung tersebut. Satu atau dua orang yang faham tentang ilmu ini, maka gugurnya hukuman dosa tersebut (Muhibbin, & Wahid, 2022). 

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu kewarisan menururt Islam adalah sangat penting, karena tidak sebagai sarana untuk mengangkat derajat seeorang, tetapi juga sebagai muamalah yang salah satu fungsinya untuk mendamaikan sebuah perselisihan atau menyelesaikan permasalahan harta peninggalan berdasarkan anjuran agama (Khisni, 2011). Tentunya bagi para hakim agama, memiliki pengetahuan tentang ilmu kewarisan adalah mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam hadits rasulullah di atas.

 

3)       SYARAT DAN RUKUN WARIS

 Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:

  1. Meninggalnya seseorang (pewarisbaik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
  2.  Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
  3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing (Ash-Sahabuni, 1995 & Khisni, 2011).

 

Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam (Ash-Sahabuni, 1995 & Hayati, Haris, Hasibuan, 2015), diketahui ada tiga macam, yaitu:

1.     Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :

a)     Mati Haqiqy (mati sejati).

Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.

b)     Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis)

Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hanbaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.

c)     Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).

Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.

2.     Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.

3.     Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.

 

4)       GOLONGAN AHLI WARIS

 

Jika mengacu pada KHI pasal 174, kelompok-kelompok ahli waris terbagi menurut hubungan darah dan menurut hubungan perkawinan dari duda atau janda. Rincian hubungan darah terdiri dari golongan laki-laki seperti ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Sedangkan golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan saudara perempuan dari nenek (Kemenag, 2018). Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang yang meninggal sebanyak 25 orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan (darulhurmah.com). Penggolongan ahli waris dibahas secara mendetil oleh Supardin (2018, h. 25-61) dengan membagi golongan ahli waris menjadi 3 (tiga) sistem penggolongan : 1. sistem penggolongan ahli waris menurut fikih mawaris, 2. sistem penggolongan ahli waris menurut hukum kewarisan islam dan tambahan dari perspektif KUHPerdata, 3. Sistem Penggolongan Ahli Waris Menurut KUHPerdata. Di bawah ini penggolongan berdasarkan Fikih mawaris :

Golongaan ahli waris dari pihak laki-laki:

1. Suami/duda (al-zauju).

2. Anak laki-laki (al-ibnu).

3. Ayah (al-abu)

4. Cucu laki-laki dari pancar laki-laki (ibnu al-ibni).

5. Kakek ṣaḥih yaitu ayah dari ayah (al-jaddu).

6. Saudara laki-laki sekandung (al-akhu li al-abi).

7. Saudara laki-laki seayah (al-akhu li al-abi).

8. Saudara laki-laki seibu (al-akhu li al-ummi).

9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (ibnu al-akhi al-syaqīqu).

10. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah (ibnu al-akhi li al-abi).

11. Paman sekandung, yaitu saudara laki-laki sekandung dari ayah (al-ammu al-syaqīqu).

12. Paman seayah, yaitu saudara laki-laki seayah dari ayah (al-ammu li al-abi).

13. Sepupu (misan), yaitu anak laki-laki dari paman sekandung (ibnu al-ammi al-syaqīqu).

14. Sepupu (misan), yaitu anak laki-laki dari paman seayah (ibnu al-ammi li al-abi).

 

Apabila 10 orang laki-laki tersebut di atas semua ada, maka yang mendapat harta warisan hanya 3 orang saja, yaitu :

1.     Bapak.

2.     Anak laki-laki.

3.     Suami.

 

Golongan dari pihak perempuan, yaitu : 

1. Istri/janda (al-zaujah).

2. Anak perempuan (al-bintu).

3. Ibu (al-ummu).

4. Cucu perempuan dari anak laki-laki atau pancar laki-laki (bintu al-ibni).

5. Nenek dari pancar ibu, yaitu ibunya ibu atau nenek aih (al-jaddatu min jihatil-ummi).

6. Nenek dari pancar ayah, yaitu ibunya ayah (aljaddatu min jihatil-abi).

7. Saudara perempuan sekandung (al-ukhtu alsyaqīqatu).

8. Saudara perempuan seayah (al-ukhtu li al-abi).

9. Saudara perempuan dari ibu (al-ukhtu-lil-ummi).

Apabila 10 orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari mereka itu hanya 5 orang saja, yaitu :

  1. Isteri.
  2. Anak perempuan.
  3. Anak perempuan dari anak laki-laki.
  4. Ibu.
  5. Saudara perempuan yang seibu sebapak.

 

Sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan semuanya ada, maka yang pasti mendapat hanya salah seorang dari dua suami isteri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan. Anak yang berada dalam kandungan ibunya juag mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal dunia sewaktu dia masih berada di dalam kandungan ibunya. Sabda Rasulullah SAW. “apabila menangis anak yang baru lahir, ia mendapat pusaka.” (HR. Abu Dawud).

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan yang diatur dalam pasal 188 KHI (Kemenag RI, 2018). Di dalam Pasal 191 KHI, ada ketentuan bahwa apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Kemenag RI, 2018).

 

5)       BEBERAPA KEWAJIBAN YANG BERSANGKUTAN DENGAN HARTA WARIS

 

Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal 175 KHI adalah:

  1. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
  2. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
  3. Menyelesaiakan wasiat pewaris; perihal wasiat dibahas pada pasal 194
  4. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak (Kemenag RI, 2018).

 

6)       BAGIAN-BAGIAN AHLI WARIS

 

Besarnya bagian harta warisan dijelaskan secara mendetil di KHI mulai dari pasal 176 hingga pasal 191 (Kemenga, 2018). Ketentuan kadar bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut:

§  Yang mendapat setengah harta.

§  Anak perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak bersama-sama saudaranya. Allah berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 11:

وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ

         

Artinya: “Jika anak perempuan itu hanya seorang, maka ia memperolah separo harta.”(Kemenag RI, 2022).

1.     Anak perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan. (berdasarkan keterangan ijma’)

§  Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja, apabila ia saudara perempuan seibu sebapak tidak ada dan ia hanya seorang saja.

§  Suami, apabila isterinya yang meninggal dunia itu tidak meninggallkan anak dan tidak pula ada anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.

 

 Yang mendapat seperempat harta.

§  Suami, apabila isteri meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki ataupun anak perempuan, atau meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu:

فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ

Artinya : “Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang di tinggalkannyasesudah dik penuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah di bayar utangnya.”

§  Istri, baik hanya satu orang ataupun berbilang, jika suami tidak meninggalkan anak(baik anak laki-laki maupun anak perempuan) dan tidak pula anak dari anak laki-laki(baik laki-laki maupun perempuan). Maka apabila istri itu berbilang, seperempat itu di bagi rata antara mereka.

 

2.     Yang mendapat seperdelapan harta.

Istri baik satu ataupun berbilang, mendapat warisan dari suaminya seperdelapan dari harta kalau suaminya yang meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki ataupun perempuan, atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki ataupun perempuan.

Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :

فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ

Artinya : “Jika kamu mempunyai anak, bagi mereka (para istri) seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu.”

 

3.     Yang mendapat dua pertiga harta.

§  Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan syarat apabila tidak ada anak laki-laki.

§  Dua orang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki. Apabila ia anak perempuan tidak ada, berarti anak perempuan dari anak laki-laki yang berbilang itu, mereka mendapatkan harta warisan dari kakek mereka sebanyak dua pertiga dari harta.

§  Suadara perempuan yang seibu sebapak apabila berbilang (dua atau lebih). Firman Allah SWT, dalam Surah An-Nisa’ ayat 176, yaitu:

 

فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗ

Artinya: “Jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang di tinggalkan oleh yang meninggal.”

§  Saudara perempuan yang sebapak, dua orang atau lebih.

Keterangannya adalah surah An-Nisa’ ayat 176 yang tersebut di atas, karena yang di maksud dengan saudara dalam ayat tersebut ialah saudara seibu sebapak atau saudara sebapak saja apabila saudara perempuan yang seibu sebapak tidak ada.

 

4.     Yang mendapat sepertiga harta.

§  Ibu, apabila yang meninggal tidak meningglkan anak atau cucu (anak dari anak laki-laki), dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara, baik laki-laki ataupun perempuan, seibu sebapak atau sebapak saja, atau seibu saja.

§  Dua orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu:

 

فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ

Artinya : “Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.”

 

5.     Yang mendapat sepereenam harta.

§  Ibu, apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak laki-laki, atau beserta dua saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun saudara perempuan, seibu sebapak, sebapak saja, atau seibu saja.

§  Bapak si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki.

§  Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), kalau ibu tidak ada. Hal ini beralasan dari hadist yang diriwayatkan oleh zaid yang artinya: “Sesungguhnya nabi SAW. telah menetapkan bagian nenek seperenam dari harta “  

§  Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, (anak perempuan dari anak laki-laki). Mereka mendapatkan seperenam dari harta, baik sendiri atau berbilang, apabila bersama-sama seorang anak perempuan. Tetapi apabila anak perempuan berbilang, maka cucu perempuan tadi tidak mendapat harta waris.

§  Kakek (bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak laki-laki, sedangkan bapak tidak ada. (keterangan berdasarkan ijma’ para ulama’)

§  Untuk seorang sudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah SWT. Dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu:

 

وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ

Artinya : “Dan apabila si mayat mempunyai seorang sudara laki-laki(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.”

 

§  Saudara perempuan yang sebapak saja, baik sendiri ataupun berbilang, apabila beserta saudara perempuan yang seibu sebapak. Adapun apabila saudara seibu sebapak berbilang (dua atau lebih), maka saudara sebapak tidak mendapat harta warisan. (berdasarkan ijma’ para ulama’).

 

7)       SEBAB-SEBAB TIDAK MENDAPATKAN HARTA WARIS

 

Ahli waris yang telah di sebutkan di atas semua tetap mendapatkan harta waris menurut ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan, kecuali apabila ada ahli waris yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka. Berikut akan di jelaskan orang-orang yang mendapat harta waris, atau bagiannya menjadi kurang karena ada yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka (Hayati, Haris, & Hasibuan 2015).

  • Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), tidak mendapat harta waris karena ada ibu, sebab ibu lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada nenek. Begitu juga kakek, tidak mendapat harta waris selama bapaknya masih ada, karena bapak lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada kakek.
  • Saudara seibu, tidak mendapatkan harta waris karena adanya orang yang di sebut di bawah ini :

o    Anak, baik laki-laki maupun perempuan.

o    Anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.

o    Bapak.

o    Kakek.

§  Saudara sebapak, saudara sebapak tidak mendapat harta waris dengan adanya salah seorang dari empat orang berikut :

o   Bapak.

o   Anak laki-laki.

o   Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki).

o   Sudara laki-laki yang seibu sebapak.

§  Saudara seibu sebapak. Saudara seibu sebapak tidak akan mendapatkan harta waris apabila terhalang oleh salah satu dari tiga orang yang tersebut di bawah ini :

o   Anak laki-laki.

o   Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki)

o   Bapak.

  • Tiga laki-laki berikut ini mendapatkan harta waris namun saudara perempuan mereka tidak mendapat harta waris, yaitu:

o   Saudara laki-laki bapak(paman) mendapatkan harta waris. Namun, saudara perempuan bapak (bibi) tidak mendapatkan harta waris.

o   Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki(anak laki-laki paman dari bapak) mendapat harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.

o   Anak laki-laki saudara laki-laki mendapatkan harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.

 

8)       HAL-HAL YANG MENGHALANGI WARIS

 

Pada umum hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam (Nawawi, 2016) yaitu:

a)     Pembunuhan.

Pembunuhan adalah sesuatu perbuatan yang mutlak menjadi penghalang waris, karena adanya dalil yang kuat dari hadis Rasulullah SAW, Yang Artinya:

” Tidak berhak sipembunuh mendapat sesuatupun dari harta warisan (Hadis Riwayat an-Nasa’i dengan isnad yang sahih)”.

      Imam Syafi’i memberikan contoh pembunuhan yang dapat menjadi penghalang mewarisi sebagai berikut:

1.     Hakim yang menjatuhkan hukuman mati, tidak dapat mewarisi harta orang yang telah dijatuhi hukuman mati.

2.     Algojo yang menjalankan tugas membunuh tidak dapat mewarisi harta orang peninggalan pesakitan yang dibunuhnya.

3.     Seseorang yang memberikan persaksian (sumpah) palsu, tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang menjadi korban persaksian palsunya.

 

b)     Berbeda Agama.

Adapun yang dimaksudkan dengan berbeda agama adalah agama yang dianut antara waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan berbeda agama dapat menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak saling mewarisi antara seorang muslim dan kafir (non Islam), orang Islam tidak mewarisi harta orang non Islam demikian juga sebaliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang Artinya:” Diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam. (Hadis Riwayat an-Nasa’I dengan isnad yang sahih)”

 

c)     Perbudakan.

Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang menerima warisan, karena budak (hamba sahaya) secara yuridis tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, sedangkan hak kebendaannya dikuasai oleh tuannya. Sehingga ketika tuannya meninggal, maka seorang budak tidak berhak untuk mewarisi, karena pada hakekatnya seorang budak juga merupakan “harta” dan sebagai harta maka dengan sendirinya benda itu bisa diwariskan.

d)     Berlainan Negara

Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan negara jika telah memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:

a)     Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing di bawah komando yang berbeda.

b)     Kepala negara yang berbeda.

c)     Tidak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada kerjasama diplomatik yang terjalin antar keduanya.

d)     Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu beda agama (pasal 171 huruf c dan pasal 172 KHI), membunuh, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat terhadap pewaris dan memfitnah (pasal 173 KHI).

 

Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak kita temukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua. Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum kewarisan Islam adalah bergama Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama Islam. Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi: “Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”

Sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam, telah dijelaskan dalam pasal 172 KHI yang berbunyi: “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”  Sedangkan penghalang mewarisi yang berupa pembunuhan, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat pewaris dan memfitnah telah dijelaskan dalam pasal 173 KHI yang berbunyi: “Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:

  1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
  2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat,” (Kemenag, 2018).

 

9)       PENGERTIAN WASIAT

 

Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang meninggal dunia (Supardin, 2020). Penjeleasan tentang wasiat di dalam KHI dapat dilihat di Bab V mulai dari pasal 194-209).

Rukun wasiat adalah sebagai berikut :

  • Ada orang yang berwasiat.
  • Ada yang menerima wasiat.
  • Sesuatu yang di wasiatkan.
  • Lafadz(kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.

Sebanyak-banyak wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih kecuali apaila di izinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat meninggal. Sabda Rasulullah SAW. Yaitu :

Dari Ibnu Abbas. Ia berkata, “Alanghkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat mereka dari sepertiga k seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “ Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu banyak.”  (HR. Bukhori dan Muslim)    Wasiat hanya di tujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah kecuali apabila di ridhoi oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya yang berwasiat. Sabda Rasulullah SAW. Yaitu :

Dari abu Amamah, Ia berkata : “ Saya telah mendengar Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris. Maka dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli wari.” (HR. Liam orang ahli hadist selain Nasai)

 

Syarat orang yang di serahi menjalankan wasiat, yaitu :

  • Beragama Islam.
  • Baligh.
  • Berakal.
  • Merdeka.
  • Amanah.
  • Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang di  kehendaki oleh yang berwasiat.

 

Kontribusi Hukum Islam dalam Hukum Nasional

Hukum kewarisan Islam telah dikodifikasi melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang isinya untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari: Buku I tentang hukum Perkawinan, Buku II tentang hukum Kewarisan, Buku III tentang hukum Perwakafan untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia dan oleh Masyarakat yang memerlukannya. Fakta hukum mengatakan bahwa hukum kewarisan Islam sudah merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dalam memecahkan persoalan kewarisan untuk masyarakat Islam. Dengan kedudukan hal tersebut diatas, terdapat kata-kata dalam Intruksi Presiden untuk disebarluaskan kepada masyarakat yang membutuhkannya maka sesuai dengan hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang ilmu hukum dalam pemahaman terhadap hukum kewarisan Islam, dapat dikatakan sebagai bagian dari ilmu hukum.

Nawawi (2011) membagi Hukum Kewarisan menjadi tiga fase perkembangan: a. kewarisan pada masa pra Islam, b. Kewarisan pada masa awal Islam, c. Kewarisan pada masa perkembangan Islam sampai sekarang. Ia berpendapat bahwa pelaksanaan sistem kewarisan sangat berbeda antara satu generasi dengan generasi yang lain, perbedaan sistem kewarisan tersebut dikarenakan adanya perbedaan situasi dan kondisi sosial masyarakat, adat istiadat, agama, budaya, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan sistem kewarisan senantiasa berlaku sepanjang sejarah peradaban manusia.

Kontribusi Hukum Islam terhadap sistem hukum nasional dapat dilihat di beberapa penelitian yang dilakukan oleh kalangan akademisi dan praktisi. Selain itu Kompilasi Hukum Islam, penelitian atas putasan pengadilan agama (yurisprudensi) juga menjadi salah satu bagian pembangunan sistem hukum nasional juga dilakukan. Salah satunya adalah penelitian terkait ijtihad hakim peradilan agama dalam pengembangan Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam. Menurut sebuah penelitian yang bertujuan mengetahui, memahami, dan mengkaji mengenai ijtihad hakim Peradilan Agama tentang pengembangan hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam, terdapat beberapa kontribusi dan kontribusinya terhadap hukum nasional. 

Perkembangan dalam pengambilan keputusan oleh Putusan Hakim Mahkamah Agung di Indonesia merupakan salah satu bukti upaya ijtihad seorang hakim dalam menggali dan mengembangkan teks undang-undang. Salah satu putusan yang menarik adalah diperbolehkannya ahli waris dari non muslim untuk mendapatkan warisan (Khisni, 2011). Hal ini sepertinya bertentangan dengan hadits Riwayat Nabi Muhammad yang bersabda: "Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim). Selain itu putusan tersebut juga tidak sesuai dengan beberapa ayat dalam al-Quran seperti Surat An-Nisa’ ayat 141 dan Surat Al-Maidah ayat 48 (Ash-Sahabuni, 1995). Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad juga menyatakan bahwa perbedaan agama tetap menjadi penghalang dalam mewarisi (Khisni, 2011). Sedangkan penghalang bagi non muslim untuk mendapatkan warisan juga disebutkan di pasal 171 huruf (c) (Kemenag, 2018).

Beberapa argument penting yang dijadikan landasan dalam pengambilan putusan adalah sebagai berikut:

1. Al-Quran menekankan pengakuan kebebasan dalam beragama serta toleransi dan respect.

2. Adanya prinsip pokok sebagai acuan dalam membina hubungan antara muslim dan non muslim: kemurnian tauhid, persamaan, keadilan dan perdamaian.

3. Prinsip dasar kemurnian tauhid adalah pahama kesamaan dan persaudaraan antar manusia, yakni seluruh umat manusia sama terlepas etnik, agama dan orientasi politik.

4. Islam melindungi aspek-aspek kehidupan baik aspek spirituil dan materiil.

5. Al-quran tidak mengkontradiksi antara ukhuwah diniyyah dan ukhuwah insaniyah.

6. Ukhuwah insaniyah  menuntut langkah dan tindak sungguh-sungguh demi kepentingan umat manusia, menyelematkan diri dari keinginan menyimpang, dan berpaling dari tindakan sia-sia serta melumpuhkan hawa nafsu serta mengatur persahabatan dan menanamkan rasa cinta kasih dan kebajikan kepada sesama.

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, hubungan muslim dengan non muslim dalam suatu keluarga dekat, maka harus didorong untuk berkehidupan yang saling tolong menolong, serta saling membantu yang merupakan kebutuhan. Saling mewarisi antara pewaris dengan ahli waris (muslim dan non muslim) merupakan alat penghubung untuk mempertemukan para ahli waris yang disebabkan adanya kekuasaan perwalian dan adanya jalinan tolong menolong serta saling membantu. Putusan yang berawal dari hak waris mendapatkan wasiyat wajibah yaitu ¾ dari hak anak perempuan yang diatur dalam KHI, berkembang menjadi hak penuh sebagai anak perempuan dari kedua mendiang orang tua, yaitu sesuai dengan dengan KHI, mendapatkan 1 banding 2 dari hak waris anak laki-laki.

Adapun temuan umum dari hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, Hukum Islam dapat ditransformasikan ke dalam hukum nasional dari putusan (yurispmdensi) Peradilan Agama yang digali dari ajaran (hukum Islam) menjelma menjadi penemuan asas, kaidah hukum yang di dalamnya terdapat tata nilai religius menjadi hukum nasional serta dapat mentransformasikan, melahirkan atau mengadaptasi ajaran (doktrin) hukum. Menurut ajaran Islam menjadi ajaran (doktrin) dalam sistem hukum nasional sehingga tidak ada lagi dualisme antara hukum ldam dan hukum nasional karena tacermin secara utuh dalam putusan (yurisprudensi).

Kedua, Wujud dan pertimbangan hukum dalam putusan ijtihad hakim Peradilan Agama tentang pengembangan hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah terkait anak kandung (perernpuan) yang beragama non-muslim (Nasrani) status hukumnya bukan ahli waris, namun ia behak mendapat bagian dari harta peninggalan pewaris berdasarkan wasiat wajibah yang bagiannya sama dengan bagian anak perempuan (yang lain) dari almarhum ayah dan ibunya. Putusan ini seolah-olah tidak sesuai secara tekstual dalam al-Qur'an, as-Sumah dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan tetapi, putusan itu merupakan pelakmakan isi (substansi) dari alqur'an, as-Sunnah maupun Kompilasi Hukum Islam dalam upaya menggali dan menerapkan keadilan. Adapun pertimbangan hukum datam putusan ijtihad tersebut adalah selama masih ada anak laki-laki maupun perernpuan maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, kecuali orang tua, suami, istri menjadi tertutup (terhijab).

Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas salah seorang ahli tafsir di kalangan sahabat Nabi yang mu'tabar dalam menafsirkan kata "walad" pada ayat 176 Surat an-Nisa' yang berpendapat pengertiannya mencakup anak laki-laki maupun anak perempuan. Pertimbangan hukum bagi non-muslim mendapat bagian dari pewaris muslim adalah untuk memenuhi rasa keadilan sebagai salah satu prinsip hukum kewarisan Islam dengan kontruksi hukum wasiat wajibah, dalam hal ini, al-Qurtubi menafsirkan kata "watuqsitu ilaihim" (dan berlaku adil terhadap mereka) mengemukakan bahwa ayat tersebut sebagai pemberi belanja (infaq) terhadap orang non-muslim yang wajib diberi nafkah oleh ketuarga yang muslim kalau masih hidup.

Ketiga, metode ijtihad hakim Peradilan Agama tentang pengembangan hukum kewarisan Islam dalam KHI pada kasus posisi di atas adalah maqashid as-syari'yyah dengan corak penalaran ta'lili dengan metode istihsan dan corak menalaran istishlahi dengan metode mashlahat serta mempertimbangkan dampak positif dan negative dari suatu penerapan hukurn (al- nazar fi al-ma'alat).

Keempat, peran ijtihad hakim Peradilan Agama tentang pengembangan hukum kewarisan dalam KHI, dengan menggunakan teori keadilan, yaitu untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan muslim di Indonesia adalah menjadikan Pengadilan Agama mempakan institusi hukum yang dinamis, menginterpretasikan teks-teks undang-undang (hukum kewarisan dalam KHI) dalam konteks masyarakat serta perubahan-perubahannya. Dengan demikian Pengadilan Agama merupakan institusi yang terbuka, yaitu sebagai institusi sosial yang tanggap dan mengakomodir perkembangan sosial dan hukumnya supaya putusannya bermanfaat pada masyarakat pencari keadilan.

Kelima, kaidah hukum yang dapat diambil dari ijtihad hakim Peradilan Agama tentang pengembangan hukum kewarisan dalam KHI adalah kata "aulad" mencakup anak laki-laki dan perempuan. Menurut pendapat ini, baik anak laki-laki maupun anak perempuan masing-masing menghijab saudara kandung pewaris untuk mendapatkan warisan. Adapun kontribusinya terhadap hukum nasional adalah selama masih ada anak laki-laki atau perempuan, hak waris dari orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, kecuali orang tua, suami dan atau istri menjadi tertutup (mahjub), dan perbedaan agama bukan merupakan salah satu penghalang seseorang untuk mendapatkan bagian harta peninggalan dari pewaris (muslim) untuk mernenuhi rasa keadilan sebagai salah satu prinsip hukum kewarisan Islam dengan menggunakan konstruksi hukum wasiyat wajibah.

Adapun kontribusinya terhadap hukum nasional adalah anak kandung perempuan beragama non-Islam (Nasrani) status hukumnya bukan ahli waris, namun ia berhak mendapatkan bagian dari harta peninggalan kedua orang tuanya (pewaris muslim) berdasarkan wasiat wajibah yang tidak melebihi sepertiga, bagiannya sama dengan bagian anak (perempuan) ahli waris almarhum ayah dan ibunya. Semua temuan hasil penelitian tersebut di atas merupakan tahrij al-ahkam 'ala nashil qanun dalam upaya menggali dan menerapkan maqashid al-syari'yyah melalui ijtihad hakim Peradilan Agama di Indonesia.

PENUTUP / KESIMPULAN

 

Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di atas, maka dapat di simpukan bahwa :

  • Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup.
  • Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).
  • Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan orang yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.
  • Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an, sehingga tidak ada kata tidak adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT. Yang di jamin kebenarannya.
  • Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :

Ø  Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.

Ø  Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di pergunakan untuk biaya mengurus mayat.

Ø  Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.

Ø  Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si mayat.

  • Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang meninggal dunia dan hukum wasiat adalah sunnah.
  • Hukum Islam dapat ditransformasikan ke dalam hukum nasional melalui beberapa pintu. Salah satunya adalah dalam bentuk putusan atau yang dikenal dengan yurisprudensi Mahkaha Agung Bidang Peradilan Agama. Putusan ini digali dari ajaran atau hukum Islam atau penerapan ajaran Islam yang menjelma dalam penemuan asas atau prinsip hukum yang di dalamnya termuat pesan tata nilai religious yang menjadi watak dan karakter serta merupakan salah satu cara berfikir religius. Adapatasi doktrin agama Islam menjadi doktrin dalam sistem hukum nasional merupakan bukti tidak adanya dualism antara hukum Islam dan hukum nasional karena tercermin utuh dalam suatu putusan (yurisprudensi).
  • Hukum kewarisan Islam adalah rasional, kasuistis dan mengikuti perkembangan zaman Perubahan sosial dan hukum masyarakat akan mempengaruhi rasio hak waris antar laki-laki dan perempuan. Keberadaan hukum kewarisan yang dipandang qath’I  dapat berubah menjadi dhanny.
  • Para hakim dalam mengambil putusan tersebut mengunakan teori kausalitas, teori nasakh. Hukum waris merupakan hukum muamalah maka dapat dikembangkan (terbuka) sesuai alasannya dan ini menggunakan teori ajaran non dasar atau ta’aquli.
  • Kontribusi Hukum Islam terhadap hukum nasional sangat signifikan karena faktor demografi keagamaan. Pengejawatahan ajaran agama Islam yang sesuai dengan nilai dan semangat kebangsaaan merupakan metode ijtihadi yang konteksual dalam rangka perwujudan prinsip maqashid syariyyah yang membumi sehingga hukum (law) tidak hanya sebagai teks kaku, tetapi living law yang berdasarkan aspirasi perwujudan keadilan bagi setiap manusia secara umum serta masyarkat muslim pada khususnya. KHI sebagai hukum positif, tentunya tidak hanya sayogyanya digunakan oleh umat Islam saja, tentu kontribusi progresif terhadap pembangunan hukum nasional melalui putusan-putusan peradilan agama menjadi faktor positif. 

     Penting bagi para mahasiswa khususnya dan akdemisi serta praktisi untuk terus memperhatikan putusan-putusan Pengadilan Agama sebagai upaya transformasi hukum di era globalisasi dalam kerangka perwujudan keadilan sosial yang responsip terhadap perubahan sosial serta dinamika yang terjadi di dalam masyarakat yang majemuk sehingga hukum menjadi hidup (living law) yang selalu diterima baik oleh masyarakat.

 

   

DAFTAR PUSTAKA

 

Ash-Sahabuni, M.A. (1995), Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhau’ Al- Kitab wa Sunnah. Terj. A.M. Basalamah “Pembagian Waris Menurut Islam”, Jakarta: Gema Insani Press.

Assyafira, G. N. (2020). WARIS BERDASARKAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Al-Mashlahah Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial8(01), 68-81.

Baharuddin, Matta. "Analisis Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia." DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum 10.2 (2012): 166-172.

Fadillah, R. (2021). Pertentangan Hukum Adat Dengan Hukum Islam Dalam Kasus Waris Janda Poligami ‘Urang’ Banjar. JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES5(1).

Khisni, A. (2011). Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum Nasional (Studi Ijtihad Hakim Peradllan Agama Tentang Pengembangan Hukum Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Kontribusinya Terhadap Hukum Nasional (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA).

Meliala, D. S. (2018). Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Muhibbin, M., & Wahid, A. (2022). Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia (Edisi Revisi). Sinar Grafika.

Nawawi, M., & M HI, M. (2016). Pengantar Hukum Kewarisan Islam. Surabaya. Pustaka Radja.

Sukardi, D. (2013). Perolehan Dan Hak Waris Dari Istri Kedua, Ketiga Dan Keempat Dalam Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia (Sebuah Pemahaman Dengan Ilmu Hukum, Filsafat Hukum Dan Paradigmatik). Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke43(3).

Supardin, S. (2020). Fikih Mawaris & Hukum Kewarisan (Studi Analisis Perbandingan). Goa. Pustaka Almaida.

Wahyuni, A. (2018). Sistem Waris Dalam Perspektif Islam Dan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia. SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i5(2), 147-160.

Internet:

https://darulhurmah.com/pembagian-harta-warisan-menurut-islam-urutan-ahli-warisnya/

https://simbi.kemenag.go.id/eliterasi/storage/perpustakaan/slims/repository/b5c07c0ce34195adb3cd15ad059b33f2.pdf