Jumat, 07 Juli 2023

Sejarah dan Politik Pembangunan (A Translation)

The Concept of Development

Terdapat banyak pembicaraan tentang kata 'pembangunan'. Kita pernah mendengar istilah 'proyek pembangunan', 'petugas pembangunan', 'negara kurang berkembang', 'negara berkembang', 'negara maju'; ada 'Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan' (bagian dari Kelompok Bank Dunia), UNDP, dll., dll.

Tapi apa yang dimaksud proses 'pembangunan' ini? Apa yang diandaikan dalam penggunaan kata tersebut? saya mungkin akan berbicara tentang asal-usulnya dalam pemikiran Barat karena memang konsep 'pembangunan' tertanam kuat dalam tradisi Barat. Salah satu pertanyaan sentral yang perlu direnungkan adalah apakah konsep 'pembangunan' secara intrinsik bersifat etnosentris, atau dapat dilepaskan dari asal-usulnya.

The Biological Metaphor

Konsep pembangunan berasal dari pemikiran Yunani Kuno tentang biologi. Perkembangan (pertumbuhan, pematangan) adalah proses di mana makhluk hidup mencapai potensinya — melewati tahap 'belum berkembang' (misalnya, benih) ke bentuk 'berkembang penuh' (misalnya, pohon).

Pemikirannya adalah bahwa setiap spesies makhluk hidup memiliki sifat khasnya sendiri, dan perkembangan adalah proses pemenuhan potensi alam itu. Jika suatu organisme gagal berkembang, itu berarti ada yang tidak beres (misalnya, tidak adanya nutrisi yang tepat telah 'mengerdilkan' tanaman tersebut).

Pembangunan dengan demikian merupakan gagasan tentang suatu proses yang memiliki arah (bersifat progresif; berjalan satu arah); bersifat kumulatif (tahap selanjutnya dibangun di atas tahap sebelumnya); dan ada kecenderungan pendapat yang kuat bahwa pembangunan adalah hal yang baik: sebuah gerakan dari keadaan yang buruk ke keadaan yang lebih baik.

Saat kita menjalani kelas ini, saya pikir kawan-kawan akan melihat bahwa ide biologis metapforis ini hidup dalam penggunaan istilah 'pembangunan' ketika berbicara tentang bidang sosial-ekonomi.

A Very Selective History of the Idea

Salah satu konsep kunci yang berperan di sini adalah kemajuan / progres. Gagasan bahwa sejarah manusia adalah kisah kemajuan (perpindahan dari kondisi yang lebih buruk—dalam arti tertentu—ke kondisi yang lebih baik—dalam arti tertentu) ditemukan dalam pemikiran Yunani Kuno, pada saat lahirnya kesadaran sejarah.

Ini telah menjadi cara berpikir Barat yang dominan tentang sejarah selama dua setengah milenium terakhir. Ada konsepsi lain tentang sejarah yang dapat ditemukan dalam tradisi Barat. Salah satu alternatifnya adalah pemikiran yang berlawanan bahwa sejarah bukanlah kisah kemajuan, tetapi tentang kemerosotan —perpindahan dari keadaan yang baik (misalnya, 'Zaman Keemasan' masa lalu) ke keadaan yang lebih buruk. Alternatif lain adalah melihat sejarah sebagai siklus. Namun, ini tidak memiliki pengaruh budaya seperti yang dimiliki oleh konsepsi sejarah sebagai kemajuan.

Unsur-unsur yang biasa terdapat dalam konsep kemajuan, adalah bahwa sejarah adalah cerita tentang: 1. Peningkatan pengetahuan yang progresif (sehingga mengarah pada peningkatan teknologi); 2. karenanya, peningkatan progresif dalam kehidupan manusia (seperti, melalui peningkatan pengetahuan, kita dapat meningkatkan kendali kita atas —eksploitasi— alam); 3. Seringkali, peningkatan progresif dalam kekuatan kognitif manusia (misalnya, rasionalitas yang lebih besar). Konsep pembangunan pra-sejarah ini hidup dalam penggunaan modern.

St Augustine

Tokoh kunci di sini adalah St. Agustinus (354–430)—salah satu pemikir Kristen awal yang terbesar. Dalam De Civitate Dei (Kota Tuhan), Agustinus memperkenalkan ide yang sangat penting: yaitu kesatuan umat manusia. Sebelum ini, sejarah telah dilihat sebagai kisah orang atau bangsa tertentu. Namun, Agustinus berpendapat (atas dasar teologis) bahwa ada sejarah universal kemanusiaan.

Artinya, bagi Agustinus, umat manusia secara keseluruhan maju ke kesempurnaan yang lebih besar dari waktu ke waktu — dan dengan demikian memenuhi rencana Tuhan bagi kita. Dalam tradisi Yahudi (misalnya, dalam Perjanjian Lama), sejarah tidak dilihat sebagai memiliki beberapa rencana keseluruhan atau rasa kemajuan - sebaliknya, sejarah adalah kekacauan manusia, di mana Tuhan akan, kadang-kadang, campur tangan. Namun, untuk Agustinus (meminjam di sini dari pemikiran bahasa Yunani), Tuhan lebih seperti seseorang yang telah menanam benih, dan kemudian melihatnya tumbuh dari waktu ke waktu — semua peristiwa manusia adalah bagian dari pengungkapan rencana Tuhan, dan pemenuhan potensi manusia. Dengan kata lain, Agustinus mengawinkan kemajuan dengan perkembangan (pembangunan).

Agustinus berpendapat bahwa, atas dasar ini, umat manusia secara keseluruhan seperti organisme biologis, yang berkembang melalui tahapan. Maka tidak mengherankan, istilah Agustinus untuk tahapan ('zaman') sejarah manusia adalah: infantia, pueritia, remaja, juventus, senoris aetas, dan senectus —yaitu, tahapan kehidupan manusia dari masa bayi hingga usia tua. Oleh karena itu, sejarah manusia, bagi Agustinus, adalah kisah perkembangan progresif seluruh umat manusia dari waktu ke waktu.

The Enlightenment

Pencerahan Eropa (sekitar abad 17-18) melihat perkembangan lebih lanjut dari tema-tema ini. Bagi banyak pemikir, sejarah manusia menjadi kisah rasionalitas umat manusia yang semakin meningkat. Kemajuan/pembangunan dipandang sebagai perpindahan dari rezim otoriter (misalnya, monarki) ke bentuk pemerintahan yang lebih liberal dan demokratis; ke mode pengorganisasian ekonomi yang lebih kapitalis; dan —sebagai bagian dari ini—meningkatnya kebebasan individu. Banyak pemikir pencerahan melihat ini sebagai bagian dari 'kematangan' umat manusia yang sedang tumbuh, membuang mode organisasi sosial yang didasarkan pada 'tradisi' dan 'takhayul', dan merangkul bentuk-bentuk yang bukannya didasarkan pada 'akal'. Untuk melihat di mana tema Pencerahan ini berakhir, ada baiknya melihat secara singkat mungkin tiga pemikir paling berpengaruh abad ke-19: Comte, Marx, dan Spencer.

Auguste Comte

Dalam Filsafat Positifnya, Comte (1798-1857) berpendapat bahwa manusia (dan masyarakat-masyarakat) harus bergerak melalui tiga tahap peningkatan 'kematangan' kognitif. Pertama adalah tahap teologis, di mana manusia mencoba menjelaskan sesuatu memohon / berdasarkan  petunjuk Tuhan dan Dewa. Kedua adalah tahap metafisik, di mana pemahaman berdasarkan metafisika abstrak. Akhirnya, tahap 'dewasa' perkembangan manusia adalah tahap positif atau ilmiah, di mana dunia harus dijelaskan — dan masyarakat diatur — dalam kerangka hukum alam.Sejarah, di mata Comte, dengan demikian merupakan perkembangan progresif umat manusia dari masa kanak-kanak takhayul, hingga rasionalitas ilmiah yang matang.

Karl Marx

Marx (1818-1883) terkenal berargumen bahwa sejarah manusia mengikuti 'hukum' perkembangan di mana mode produksi 'lebih primitif' digantikan oleh mode 'lebih tinggi' atau 'lebih maju' (misalnya, mode feodal digantikan oleh mode kapitalis, yang ditakdirkan untuk digantikan oleh komunis). Ini adalah perkembangan progresif karena mewakili semakin terbukanya potensi ras manusia (untuk mengendalikan lingkungannya, membebaskan dirinya dari ketergantungan pada alam, dan dengan demikian memenuhi dirinya sepenuhnya).

Herbert Spencer

Spencer (1820-1903) berpendapat bahwa perkembangan, atau 'evolusi' dari tahap yang lebih rendah ke tahap yang lebih tinggi, adalah kecenderungan yang diperlukan dalam segala hal — apakah organisme individu, atau spesies, atau masyarakat manusia. Berkenaan dengan masyarakat, pembangunan adalah langkah menuju tumbuhnya rasionalitas dan individualisme. Oleh karena itu, demokrasi liberal dan kapitalis merupakan tahap perkembangan yang lebih tinggi daripada bentuk-bentuk organisasi sosial-ekonomi lainnya.

Conclusions

Dengan demikian kita dapat melihat beberapa bagian penting dari sejarah konsep pembangunan ini. Manusia adalah bagian dari satu sejarah, yang melibatkan kemajuan dari tingkat perkembangan yang lebih rendah ke tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Semua masyarakat dengan demikian dapat diberi peringkat pada skala linier (dari 'primitif' hingga 'beradab'; 'belum berkembang' hingga 'berkembang'). Barat dipandang sebagai perwujudan tahap pembangunan tertinggi saat ini (yang kemudian diidentikkan dengan demokrasi liberal, sekularisme, kapitalisme, industrialisme, urbanisme, konsumsi massa ...).

Dengan cara ini, masyarakat lain (non-Barat) menjadi bagian dari sejarah universal, tetapi dalam prosesnya mereka kehilangan sejarah mereka sendiri—mereka menjadi 'panggung' dalam apa yang sebenarnya merupakan cerita Barat. Mereka juga kehilangan budaya mereka — apa yang tidak dianggap 'rasional' oleh standar Barat harus menjadi sisa primitif, ditakdirkan untuk menghilang.

Introduction of Social Welfare: A Catalyst for Societal Progress

Introduction of Social Welfare: A Catalyst for Societal Progress

Introduction:

The concept of social welfare has been an integral part of human civilization since time immemorial. While its specific manifestations have varied across cultures and epochs, the underlying principle of providing support and assistance to vulnerable members of society has remained constant. In this essay, we will explore the introduction of social welfare in various historical contexts, its evolution over time, and its significance as a catalyst for societal progress. By delving into the various dimensions of social welfare, we will gain a comprehensive understanding of its implications and the ways in which it contributes to the betterment of society.

Historical Context:

The roots of social welfare can be traced back to ancient civilizations, such as the Indus Valley and Mesopotamia, where community-based support systems were established to provide sustenance and care for the elderly, orphaned, and disabled. These early instances of social welfare laid the foundation for subsequent initiatives in ancient Greece and Rome, where the concept of philanthropy and communal responsibility toward the less fortunate gained prominence. Throughout medieval Europe, the church played a pivotal role in providing relief to the poor, while the Elizabethan Poor Laws in 16th-century England formalized the state's responsibility in supporting those in need.

Evolution of Social Welfare:

The Industrial Revolution of the 18th and 19th centuries brought about significant socioeconomic changes, leading to the rise of capitalism and mass urbanization. Alongside these transformations, the uneven distribution of wealth and widening social inequalities became glaring issues. This prompted the emergence of the modern social welfare state, with countries like Germany pioneering comprehensive social insurance programs in the late 19th century. The devastating consequences of the Great Depression further emphasized the need for expanded social protection, as evidenced by the establishment of the New Deal in the United States.

Significance of Social Welfare:

Social welfare programs serve as crucial safety nets that enhance societal well-being and equality. By addressing inequalities and promoting social justice, they help alleviate poverty, improve healthcare access, and provide educational opportunities for marginalized individuals and communities. Moreover, social welfare initiatives contribute to the overall stability and cohesiveness of society by reducing social unrest, crime rates, and public health crises. The provision of adequate social protection also ensures a fair distribution of resources and fosters social mobility, enabling individuals to realize their full potential.

Achieving Societal Progress:

The introduction and expansion of social welfare programs haveproven to be indispensable for achieving societal progress. These programs empower individuals by offering them a lifeline during periods of distress or vulnerability, thereby enabling them to become active contributors to society.By addressing socioeconomic disparities and fostering inclusive growth, social welfare initiatives cultivate an environment conducive to innovation, economic productivity, and social cohesion. Furthermore, they cultivate a sense of community, solidarity, and collective responsibility, strengthening social bonds and fostering a more compassionate and equitable society.

Conclusion:

The introduction of social welfare programs throughout history has been a testament to human resilience and compassion. With a rich historical background and an evolving mandate, social welfare has played a pivotal role in shaping modern society. By prioritizing the well-being of all citizens, regardless of their socioeconomic status, social welfare initiatives have proven to be indispensable for achieving societal progress. As we navigate the complexities of our contemporary world, it is imperative that we continue to recognize the significance of social welfare as a catalyst for building a more inclusive and humane society.