PENDAHULUAN
1. LATAR
BELAKANG
Menurut
Badruddin (2012), kajian sejarah hukum (legal history) Hindia Belanda
tentang kedudukan Hukum Islam dapat dibagi atas dua priode, pertama;
Priode penerimaan hukum Islam sepenuhnya (pada kejayaan kerajan-kerajaan Islam
di nusantara). Priode ini dikenal dengan teori reception in complexu. Kedua;
Priode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat yang dikenal dengan teori receptie.
Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronye. Hukum Islam dimasukkan
dalam katergori hukum adat oleh pemerintah kolonial, akan tetapi, hukum Islam
masih tetap berlaku dan di bidang-bidang hukum perdata tertentu. Hingga tahun 1937, pemerintah Hindia Belanda
dengan Stablat di tahun yang sama mengatur hukum waris dalam sistem
peradilan yaitu Pengadilan Negeri dan diraihnya kemerdekaan Republik Indonesia
dengan UUD 1945 sebagai konstitusi melegitimasi peraturan yang ada masih
berlaku dan dikuatkan di pasal 29 ayat 2 yang menjamin kemerdekaan tiap
penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing
(Badruddin, 2012).
Dalam
konteks hukum Nasional, hukum Islam dan hukum adat juga sebagai sumber hukum
nasional. Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dan warga wajib
menjunjung hukum dan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim
merupakan perumus dan penggali hukum dari nilia-nilai hukum yang hidup di kalangan
rakyat. Untuk itu, seorang hakim harus menyatu dengan masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu melayani perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Salah satu putusan yang sering di
bidang dalam pengadilan agama adalah perihal warisan. Di samping itu, putusan
hakim terkait dengan warisan di Indonesia tentunya banyak terkait dengan
pemeluk agama Islam yang hukumnya bersumber dari ajaran-ajaran dalam agama
Islam.
Hukum
Islam yang berlaku di Indonesia sekarang ini telah dianggap sebagai hukum
positip yang berlaku (ius constitutum). Hukum tertulis yang terkait
dengan hukum waris dan telah diundangkan tersebut ada di Kompilasi Hukum Islam
(KHI) di buku dua. Selain itu, seperti yang telah disebutkan di atas bahwa
putusan hakim (jurispruden) terkait dengan hukum waris juga menjadi penting
sebagai hasil ijtihad seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara warisan dan
dapat dijadikan rujukan serta pengambangan terhadap hukum Islam dalam arti
sempit serta kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional Indonesia.
Oleh
karena itu, pemahaman dasar tentang hukum waris menjadi penting untuk bisa
dipahami secara baik oleh mahasiswa. Selain itu, perhatian atas
putusan-putusan hakim pengadilan agama juga menjadi sumber kajian penting dalam
memperkaya serta memperdalam pemahaman tentag hukum Islam, khususnya hukum
waris. Makalah ini dibuat untuk memahami secara mendasar poin-poin penting
dalam hukum waris dalam perspektif agama Islam dan belajar dari salah satu
putusan hakim agama terkait dengan hukum waris sehingga mahasiswa bisa memahami
secara umum hukum waris dan kontribusi apa yang diberikan oleh hukum waris
dalam hukum Islam dalam pembangunan sistem hukum nasional.
Sumber
primer dari makalah ini adalah Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh
Kementerian Agama, atas dasar Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor I Tahun 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam ditindak lanjuti
dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tentang
Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991. Selain
itu, sumber sumber lain adalah hasil penelitian akademik tentang putusan
hakim di sistem peradilan agama terkait hukum waris tulisan-tulisan lain berbentuk
artikel jurnal dan tulisan berbasis website.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diperoleh rumusan
masalah sebagai berikut
o Apa yang dimaksud dengan waris ?
- Apa saja syarat dan rukun waris ?
- Siapakah golongan ahli waris?
- Hak-hak yang bersangkutan dengan
harta waris.
- Bagian-bagian ahli waris.
- Penyebab tidak mendapatkan harta
waris.
- Apa yang di maksud dengan ‘Aulu?
- Hal-hal apa saja yang menghalangi
waris
- Apa yang di maksud dengan Wasiat?.
- Kontribusi Hukum Islam dalam Hukum
Nasional (Studi Kasus; Putusan Mahkamah Agung)
3. TUJUAN
- Untuk mengetahui dan memaparkan
hukum waris menurut pandangan agama Islam.
- Untuk menambah wawan pembaca
mengenai hukumwaris menurut pandangan agama Islam.
- Untuk mengetahui contoh kontribusi
Hukum Islam dalam SIstem Hukum Nasional.
PEMBAHASAN
1) PENGERTIAN
WARIS
Di
Indonesia ada beberapa istilah yang penggunaannya sepadan dengan ilmu mawaris,
antara lain ilmu faraidl, hukum kewarisan Islam, hukum waris Islam, dan fiqh
mawarith. Istilah-istilah tersebut mengarah pada pengertian yang sama
dengan ilmu mawaris yang penggunaannya dalam kehidupan masyarakat saling
melengkapi sesuai dengan tradisi masing-masing daerah (Nawawi, 2016). Kata
dasar dari terminologi-terminologi di atas adalah kata waris.
Kata waris
sering didentifikasikan dengan kata warisan yang dipahami sebagai harta
peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada seseorang yang masih hidup
yang berhak menerima harta tersebut. Sedangkan kata waris dalam hukum waris diartikan
sebagai sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan
setelah wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak menerima harta peninggalan di
sebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta peninggalan, ahli waris telah
memiliki bagian-bagian tertentu (Nawawi, 2016). Seperti yang tercantum dalam
Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ Ayat 7 sebagai berikut :
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ
وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ
وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (Kemenag RI, 2022)
Pengertian
waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan
dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Kata ورث adalah kata kewarisan pertama
yang digunakan dalam al-Qur’an. Kata waris dalam berbagai bentuk makna tersebut
dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:
§ Mengandung
makna “mengganti kedudukan” (QS. an-Naml, 27:16).
§ Mengandung
makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. az-Zumar,39:74).
§ Mengandung
makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. al-Maryam, 19: 6).
(Kemenag RI, 2022).
Menurut Hayati, Haris, & Hasibuan
(2015) yang mengutip al-Malibary. Para ahli fikih memberikan pengertian ilmu
waris adalah sebagai berikut:
علم
يعرف به من يرث ومن لا يرث ومقداركل وارث وكيفية التوزيع
“Artinya:
Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan orang yang mewaris, kadar
yang diterima oleh ahli waris serta cara pembagiannya.”
Kata waris dalam keilmuan Islam diartikan sebagai perpindahan hak
dan atau kewajiban atas harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia kepada
ahli waris yang masih hidup (Khisni, 2011). Kata waris juga menempel
dengan istilah Hukum Kewarisan Islam yang membahas apa dan bagaimana pelbagai
hak-hak dan kewajiban kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup dalam tuntunan agama
Islam. Dengan demikian secara garis besar definisi
warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang
yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat
dan rukun dalam mewarisi.
Selain
kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan dengan
warisan (Kemenag, 2018 & Khisni, 2011), diantaranya adalah:
a.
Waris, adalah orang yang termasuk
ahli waris yang berhak menerima warisan.
b.
Muwaris, adalah orang yang diwarisi
harta bendanya (orang yang meninggal) baik secara haqiqy maupun hukmy karena
adanya penetapan pengadilan.
c.
Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap
dibagikan kepada ahli waris yang berhak setelah diambil untuk pemeliharaan
jenazah, melunasi hutang dan menunaikan wasiat.
d.
Warasah, yaitu harta warisan yang
telah diterima oleh ahli waris.
e.
Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan
orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi
hutang, menunaikan wasiat.
Adapun
pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya terdapat di Pasal 171 huruf a (Kemenag, 2018). Dalam arti luas, hukum
waris adalah ketentuanyang mengatur tentanf peralihan harta kekayaan (hak dan
kewajiban) dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang atau lebih (Meliala, 2018). Ketentuan-ketentuan utama terkait hukum
waris di buku II KHI ini dapat dilihat sebagai berikut.
Dalam
pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini ,
yaitu:
- Hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.
- Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli
waris dan harta peninggalan.
- Ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi
ahli waris.
- Harta peninggalan adalah harta yang
ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak
miliknya maupun hak-haknya.
- Harta warisan adalah harta bawaan
ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
- Wasiat adalah pemberian suatu benda
dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewaris meninggal dunia.
- Hibah adalah pemberian suatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang
masih hidup untuk dimiliki.
- Baitul Maal adalah balai harta
keagamaan (Kemenag, 2018).
Dalam
fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui tata cara pembagian dan
untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian, siapa yang tidak
mendapat bagian dan berapa besar bagiannya adalah ilmu faroidl. Al-Faraaidh (الفرائض) adalah bentuk jamak dari
kata Al-Fariidhoh (الفريضه) yang oleh para ulama diartikan
semakna dengan lafazh mafrudhah, yaitu
bagian-bagian yang telah ditentukan kadarnya (Supardin, 2020).
2) Kewarisan Menurut Hukum
Islam
Hukum Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah
satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al-ahwalus Syahsiyah) sangat
penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak
terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan
mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan
hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris
(pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya (Wahyuni,
2018).
Tujuan dari adanya dan implemetasi hukum waris untuk
menghindarkan seseorang dari pelanggaran ajaran agama (Islam) yaitu menggunakan
atau mengambil hak yang bukan menjadi hak individu tersebut. Pentingnya hukum
waris bagi muslim ditegaskan oleh Rasulullah SAW yang dikutip oleh Fadillah
(2021). Yang artinya: “Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan
belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku
seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua
orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan
mengabarkannya. (HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I). Dalam agama Islam,
mempelajari hukum kewarisan hukumnya adalah fardlu kifayah yang berarti
jika dalam suatu daerah tidak ada yang faham tentang hukum kewarisan (Islam),
maka berdosalah orang-orang di kampung tersebut. Satu atau dua orang yang faham
tentang ilmu ini, maka gugurnya hukuman dosa tersebut (Muhibbin, & Wahid, 2022).
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan
bahwa ilmu kewarisan menururt Islam adalah sangat penting, karena tidak sebagai
sarana untuk mengangkat derajat seeorang, tetapi juga sebagai muamalah yang
salah satu fungsinya untuk mendamaikan sebuah perselisihan atau menyelesaikan
permasalahan harta peninggalan berdasarkan anjuran agama (Khisni, 2011).
Tentunya bagi para hakim agama, memiliki pengetahuan tentang ilmu kewarisan adalah
mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam hadits
rasulullah di atas.
3)
SYARAT DAN RUKUN WARIS
Terdapat tiga syarat warisan
yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
- Meninggalnya
seseorang (pewaris) baik
secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara
taqdiri.
- Adanya ahli waris yang hidup
secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
- Seluruh ahli waris diketahui secara
pasti baik bagian masing-masing (Ash-Sahabuni,
1995 & Khisni, 2011).
Adapun rukun waris dalam hukum
kewarisan Islam (Ash-Sahabuni,
1995 & Hayati, Haris, Hasibuan, 2015), diketahui ada tiga macam, yaitu:
1.
Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya
atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah
meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi
3 macam :
a)
Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya
muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian
tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan
dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
b)
Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim
atau yuridis)
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim
atau yuridis) adalah suatu kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim
karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis
muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih
hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hanbaliyah, apabila lama meninggalkan
tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut
pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan
pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
c)
Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah
sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu
hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir
dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh
pemukulan terhadap ibunya.
2.
Waris (ahli waris), yaitu orang yang
dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan
sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya
adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam
keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam
kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat
lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada
halangan saling mewarisi.
3.
Maurus atau al-Miras, yaitu harta
peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan
hutang, dan pelaksanaan wasiat.
4) GOLONGAN
AHLI WARIS
Jika
mengacu pada KHI pasal 174, kelompok-kelompok ahli waris terbagi menurut
hubungan darah dan menurut hubungan perkawinan dari duda atau janda. Rincian
hubungan darah terdiri dari golongan laki-laki seperti ayah, anak laki-laki,
saudara laki-laki, paman dan kakek. Sedangkan golongan perempuan terdiri dari
ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan saudara perempuan dari nenek
(Kemenag, 2018). Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang
yang meninggal sebanyak 25 orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak
laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan (darulhurmah.com). Penggolongan
ahli waris dibahas secara mendetil oleh Supardin (2018, h. 25-61) dengan
membagi golongan ahli waris menjadi 3 (tiga) sistem penggolongan : 1. sistem
penggolongan ahli waris menurut fikih mawaris, 2. sistem
penggolongan ahli waris menurut hukum kewarisan islam dan tambahan dari
perspektif KUHPerdata, 3. Sistem Penggolongan Ahli Waris Menurut KUHPerdata. Di
bawah ini penggolongan berdasarkan Fikih mawaris :
Golongaan ahli waris dari pihak
laki-laki:
1. Suami/duda (al-zauju).
2. Anak laki-laki
(al-ibnu).
3. Ayah (al-abu)
4. Cucu laki-laki
dari pancar laki-laki (ibnu al-ibni).
5. Kakek ṣaḥih
yaitu ayah dari ayah (al-jaddu).
6. Saudara
laki-laki sekandung (al-akhu li al-abi).
7. Saudara
laki-laki seayah (al-akhu li al-abi).
8. Saudara
laki-laki seibu (al-akhu li al-ummi).
9. Anak laki-laki
dari saudara laki-laki sekandung (ibnu al-akhi al-syaqīqu).
10. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki seayah (ibnu al-akhi li al-abi).
11. Paman sekandung, yaitu
saudara laki-laki sekandung dari ayah (al-ammu al-syaqīqu).
12. Paman seayah, yaitu saudara
laki-laki seayah dari ayah (al-ammu li al-abi).
13. Sepupu (misan), yaitu anak
laki-laki dari paman sekandung (ibnu al-ammi al-syaqīqu).
14. Sepupu (misan), yaitu anak
laki-laki dari paman seayah (ibnu al-ammi li al-abi).
Apabila 10
orang laki-laki tersebut di atas semua ada, maka yang mendapat harta warisan
hanya 3 orang saja, yaitu :
1.
Bapak.
2.
Anak laki-laki.
3.
Suami.
Golongan dari pihak perempuan,
yaitu :
1. Istri/janda (al-zaujah).
2. Anak perempuan (al-bintu).
3. Ibu (al-ummu).
4. Cucu perempuan
dari anak laki-laki atau pancar laki-laki (bintu al-ibni).
5. Nenek dari pancar
ibu, yaitu ibunya ibu atau nenek ṣaḥih (al-jaddatu min jihatil-ummi).
6. Nenek dari pancar
ayah, yaitu ibunya ayah (aljaddatu min jihatil-abi).
7. Saudara perempuan
sekandung (al-ukhtu
alsyaqīqatu).
8. Saudara perempuan
seayah (al-ukhtu li
al-abi).
9. Saudara
perempuan dari ibu (al-ukhtu-lil-ummi).
Apabila 10 orang tersebut di
atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari mereka itu hanya 5 orang saja,
yaitu :
- Isteri.
- Anak perempuan.
- Anak perempuan dari anak laki-laki.
- Ibu.
- Saudara perempuan yang seibu
sebapak.
Sekiranya
25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan
semuanya ada, maka yang pasti mendapat hanya salah seorang dari dua suami
isteri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan. Anak yang berada
dalam kandungan ibunya juag mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal
dunia sewaktu dia masih berada di dalam kandungan ibunya. Sabda Rasulullah SAW.
“apabila menangis anak yang baru lahir,
ia mendapat pusaka.” (HR. Abu Dawud).
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau
perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak
menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan
melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan yang diatur
dalam pasal 188 KHI (Kemenag RI, 2018). Di dalam Pasal 191 KHI, ada ketentuan
bahwa apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli
warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan
Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan
agama Islam dan kesejahteraan umum (Kemenag RI, 2018).
5) BEBERAPA KEWAJIBAN
YANG BERSANGKUTAN DENGAN HARTA WARIS
Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris
menurut ketentuan pasal 175 KHI adalah:
- Mengurus
dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
- Menyelesaikan
baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris
maupun menagih piutang.
- Menyelesaiakan
wasiat pewaris; perihal wasiat dibahas pada pasal 194
- Membagi
harta warisan diantara ahli waris yang berhak (Kemenag RI, 2018).
6) BAGIAN-BAGIAN
AHLI WARIS
Besarnya
bagian harta warisan dijelaskan secara mendetil di KHI mulai dari pasal 176
hingga pasal 191 (Kemenga, 2018). Ketentuan kadar bagian masing-masing ahli
waris adalah sebagai berikut:
§ Yang
mendapat setengah harta.
§ Anak
perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak bersama-sama saudaranya. Allah
berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 11:
وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ
ۗ
Artinya: “Jika anak perempuan itu hanya seorang, maka
ia memperolah separo harta.”(Kemenag
RI, 2022).
1.
Anak perempuan dari anak laki-laki,
apabila tidak ada anak perempuan. (berdasarkan keterangan ijma’)
§ Saudara
perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja, apabila ia saudara perempuan seibu
sebapak tidak ada dan ia hanya seorang saja.
§ Suami,
apabila isterinya yang meninggal dunia itu tidak meninggallkan anak dan tidak
pula ada anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
Yang mendapat seperempat
harta.
§ Suami, apabila
isteri meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki ataupun anak
perempuan, atau meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun
perempuan. Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu:
فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ
الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ
ۗ
Artinya : “Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang di tinggalkannyasesudah dik penuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah di bayar utangnya.”
§ Istri, baik hanya satu orang ataupun berbilang, jika suami tidak
meninggalkan anak(baik anak laki-laki maupun anak perempuan) dan tidak pula
anak dari anak laki-laki(baik laki-laki maupun perempuan). Maka apabila istri
itu berbilang, seperempat itu di bagi rata antara mereka.
2.
Yang mendapat seperdelapan harta.
Istri baik satu ataupun berbilang,
mendapat warisan dari suaminya seperdelapan dari harta kalau suaminya yang
meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki ataupun perempuan,
atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki ataupun perempuan.
Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’
ayat 12, yaitu :
فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ
دَيْنٍ ۗ
Artinya : “Jika kamu mempunyai anak, bagi mereka (para istri)
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang
kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu.”
3.
Yang mendapat dua pertiga harta.
§ Dua orang
anak perempuan atau lebih, dengan syarat apabila tidak ada anak laki-laki.
§ Dua orang
anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki. Apabila ia anak perempuan tidak
ada, berarti anak perempuan dari anak laki-laki yang berbilang itu, mereka
mendapatkan harta warisan dari kakek mereka sebanyak dua pertiga dari harta.
§ Suadara
perempuan yang seibu sebapak apabila berbilang (dua atau lebih). Firman Allah SWT,
dalam Surah An-Nisa’ ayat 176, yaitu:
فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا
الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗ
Artinya: “Jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang di tinggalkan oleh yang meninggal.”
§ Saudara
perempuan yang sebapak, dua orang atau lebih.
Keterangannya adalah surah An-Nisa’ ayat
176 yang tersebut di atas, karena yang di maksud dengan saudara dalam ayat
tersebut ialah saudara seibu sebapak atau saudara sebapak saja apabila
saudara perempuan yang seibu sebapak tidak ada.
4.
Yang mendapat sepertiga harta.
§
Ibu, apabila yang meninggal tidak
meningglkan anak atau cucu (anak dari anak laki-laki), dan tidak pula
meninggalkan dua orang saudara, baik laki-laki ataupun perempuan, seibu sebapak
atau sebapak saja, atau seibu saja.
§
Dua orang saudara atau lebih dari saudara
yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah SWT, dalam surah
An-Nisa’ ayat 12, yaitu:
فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ
شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ
Artinya : “Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu.”
5.
Yang mendapat sepereenam harta.
§ Ibu,
apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak laki-laki, atau beserta dua
saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun saudara perempuan, seibu
sebapak, sebapak saja, atau seibu saja.
§ Bapak si
mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki.
§ Nenek (ibu
dari ibu atau ibu dari bapak), kalau ibu tidak ada. Hal ini beralasan dari
hadist yang diriwayatkan oleh zaid yang artinya: “Sesungguhnya nabi SAW. telah
menetapkan bagian nenek seperenam dari harta “
§ Cucu
perempuan dari pihak anak laki-laki, (anak perempuan dari anak laki-laki).
Mereka mendapatkan seperenam dari harta, baik sendiri atau berbilang, apabila
bersama-sama seorang anak perempuan. Tetapi apabila anak perempuan berbilang,
maka cucu perempuan tadi tidak mendapat harta waris.
§ Kakek
(bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak laki-laki,
sedangkan bapak tidak ada. (keterangan berdasarkan ijma’ para ulama’)
§ Untuk
seorang sudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah SWT.
Dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu:
وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ
وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ
Artinya : “Dan apabila si mayat mempunyai seorang sudara laki-laki(seibu saja)
atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta.”
§ Saudara perempuan
yang sebapak saja, baik sendiri ataupun berbilang, apabila beserta saudara
perempuan yang seibu sebapak. Adapun apabila saudara seibu sebapak berbilang (dua
atau lebih), maka saudara sebapak tidak mendapat harta warisan. (berdasarkan
ijma’ para ulama’).
7) SEBAB-SEBAB
TIDAK MENDAPATKAN HARTA WARIS
Ahli waris
yang telah di sebutkan di atas semua tetap mendapatkan harta waris menurut
ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan, kecuali apabila ada ahli waris yang
lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka. Berikut akan di
jelaskan orang-orang yang mendapat harta waris, atau bagiannya menjadi kurang
karena ada yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka (Hayati,
Haris, & Hasibuan 2015).
- Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari
bapak), tidak mendapat harta waris karena ada ibu, sebab ibu lebih dekat
pertaliannya kepada yang meninggal dari pada nenek. Begitu juga kakek,
tidak mendapat harta waris selama bapaknya masih ada, karena bapak lebih
dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada kakek.
- Saudara seibu, tidak mendapatkan
harta waris karena adanya orang yang di sebut di bawah ini :
o
Anak, baik laki-laki maupun perempuan.
o
Anak dari anak laki-laki, baik laki-laki
maupun perempuan.
o
Bapak.
o
Kakek.
§ Saudara
sebapak, saudara sebapak tidak mendapat harta waris dengan adanya salah seorang
dari empat orang berikut :
o
Bapak.
o
Anak laki-laki.
o
Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu
laki-laki).
o
Sudara laki-laki yang seibu sebapak.
§ Saudara
seibu sebapak. Saudara seibu sebapak tidak akan mendapatkan harta waris apabila
terhalang oleh salah satu dari tiga orang yang tersebut di bawah ini :
o
Anak laki-laki.
o
Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu
laki-laki)
o
Bapak.
- Tiga laki-laki berikut ini
mendapatkan harta waris namun saudara perempuan mereka tidak mendapat
harta waris, yaitu:
o
Saudara laki-laki bapak(paman)
mendapatkan harta waris. Namun, saudara perempuan bapak (bibi) tidak
mendapatkan harta waris.
o
Anak laki-laki saudara bapak yang
laki-laki(anak laki-laki paman dari bapak) mendapat harta waris. Namun, anak
perempuannya tidak mendapatkan harta waris.
o
Anak laki-laki saudara laki-laki
mendapatkan harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta
waris.
8)
HAL-HAL YANG MENGHALANGI WARIS
Pada umum hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada
tiga macam (Nawawi, 2016) yaitu:
a) Pembunuhan.
Pembunuhan adalah sesuatu perbuatan yang mutlak menjadi penghalang
waris, karena adanya dalil yang kuat dari hadis Rasulullah SAW, Yang Artinya:
” Tidak berhak sipembunuh mendapat sesuatupun
dari harta warisan (Hadis Riwayat an-Nasa’i dengan isnad yang sahih)”.
Imam Syafi’i memberikan
contoh pembunuhan yang dapat menjadi penghalang mewarisi sebagai berikut:
1.
Hakim yang menjatuhkan hukuman
mati, tidak dapat mewarisi harta orang yang telah dijatuhi hukuman mati.
2.
Algojo yang menjalankan tugas membunuh
tidak dapat mewarisi harta orang peninggalan pesakitan yang dibunuhnya.
3.
Seseorang yang memberikan persaksian
(sumpah) palsu, tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang menjadi
korban persaksian palsunya.
b)
Berbeda Agama.
Adapun yang dimaksudkan dengan berbeda
agama adalah agama yang dianut antara waris dengan muwaris itu berbeda.
Sedangkan yang dimaksud dengan berbeda agama dapat menghalangi kewarisan adalah
tidak ada hak saling mewarisi antara seorang muslim dan kafir (non Islam),
orang Islam tidak mewarisi harta orang non Islam demikian juga sebaliknya.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang Artinya:” Diriwayatkan daripada Usamah
bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi
harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh
mewarisi harta orang Islam. (Hadis Riwayat
an-Nasa’I dengan isnad yang sahih)”
c)
Perbudakan.
Secara umum, mayoritas ulama sepakat
bahwa seorang budak terhalang menerima warisan, karena budak (hamba sahaya)
secara yuridis tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, sedangkan hak
kebendaannya dikuasai oleh tuannya. Sehingga ketika tuannya meninggal, maka
seorang budak tidak berhak untuk mewarisi, karena pada hakekatnya seorang budak
juga merupakan “harta” dan sebagai harta maka dengan sendirinya benda itu bisa
diwariskan.
d)
Berlainan Negara
Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu
waris adalah perbedaan negara jika telah memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
a)
Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya
masing-masing di bawah komando yang berbeda.
b)
Kepala negara yang berbeda.
c)
Tidak ada ikatan satu dengan yang
lainnya, artinya tidak ada kerjasama diplomatik yang terjalin antar keduanya.
d)
Sedangkan yang menjadi penghalang
mewarisi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu beda agama (pasal 171 huruf c
dan pasal 172 KHI), membunuh, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat terhadap
pewaris dan memfitnah (pasal 173 KHI).
Adapun
persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa
perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak kita
temukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua. Sedangkan pewaris dalam
ketentuan hukum kewarisan Islam adalah bergama Islam, maka secara otomatis ahli
waris juga beragama Islam. Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam
(KHI) berbunyi: “Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
Sebagai
indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam, telah dijelaskan dalam pasal
172 KHI yang berbunyi: “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi
bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.” Sedangkan penghalang
mewarisi yang berupa pembunuhan, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat
pewaris dan memfitnah telah dijelaskan dalam pasal 173 KHI yang berbunyi: “Seseorang
terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
- Dipersalahkan telah membunuh atau
mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
- Dipersalahkan secara memfitnah telah
mengajukan pengaduan bahwa bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat,”
(Kemenag, 2018).
9)
PENGERTIAN WASIAT
Wasiat
adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang
meninggal dunia (Supardin, 2020). Penjeleasan tentang wasiat di dalam KHI dapat
dilihat di Bab V mulai dari pasal 194-209).
Rukun
wasiat adalah sebagai berikut :
- Ada orang yang berwasiat.
- Ada yang menerima wasiat.
- Sesuatu yang di wasiatkan.
- Lafadz(kalimat) wasiat, yaitu
kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.
Sebanyak-banyak wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh
lebih kecuali apaila di izinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang
berwasiat meninggal. Sabda Rasulullah SAW. Yaitu :
Dari Ibnu Abbas. Ia berkata, “Alanghkah
baiknya jika manusia mengurangi wasiat mereka dari sepertiga k seperempat.
Karena sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “ Wasiat itu sepertiga,
sedangkan sepertiga itu banyak.” (HR.
Bukhori dan Muslim) Wasiat
hanya di tujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris,
wasiat tidak sah kecuali apabila di ridhoi oleh semua ahli waris yang lain
sesudah meninggalnya yang berwasiat. Sabda Rasulullah SAW. Yaitu :
Dari abu
Amamah, Ia berkata : “ Saya telah
mendengar Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap
ahli waris. Maka dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang
ahli wari.” (HR. Liam orang ahli hadist selain Nasai)
Syarat
orang yang di serahi menjalankan wasiat, yaitu :
- Beragama Islam.
- Baligh.
- Berakal.
- Merdeka.
- Amanah.
- Cakap untuk menjalankan sebagaimana
yang di kehendaki oleh yang berwasiat.
Kontribusi Hukum Islam dalam Hukum Nasional
Hukum kewarisan Islam telah
dikodifikasi melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam yang isinya untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum
Islam yang terdiri dari: Buku I tentang hukum Perkawinan, Buku II tentang hukum
Kewarisan, Buku III tentang hukum Perwakafan untuk digunakan oleh Instansi
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia dan oleh
Masyarakat yang memerlukannya. Fakta hukum mengatakan bahwa hukum
kewarisan Islam sudah merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dalam
memecahkan persoalan kewarisan untuk masyarakat Islam. Dengan kedudukan hal
tersebut diatas, terdapat kata-kata dalam Intruksi Presiden untuk
disebarluaskan kepada masyarakat yang membutuhkannya maka sesuai dengan hakikat
hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang ilmu hukum
dalam pemahaman terhadap hukum kewarisan Islam, dapat dikatakan sebagai bagian
dari ilmu hukum.
Nawawi (2011)
membagi Hukum Kewarisan menjadi tiga fase perkembangan: a. kewarisan pada masa
pra Islam, b. Kewarisan pada masa awal Islam, c. Kewarisan pada masa
perkembangan Islam sampai sekarang. Ia berpendapat bahwa pelaksanaan sistem
kewarisan sangat berbeda antara satu generasi dengan generasi yang lain,
perbedaan sistem kewarisan tersebut dikarenakan adanya perbedaan situasi dan
kondisi sosial masyarakat, adat istiadat, agama, budaya, dan sebagainya.
Perbedaan-perbedaan sistem kewarisan senantiasa berlaku sepanjang sejarah
peradaban manusia.
Kontribusi Hukum
Islam terhadap sistem hukum nasional dapat dilihat di beberapa penelitian yang
dilakukan oleh kalangan akademisi dan praktisi. Selain itu Kompilasi Hukum
Islam, penelitian atas putasan pengadilan agama (yurisprudensi) juga menjadi
salah satu bagian pembangunan sistem hukum nasional juga dilakukan. Salah
satunya adalah penelitian terkait ijtihad hakim peradilan agama dalam
pengembangan Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam. Menurut sebuah
penelitian yang bertujuan mengetahui, memahami, dan mengkaji mengenai ijtihad
hakim Peradilan Agama tentang pengembangan hukum kewarisan dalam Kompilasi
Hukum Islam, terdapat beberapa kontribusi dan kontribusinya terhadap hukum nasional.
Perkembangan
dalam pengambilan keputusan oleh Putusan Hakim Mahkamah Agung di Indonesia
merupakan salah satu bukti upaya ijtihad seorang hakim dalam menggali dan
mengembangkan teks undang-undang. Salah satu putusan yang menarik adalah
diperbolehkannya ahli waris dari non muslim untuk mendapatkan warisan (Khisni,
2011). Hal ini sepertinya bertentangan dengan hadits Riwayat Nabi Muhammad yang
bersabda: "Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan
tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim). Selain itu
putusan tersebut juga tidak sesuai dengan beberapa ayat dalam al-Quran seperti
Surat An-Nisa’ ayat 141 dan Surat Al-Maidah ayat 48 (Ash-Sahabuni, 1995). Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad juga
menyatakan bahwa perbedaan agama tetap menjadi penghalang dalam mewarisi
(Khisni, 2011). Sedangkan penghalang bagi non
muslim untuk mendapatkan warisan juga disebutkan di pasal 171 huruf (c)
(Kemenag, 2018).
Beberapa argument
penting yang dijadikan landasan dalam pengambilan putusan adalah sebagai
berikut:
1. Al-Quran
menekankan pengakuan kebebasan dalam beragama serta toleransi dan respect.
2. Adanya prinsip
pokok sebagai acuan dalam membina hubungan antara muslim dan non muslim:
kemurnian tauhid, persamaan, keadilan dan perdamaian.
3. Prinsip dasar
kemurnian tauhid adalah pahama kesamaan dan persaudaraan antar manusia, yakni
seluruh umat manusia sama terlepas etnik, agama dan orientasi politik.
4. Islam
melindungi aspek-aspek kehidupan baik aspek spirituil dan materiil.
5. Al-quran tidak
mengkontradiksi antara ukhuwah diniyyah dan ukhuwah insaniyah.
6. Ukhuwah
insaniyah menuntut langkah dan
tindak sungguh-sungguh demi kepentingan umat manusia, menyelematkan diri dari
keinginan menyimpang, dan berpaling dari tindakan sia-sia serta melumpuhkan
hawa nafsu serta mengatur persahabatan dan menanamkan rasa cinta kasih dan
kebajikan kepada sesama.
Berdasarkan
prinsip-prinsip di atas, hubungan muslim dengan non muslim dalam suatu keluarga
dekat, maka harus didorong untuk berkehidupan yang saling tolong menolong,
serta saling membantu yang merupakan kebutuhan. Saling mewarisi antara pewaris
dengan ahli waris (muslim dan non muslim) merupakan alat penghubung untuk
mempertemukan para ahli waris yang disebabkan adanya kekuasaan perwalian dan adanya
jalinan tolong menolong serta saling membantu. Putusan yang berawal dari hak waris
mendapatkan wasiyat wajibah yaitu ¾ dari hak anak perempuan yang diatur
dalam KHI, berkembang menjadi hak penuh sebagai anak perempuan dari
kedua mendiang orang tua, yaitu sesuai dengan dengan KHI, mendapatkan 1 banding
2 dari hak waris anak laki-laki.
Adapun temuan umum
dari hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian tersebut dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, Hukum
Islam dapat ditransformasikan ke dalam hukum nasional dari putusan
(yurispmdensi) Peradilan Agama yang digali dari ajaran (hukum Islam) menjelma
menjadi penemuan asas, kaidah hukum yang di dalamnya terdapat tata nilai
religius menjadi hukum nasional serta dapat mentransformasikan, melahirkan atau
mengadaptasi ajaran (doktrin) hukum. Menurut ajaran Islam menjadi ajaran
(doktrin) dalam sistem hukum nasional sehingga tidak ada lagi dualisme
antara hukum ldam dan hukum nasional karena tacermin secara utuh dalam putusan
(yurisprudensi).
Kedua, Wujud
dan pertimbangan hukum dalam putusan ijtihad hakim Peradilan Agama
tentang pengembangan hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah terkait
anak kandung (perernpuan) yang beragama non-muslim (Nasrani) status
hukumnya bukan ahli waris, namun ia behak mendapat bagian dari harta
peninggalan pewaris berdasarkan wasiat wajibah yang bagiannya sama
dengan bagian anak perempuan (yang lain) dari almarhum ayah dan ibunya. Putusan
ini seolah-olah tidak sesuai secara tekstual dalam al-Qur'an, as-Sumah dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan tetapi, putusan itu merupakan
pelakmakan isi (substansi) dari alqur'an, as-Sunnah maupun Kompilasi Hukum Islam
dalam upaya menggali dan menerapkan keadilan. Adapun pertimbangan hukum
datam putusan ijtihad tersebut adalah selama masih ada anak laki-laki maupun
perernpuan maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai
hubungan darah dengan pewaris, kecuali orang tua, suami, istri
menjadi tertutup (terhijab).
Pendapat ini
sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas salah seorang ahli tafsir di kalangan
sahabat Nabi yang mu'tabar dalam menafsirkan kata "walad"
pada ayat 176 Surat an-Nisa' yang berpendapat pengertiannya mencakup anak
laki-laki maupun anak perempuan. Pertimbangan hukum bagi non-muslim mendapat
bagian dari pewaris muslim adalah untuk memenuhi rasa keadilan sebagai salah
satu prinsip hukum kewarisan Islam dengan kontruksi hukum wasiat wajibah,
dalam hal ini, al-Qurtubi menafsirkan kata "watuqsitu ilaihim"
(dan berlaku adil terhadap mereka) mengemukakan bahwa ayat tersebut sebagai
pemberi belanja (infaq) terhadap orang non-muslim yang wajib diberi nafkah oleh
ketuarga yang muslim kalau masih hidup.
Ketiga, metode
ijtihad hakim Peradilan Agama tentang pengembangan hukum kewarisan Islam
dalam KHI pada kasus posisi di atas adalah maqashid as-syari'yyah dengan
corak penalaran ta'lili dengan metode istihsan dan corak menalaran
istishlahi dengan metode mashlahat serta mempertimbangkan dampak positif
dan negative dari suatu penerapan hukurn (al- nazar fi al-ma'alat).
Keempat, peran
ijtihad hakim Peradilan Agama tentang pengembangan hukum kewarisan dalam KHI,
dengan menggunakan teori keadilan, yaitu untuk mengantisipasi perkembangan
kehidupan muslim di Indonesia adalah menjadikan Pengadilan Agama mempakan
institusi hukum yang dinamis, menginterpretasikan teks-teks undang-undang
(hukum kewarisan dalam KHI) dalam konteks masyarakat serta
perubahan-perubahannya. Dengan demikian Pengadilan Agama merupakan institusi
yang terbuka, yaitu sebagai institusi sosial yang tanggap dan mengakomodir
perkembangan sosial dan hukumnya supaya putusannya bermanfaat pada
masyarakat pencari keadilan.
Kelima, kaidah
hukum yang dapat diambil dari ijtihad hakim Peradilan Agama tentang
pengembangan hukum kewarisan dalam KHI adalah kata "aulad"
mencakup anak laki-laki dan perempuan. Menurut pendapat ini, baik anak
laki-laki maupun anak perempuan masing-masing menghijab saudara kandung
pewaris untuk mendapatkan warisan. Adapun kontribusinya terhadap hukum nasional
adalah selama masih ada anak laki-laki atau perempuan, hak waris dari orang
yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, kecuali orang tua, suami
dan atau istri menjadi tertutup (mahjub), dan perbedaan agama
bukan merupakan salah satu penghalang seseorang untuk mendapatkan bagian harta
peninggalan dari pewaris (muslim) untuk mernenuhi rasa keadilan sebagai salah
satu prinsip hukum kewarisan Islam dengan menggunakan konstruksi hukum wasiyat
wajibah.
Adapun
kontribusinya terhadap hukum nasional adalah anak kandung perempuan beragama
non-Islam (Nasrani) status hukumnya bukan ahli waris, namun ia
berhak mendapatkan bagian dari harta peninggalan kedua orang tuanya (pewaris
muslim) berdasarkan wasiat wajibah yang tidak melebihi
sepertiga, bagiannya sama dengan bagian anak (perempuan) ahli waris almarhum
ayah dan ibunya. Semua temuan hasil penelitian tersebut di atas merupakan tahrij
al-ahkam 'ala nashil qanun dalam upaya menggali dan menerapkan maqashid
al-syari'yyah melalui ijtihad hakim Peradilan Agama di
Indonesia.
PENUTUP / KESIMPULAN
Dengan penjelasan-penjelasan mengenai
hukum waris di atas, maka dapat di simpukan bahwa :
- Waris adalah perpindahan hak
kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih
hidup.
- Adapun pengertian hukum kewarisan
menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171
huruf a KHI).
- Ahli waris adalah orang-orang
mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan orang yang telah meninggal
yang masih mempunyai hubungan darah.
- Bagian-bagian yang di peroleh ahli
waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an, sehingga tidak ada kata tidak
adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT. Yang di jamin kebenarannya.
- Sebelum di lakukan pembagian harta
waris terdapat beberapa hak yang harus di dahulukan. Ha-hak tersebut
adalah :
Ø
Hak yang bersangkutang dengan harta itu,
seperti zakat dan sewanya.
Ø
Biaya untuk mengururs mayat, seperti
harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang
pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di pergunakan untuk biaya mengurus
mayat.
Ø
Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
Ø
Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak
lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si mayat.
- Wasiat adalah pesan tentang suatu
kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang meninggal dunia dan hukum
wasiat adalah sunnah.
- Hukum Islam dapat ditransformasikan
ke dalam hukum nasional melalui beberapa pintu. Salah satunya adalah dalam
bentuk putusan atau yang dikenal dengan yurisprudensi Mahkaha Agung Bidang
Peradilan Agama. Putusan ini digali dari ajaran atau hukum Islam atau
penerapan ajaran Islam yang menjelma dalam penemuan asas atau prinsip
hukum yang di dalamnya termuat pesan tata nilai religious yang menjadi
watak dan karakter serta merupakan salah satu cara berfikir religius.
Adapatasi doktrin agama Islam menjadi doktrin dalam sistem hukum nasional
merupakan bukti tidak adanya dualism antara hukum Islam dan hukum nasional
karena tercermin utuh dalam suatu putusan (yurisprudensi).
- Hukum kewarisan Islam adalah
rasional, kasuistis dan mengikuti perkembangan zaman Perubahan sosial dan
hukum masyarakat akan mempengaruhi rasio hak waris antar laki-laki dan
perempuan. Keberadaan hukum kewarisan yang dipandang qath’I dapat berubah menjadi dhanny.
- Para hakim dalam mengambil putusan
tersebut mengunakan teori kausalitas, teori nasakh. Hukum waris
merupakan hukum muamalah maka dapat dikembangkan (terbuka) sesuai
alasannya dan ini menggunakan teori ajaran non dasar atau ta’aquli.
- Kontribusi Hukum Islam terhadap hukum nasional sangat signifikan karena faktor demografi keagamaan. Pengejawatahan ajaran agama Islam yang sesuai dengan nilai dan semangat kebangsaaan merupakan metode ijtihadi yang konteksual dalam rangka perwujudan prinsip maqashid syariyyah yang membumi sehingga hukum (law) tidak hanya sebagai teks kaku, tetapi living law yang berdasarkan aspirasi perwujudan keadilan bagi setiap manusia secara umum serta masyarkat muslim pada khususnya. KHI sebagai hukum positif, tentunya tidak hanya sayogyanya digunakan oleh umat Islam saja, tentu kontribusi progresif terhadap pembangunan hukum nasional melalui putusan-putusan peradilan agama menjadi faktor positif.
Penting
bagi para mahasiswa khususnya dan akdemisi serta praktisi untuk terus memperhatikan
putusan-putusan Pengadilan Agama sebagai upaya transformasi hukum di era
globalisasi dalam kerangka perwujudan keadilan sosial yang responsip terhadap
perubahan sosial serta dinamika yang terjadi di dalam masyarakat yang majemuk sehingga
hukum menjadi hidup (living law) yang selalu diterima baik oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Sahabuni, M.A. (1995), Al-Mawaris Fisy Syari’atil
Islamiyyah ‘Ala Dhau’ Al- Kitab wa Sunnah. Terj. A.M.
Basalamah “Pembagian
Waris Menurut Islam”, Jakarta: Gema Insani Press.
Assyafira, G. N. (2020). WARIS BERDASARKAN HUKUM ISLAM DI
INDONESIA. Al-Mashlahah Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, 8(01),
68-81.
Baharuddin, Matta. "Analisis Kedudukan Hukum Islam dalam
Sistem Hukum di Indonesia." DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum 10.2
(2012): 166-172.
Fadillah, R. (2021). Pertentangan Hukum Adat Dengan Hukum
Islam Dalam Kasus Waris Janda Poligami ‘Urang’ Banjar. JOURNAL OF
ISLAMIC AND LAW STUDIES, 5(1).
Khisni, A. (2011). Transformasi Hukum Islam Ke Dalam
Hukum Nasional (Studi Ijtihad Hakim Peradllan Agama Tentang Pengembangan Hukum
Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Kontribusinya Terhadap Hukum Nasional (Doctoral
dissertation, UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA).
Meliala, D. S. (2018). Hukum Waris Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Muhibbin, M., & Wahid, A. (2022). Hukum Kewarisan
Islam: Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia (Edisi Revisi). Sinar
Grafika.
Nawawi, M., & M HI, M. (2016). Pengantar Hukum
Kewarisan Islam. Surabaya. Pustaka Radja.
Sukardi, D. (2013). Perolehan Dan Hak Waris Dari Istri Kedua,
Ketiga Dan Keempat Dalam Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia (Sebuah Pemahaman
Dengan Ilmu Hukum, Filsafat Hukum Dan Paradigmatik). Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke, 43(3).
Supardin, S. (2020). Fikih Mawaris & Hukum Kewarisan
(Studi Analisis Perbandingan). Goa. Pustaka Almaida.
Wahyuni, A. (2018). Sistem Waris Dalam Perspektif Islam Dan
Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia. SALAM: Jurnal Sosial dan
Budaya Syar-i, 5(2), 147-160.
Internet:
https://darulhurmah.com/pembagian-harta-warisan-menurut-islam-urutan-ahli-warisnya/
https://simbi.kemenag.go.id/eliterasi/storage/perpustakaan/slims/repository/b5c07c0ce34195adb3cd15ad059b33f2.pdf