Minggu, 09 Juni 2013

“Eksploitasi Ekonomi Terhadap Budaya”

Catatan Pribadi Hasil Diskusi Forum Diskusi Ekonomi Bersama Bapak Bisri Effendi
Bidang kajian atau penelitian tentang relasi politik ekonomi dan kebudayaan di Indonesia masih terbilang langka; masih memiliki ruang yang luas untuk eksplorasi. Sebetulnya, dalam sejarah Islam, potret realitas relasi dua bidang keilmuan dapat dirunut di masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Kondisi budaya komunitas arab Quraish dengan pasar sebagai sebuah wahana kajian tersendiri tidak hanya dari aspek ekonomi tapi juga budaya. Meskipun beliau bersabda “sejelek-jeleknya tempat adalah pasar dan sebaik-baiknya tempat adalah masjid,” aktifitas perekonomian beliau secara personal juga pernah beliau lalui di pasar ini. Aspek budaya pasar yang terkesan negatip ternyata bisa dijadikan sebuah instrument pertukaran nilai-nilai positip melalui cara-cara berjualan nabi yang baik sehingga terjadinya pertukaran nilai moral sekaligus pertukaran nilai materi. Kejujuran beliau dalam berniaga menjadi sebuah prestasi tersendiri di kalangan pedangang pasar ketika itu. Juga, etos kerja beliau ketika mendapatkan amanah dari Siti Khadijah menjadi tauladan tersendiri dan menjadi catatan penting prilaku Nabi hingga saat ini.
Perihal budaya ekonomi ini, kita mencatat adanya gerakan keagamaan berlandaskan etos guna merubah perilaku aktifitas ekonomi dan budaya di kalangan katolik dengan lahirnya istilah protestanetik. Pertanyaannya kenapa harus berlandaskan agama? Apakah agama dipandang mampu dijadikan sebagai instrument aktifitas progresif dari stagnansi perilaku budaya dan ekonomi ketika itu? Jikalaupun itu dikatakan berhasil saat ini, mengapa perjalanan gerakan ini menjadi sebuah gerakan yang sangat eksploitatif dan cenderung menjadi alat dehumanisasi nilai kemanusiaan?. Islam tidak pernah melarang seseorang menjadi kaya; yang dipentingkan adalah aspek nilai dari aktifitas ekonomi yang dilakukan, misalnya, kejujuran, keadilan, kesalehan sosial, dsb. Seekspansip apapun aktifitas perekonomian selama tidak melanggar nilai keadilan dan memberikan social benefit kepada masyarakat secara luas adalah bagian dari cita-cita agama secara umum.
Seharusnya, jika berlandaskan agama, nilai etos yang digulirkan Webber itu diasumsikan dapat memberikan sumbangsih maslahat bagi pembangunan kebudayaan manusia; bukan sebaliknya. Kecenderungan eksploitatip dari “etos” ini memunculkan tandingan pendekatan baru; marxisme. Paska kejayaan Islam runtuh, dialektika dua mainstream; kapitalisme dan Marxisme di ranah ekonomi terus berlanjut hingga kini; baik di ranah kelimuan maupun di ranah praksis. Pertarungan yang panjang dan cacat bawaan keduanya berdampak munculnya proses mutasi yang tidak berkesudahan.
Ekonomi menjadi Problematika yang muncul dari prilaku ekonomi yang eksploitatip. Terdapat 3 macam eksploitasi ekonomi: eksploitasi colonial, eksploitasi imperialis dan eksplorasi fasist. Dalam eksploitasi kolonial dilakukan kepada penduduk lokal dengan membeli bahan baku dengan harga yang murah dan kemudian menjualnya kembali ke masyarakat lokal dengan harga selangit. Dalam eksploitasi imperialis dilakukan dengan proses latihan (exercise) pendekatan kekuasaan politik dan ekonomi untuk kepentingan eksploitasi mereka atas masyarakat kebanyakan. Pelengkap pendekatan ini adalah dengan melakukan penindasan politik seperti memberi pinjaman uang dengan tingkat bunga yang selangit, dan memastikan mereka tidak akan pernah membayar kembali pinjaman tersebut. Apakah kita tidak melihat ini di negara-negara dunia ketiga hari ini? Akhirnya, dalam eksploitasi fasis, kaum imperialis mempopulerkan teori nasionalisme. Mereka menggambarkan eksploitasi mereka sebagai rasional, konstitusional, dan berdasarkan 'kepentingan nasional." Kemudian mereka mulai untuk melakukan eksploitasi psikis dalam rangka untuk melanjutkan eksploitasi ekonomi mereka tanpa hambatan oleh protes masyarakat sipil. Hal ini disebut eksploitasi psiko-ekonomi. Mereka memilih sebuah komunitas yang lemah tapi kaya akan sumber daya alam. Mereka baik secara sosial dan budaya menargetkan masyarakat lemah dan meyakinkan mereka bahwa mereka tidak berharga dan inferior.
Dalam konteks sejarah pembangunan di Indonesia di masa kolonial, seperti jalan Daendels (jalan Pos), berdampak kerusakan kebudayaan yang parah; dehumanisasi terjadi di luar batas. Ribuan orang tewas hanya untuk mempermudah jalur komunikasi dan transportasi yang notabene untuk kepentingan penjajah. Jalan yang berawal dari Anyer hingga Panarukan ini murni berorietasi ekonomi. Contoh dari pembangunan jalan ini berkaitan dengan potret disorientasi pembangunan saat ini; mengesampingkan aspek budaya lokal. Ribuan kilometer jalan baru dibangun khususnya jalan tol. Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang dilakukan di awal perencanaan sebuah proyek tertentu masih jauh dari optimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan ada resistensi masyarakat terhadap proyek tersebut seperti contoh penutupan jalan tol masyarakat di daerah Tangerang karena pembangunan jalan menutup akses jalan penduduk untuk bersekolah anak mereka dan untuk bekerja dan penolakan pembangunan jalan tol yang harus menyingkirkan sebuah pesantren atas nama “jargon” demi kepentingan umum. Secara umum, Amdal berfungsi masih untuk kepentingan pemodal.
Argumentasi bahwa pembangunan jalan akan berdampak positip bagi perekonomian masyarakat secara tidak langsung mengkerdilkan dan memarginalkan psikis masyarakat saja. Mungkin benar, sebagian masyarakat akan berjualan sepanjang jalan tersebut, akan tetapi, apakah aktifitas ekonomi skala kecil-kecilan benar-benar berdampak peningkatan taraf kehidupan mereka?. Apakah dapat dipastikan bahwa pengguna jalan (contoh: pengguna mobil) akan selalu membeli “jajanan” mereka?. Masyarakat secara sengaja dikonstruk untuk berpikir “pendek” dan akhirnya menyerah kepada kebijakan pemerintah yang selalu menggunakan jargon di atas sebagai payung hukum. ‘Mental Pinggiran” inilah yang selalu muncul sebagai ekses dari skema atas nama pembangunan.
Tanggug jawab dari prilaku ekonomi atas nama pembungunan yang menggurita ini terletak pada seluruh stakeholders. Namun, harapan besar yang ada dari political will pemeritah jauh dari idealitas yang dinginkan. Mental ekonomi menjadi mindset umum yang berbudidaya di kalangan birokrat Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan. Output ekonomi selalu menjadi pertimbangan bagi proyeksi pengembangan potensi pariwisata yang ada dan terkesan mengesampingkan aspek budaya lokal setempat. Beberapa entitas kesenian memang sudah melakukan komodifikasi dari arus meterialistik kebudayaan ini. Di Bali, pelaku budaya sudah memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dengan baik dengan melihat kesempatan untuk survive dengan menggunakan ritme industri pariwisata sebagai instrumen untuk menjaga nilai dan khazanah budaya mereka dengan baik. Tantangan dan peluang untuk bertahan memang tidak semuanya bisa dilakukan oleh kalangan pelaku kesenian di daerah yang lain karena tiap daerah memiliki konteks yang beragam serta membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Di Karawang, pelaku kesenian jaipong berhasil melakukan negosiasi dengan para politik partai yang menggunakan jasa mereka untuk kepentingan kampanye. Bermain peran adalah kunci penting untuk mampu bertahan di satu sisi. Di sisi lain, penjagaan nilai dan identitas mereka sebagai pelaku budaya juga secara internal dilakukan secara sadar dan berkelanjutan. Meskipun pendekatan ini berpotensi untuk mendehumanisasikan diri mereka sendiri. Jika secara konsisten mereka mampu menjaga “khittah” mereka selaku pelaku budaya, sederas apapun tantangan yang datang pasti akan mampu dihadapi.
Para pemangku kepentingan budaya tidak perlu berpangku tangan kepada pemerintah. Pendekatan kapitalistik pemerintah sangat kental dalam mengelola kebudayaan yang ada di Indonesia ini. RUU Budaya yang masih mengendap di Senayan juga merupakan bukti bahwa pendekatan naïf kementerian ini masih dipertanyakan oleh wakil rakyat di sana. Advokasi dan edukasi pemerhati kebudayaan berhasil menyadarkan anggota dewan untuk menunda RUU sarat dengan nuansa bisnis dan mengesampingkan aspek pemeliharan budaya. Sayangnya Kongres Kebudayaan yang dilakukan di tahun 2008 masih berharap banyak kepada pemerintah untuk memfasilitasi upaya pengembangan kebudayaan di tingkat daerah dan nasional. Selain itu, peran pemerintah diharapkan dapat mewujudkan pembentukan pusat-pusat kebudayaan di ranah internasional.
Sebetulnya peran pemerintah yang besar terhadap peran pemerintah adalah faktor dominan untuk pemeliharaan kebudayaan Indonesia. Akan tetapi, sumber daya manusia yang paham betul tentang budaya di birokrasi pemerintah ini masih sangat minim. Paradigma yang dipakai masih menggunakan pendekatan ekonomi. Oleh karena itu, peran maksimal kementerian ini masih membutuhkan pembuktian yang signifikan di masa yang akan datang. Permasalahan budaya memang kompleks dan membutuhkan solusi yang komprehensip. Setidaknya ada 3 aspek gerakan yang harus menjadi solusi untuk seluruh stakeholders yang ada; yaitu edukasi, advokasi dan pemberdayaan yang dilakukan secara terus menerus sehingga eksploitasi ekonomi melalui pembangunan akan membangun peradaban nilai yang baik bukan menghancurkan kebudayaan bangsa Indonesia.

“Occupy Wall Street” Movement

Kita mungkin masih ingat ketika sebagian masyarakat golongan kaya Amerika Serikat menyadari kesalahan mereka dalam praktik ekonomi mereka di Amerika Serikat. Dengan banyaknya keuntungan yang mereka dapat dari usaha atau perusahaan korporasi, entah datang darimana, kesadaran itu muncul dari diri mereka untuk memberikan kembali apa yang telah mereka dapatkan dari bisnis mereka. Krisis ekonomi dan degradasi kualitas hidup rakyat Amerika di pelbagai sektor menambah internal conflict dalam diri mereka untuk melakukan sesuatu yang positip bagi negara mereka.

Kebijakan Obama dengan menaikkan jumlah pajak bagi mereka yang berpenghasilan tinggi memang menimbulkan pro dan kontra. Uniknya, dulu, ketika kebijakan yang sama muncul, lebih banyak kontra yang mayoritas muncul dari kalangan elit Amerika. Akan tetapi, pro terhadap kebijakan ini ternyata mendapat dukungan dari sebagian para pengusaha elit. Kelompok ini menamakan diri mereka dengan sebutan Patriotic Millionaires dengan slogan mereka “put our country ahead of politics” (kedepankan kepentingan bangsa daripada politik). Kebijakan yang diberi nama Buffet Rules mendapat dukungan sekitar 73% rakyat Amerika menurut sebuah hasil survei. Di sisi lain, ada juga konglomerlat yang berkeberatan dengan kebijakan tersebut dan berencana untuk dan ada yang sudah memindahkan bisnis ke regional yang memiliki aturan pajak yang lebih ringan.

Masih terekam juga dalam memori kita mengenai gerakan Tea Party di Amerika; sebuah gerakan populis yang ditengarai sebagai sebuah gerakan yang menentang kenaikan pajak. Gerakan yang didominasi kalangan tua dan konservatip ini mendapat sambutan yang cukup kuat di Amerika Serikat. Namun, sangat disayangkan sifat gerakan “populis” Tea Party yang mereka dengungkan pada akhirnya hanya menjadi bagian dari koalisi Partai Republik. Perbedaan signifikan gerakan ini dengan gerakan pendudukan Wall Street terletak di ranah ideologi.

Tea Party dapat diketegorikan sebagai gerakan konservatip, libertarian, cenderung rasis, anglosentris, elitis dan condong fanatik terhadap agama tertentu. Sedangkan Occupy Wall Street masuk dalam kategori kiri cenderung bervisikan paham anarcho; sebuah gerakan dengan pola kepemimpinan komunal. Akan tetapi, gerakan terakhir menganggap gerakan mereka bukanlah bagian dari ideologi manapun karena klaim yang didengungkan merupakan gerakan populis-anarcho; sebuah gerakan kesadaran dan pencerahan dengan tujuan perbaikan atas sistem yang gagal dan memposisikan diri mereka bukan sebagai bagian dari Republik maupun Demokrat.

Fenomena ini akibat dari semakin menurunnya citra pemeritah; kampanye perang melawan terorisme yang terlalu membabi buta yang tidak hanya menyedot devisa negara tapi juga membengkaknya hutang negara; sebesar $14 triliun. Rakyat Amerika pun akhirnya sadar, jauh paska tragedi 911, kampanye anti terorisme hanyalah sebuah strategi belaka perburuan energi dan akumulasi capital dalam industri militer. Di tambah lagi, kegagalan dalam menangani bank-bank bermasalah yang berujung pada krisis keuangan di tahun 2008 membuat muak rakyat Amerika.

Berdasarkan beberapa sumber, Adbusters yang memberikan seruan pertama di pertengahan Juli, dan juga memproduksi poster seksi seorang balerina berdiri di atas seekor patung Kerbau dan polisi anti huru-hara sebagai latar belakangnya. Adbuster adalah sebuah organisasi non profit, anti-konsumeris, pro-lingkungan yang didirikan di tahun 1989 oleh Kalle Lasn dan Bill Schmalz di Vancouver, British Columbia, Canada. Lembaga ini merupakan sekumpulan jaringan seniman dunia, aktivis, penulis, mahasiswa, pendidik/guru, entrepreneur yang menginginkan kemajuan gerakan aktivis sosial baru di era informasi.

Perencanaan dan implementasi gerakan pendudukan Wall Street melibatkan banyak figur dan pihak. Salah satunya adalah Alexa O’Brien, seorang ahli strategi kreasi IT berbasis utama di internet yang melakukan banyak kerja-kerja lapangan di awal dan tweeting. Lebih banyak lagi figur tanpa nama (anonymous) yang bergabung di akhir Agustus. Di New York, sebagian besar perencanaan dilakukan oleh orang-orang yang terlibat di Rapat Umum Kota New York meliputi sekumpulan aktivis, artis, dan pelajar/mahasiswa yang pertama kali dipertemukan oleh kawan-kawan yang selama ini terlibat dalam Gerakan New Yorker Melawan Pemotongan Anggaran (New Yorkers against Budget Cuts). Dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu orang atau satu kelompok saja yang menjalankan Pendudukan Wall Street.

Gerakan Pendudukan Wall Street bertujuan untuk memaksa otoritas untuk memberikan konsensus seperti yang terjadi di Spanyol, Yunani dan Mesir dan tidak ada yang mengetahui secara pasti berapa orang yang akan terlibat dalam aksi ini atau bagaimana segala sesuatunya akan berubah. Akan tetapi, para demonstran berkeyakinan jika mereka bersatu, ada potensi untuk mentransformasikan proses politik yang korup yang gandrung akan keuntungan materi belaka dengan proses politik masyarakat berbasis kebutuhan manusia.

Siapa yang menyangka setahun lalu rakyat Tunisia dan rakyat Mesir akan menggulingkan pemerintah diktator di sana? Di Plaza Liberty, dataran rendah Manhattan, ribuan orang berkumpul tiap hari untuk berdebat, berdiskusi dan mengorganisir apa yang harus dilakukan terhadap sistem gagal yang membiarkan 400 orang berada dalam tampuk piramida masyarakat sedangkan 180 juta sisanya berada di level bawah strata sosial. Suatu hal yang fenomenal melihat perayaan demokrasi seperti ini dapat merubah arah suatu kebiasaan pandangan politik dan media kepada Kepolisian Kota New York yang menerjunkan ratusan petugas kepolisian untuk mengurung dan mengintimidasi demontran damai dan dapat seenaknya menangkap mereka.

Meskipun hingga sampai beberapa waktu, mereka belum menangkap seorangpun karena menyerang atau menangkap kerumunan masa damai yang berkumpul di tempat umum dan meneriakkan demokrasi ekonomi sejati, bukan demokrasi politik an sich akan mengangkat kembali derita lama sejarah para otokrat arab yang secara brutal memperlakukan rakyat yang menginginkan keadilan, sebelum mereka luluh lantah pada momentum Arab Spring. Munculnya fakta kekerasan sudah berimbas balik kepada pemerintah setelah polisi menyerang parade hari Sabtu di Plaza Liberty dan menyebabkan semakin membludaknya kerumunan masa dan bertambahnya ketertarikan media.

Rapat Umum NYC benar-benar sangat jelas dengan tujuan; tidak dengan mengajukan berkas UU atau memulai revolusi, akan tetapi lebih pada membangun suatu jenis pergerakan baru. Pendudukan ini diharapkan dapat membangkitkan rapat-rapat umum serupa di seluruh kota dan di seluruh dunia yang akan menjadi basis baru bagi pengorganisasian politik melawan pengaruh luar biasa uang korporasi. Pendudukan Wall Street telah berhasil mengungkap bagaimana koorporasi, para politisi, media masa, dan polisi gagal memberikan hal positip bagi kemanusiaan. Para pemimpin di Amerika Serikat hanya mampu memberikan harapan akan menaikkan pajak yang tinggi bagi mereka yang notabene hanya satu potong kue kecil dari penghasilan mereka tiap tahunnya.

Gerakan yang dimulai bulan lalu oleh segelintir pemuda dengan mendirikan tenda di depan Bursa Efek New York, telah meluas menjadi gerakan berskala nasional. Sebuah gerakan lintas batas yang melibatkan beberapa aktivis, mahasiswa, serikat pekerja, dan buruh yang dipecat dari perusahaan. Aksi ini juga menyebar ke Philadelphia, Salt Lake City, Los Angeles, dan Anchorage, Alaska.

Para demonstran kecewa dengan mengkritik kurang ngototnya Presiden Obama, Obama dianggap gagal menindak bank-bank setelah krisis hipotek tahun 2008 yang menyebabkab krisis keuangan. Para aktivis menyatakan frustrasi mereka yang mendalam atas kebuntuan politik Washington yang didominasi Demokrat. Sebagian lain menyalahkan Republik karena memblokade reformasi yang ingin dilakukan Obama. Para demontran menganggap tidak ada perbedaan antara George Bush dan Barack Obama, mereka memandang kondisi kelas menengah jauh, sekarang ini, lebih buruk daripada saat Obama terpilih. Para demonstran beranggap bahwa sistem di Amerika Serikat sudah rusak. Lebih dari 25 juta penduduk menganggur; lebih dari 50 juta hidup tanpa asuransi kesehatan; kemungkinan besar juga 100 juta berada dalam kategori miskin.

Mereka beranggapan seluruh bagian hidup mereka, mulai dari sistem kesehatan, pendidikan dan pekerjaan mereka hanya menambah kerakusan dan nafsu makan para kapitalis. Hal inilah yang menyebabkan semakin banyak orang bergabung dengan gerakan ini. Mereka yang berkeluh kesah kehilangan rumah mereka, menganggur tidak ada pekerjaan, gaji yang mencekik leher, membekaknya hutang demi sebuah cita cita mendapatkan pendidikan yang ideal dan hidup dalam kondisi kesehatan di bawah standar. Ini adalah fakta dan potret generasi Amerika yang dipaksa percaya kepada sistem yang mengkhianati mereka dan memaksa mereka melakukan rapat umum di wilayah publik Manhattan.

Rapat Umum telah menjadi badan pembuat keputusan de facto bagi pendudukan di Plaza Liberty, hanya beberapa blok ke utara Wall Street. Rapat Umum merupakan suatu sistem berdasarkan modifikasi konsensus yang horizontal, otonom, tanpa pemimpin, yang berakar dari pemikiran anarkis, dan ia serupa dengan berbagai rapat-rapat umum yang telah mendorong pergerakan sosial belakangan ini di seluruh dunia, di tempat-tempat seperti Argentina, Tahrir Square Mesir, Puerta del Sol Madrid, dll.

Berjuang untuk suatu konsensus memang benar-benar sangat sulit, membuat frustasi, dan sangat lambat. Tapi rakyat yang melakukan pendudukan terlihat sabar dalam melakukan perjuangannya. Seringkali mereka akhirnya baru dapat tiba pada konsensus terhadap beberapa isu, setelah berhari-hari mencoba dan perasaan dan semangat  yang muncul setelah itu rasanya luar biasa. Energi luar biasa selalu memenuhi plaza menyelimuti ratusan orang yang penuh semangat, berjiwa pemberontak, orang-orang yang kreatif, yang semuanya menuju satu kata; perubahan sosial.

Pada mulanya, seruan awal Adbusters bertemakan  “Apakah tuntutan kita?” Secara teknis, ketika itu, belum ada tuntutan apapun. Di minggu-minggu menuju 17 September, Rapat Umum Kota New York tampaknya mentransformasikan arah gerakan mereka dari ranah “tuntutan,” berdasarkan kondisi lembaga-lembaga pemerintah yang telah begitu dicekoki dengan uang korporasi sehingga membuat tuntutan-tuntutan spesifik menjadi tidak signifikan dan menunggu sampai pergerakan tumbuh menjadi lebih kuat secara politik. Malahan, untuk memulainya, mereka memilih membuat tuntutan menjadi pendudukan itu sendiri—walhasil, peseta demokrasi langsung terjadi di sana yang hasilnya bisa jadi, atau tidak, berupa tuntutan yang spesifik di kemudian hari.

Tindakan ini sebenarnya juga suatu pernyataan sikap yang kuat melawan korupsi, dimana Wall Street sebagai perwujudannya. Namun karena pemikiran yang muncul seringkali terlalu masif akibat banyaknya pertanyaan dari media massa Amerika mengenai tuntutan, terkadang membuat situasi gamang dan cair. Saat ini, Rapat Umum sedang menentukan bagaimana dapat melahirkan konsensus mengenai penyatuan tuntutan walaupun pemersatuan tuntutan dari gerakan ini sangat sukar untuk dilakukan. Akan tetapi, dialektika yang terjadi seperti diskusi intensip menarik untuk dicermati apalagi jika artikulasi dari gerakan ini mengarah pada ranah politik, entah menyatu dengan mainstream yang ada ataupun mendirikan kendaraan politik tersendiri.

Paska ajakaan awal Adbusters, diperkirakan sekitar 20.000 orang membanjiri Distrik Keuangan pada 17 September. Sepersepuluh dari angka yang disebut, diperkirakan hadir di sana. Kekuatan social network yang masif ‘menggempur’ media sosial, organisasi progresif tradisional, seperti serikat buruh dan kelompok-kelompok cinta damai, dan individu-individu yang merasa tidak nyaman dengan kondisi kehidupan mereka pun ikut terlibat dalam aksi tersebut. Memang banyak tantangan yang terjadi pada minggu-minggu pertama, namun, dengan penahanan yang terjadi hampir setiap hari, membuat wajah-wajah baru terus berdatangan, sementara mereka yang terjaring aparat dapat waktu untuk istirahat. Peliputan media setelah penahanan massal pada Sabtu 24 September kemudian serangan polisi, dan kemungkinan karena brutalitas polisi membuat lebih banyak orang datang.

Menurut seorang  profesor sejarah Universitas Georgetown dan penulis American Dreamers, Sejarah Sayap Kiri. Obama sebetulnya bisa mengambil sikap tegas, jauh lebih populis, agresif di awal melawan "bonus-bonus" Wall Street, menuntut perubahan tertentu dengan membantu bank. Akan tetapi dia tidak melakukannya yang berujung pada kondisi ekonomi yang belum juga membaik dan menggarisbawahi rasa frustrasi baik dari kalangan kanan dan kiri.”

Menarik untuk diperhatikan bahwa gerakan ini didukung oleh Partai Demokrat di sana. Ini bukan suatu hal luar biasa melihat kuatnya genggaman lobby Israel di Kongres yang selalu merongrong dengan lobbyist mereka untuk menggolkan kepentingan-kepentingan mereka di Amerika maupun global. Secara umum, masyarakat Amerika menyalahkan administratip sebelumnya; George W Bush, karena telah banyak merugikan rakyat Amerika demi perburuan energi yang membabi buta serta skandal likuiditas perusahaan investasi yang menguras habis devisa dan dana reserve mereka. Di situasi yang mencekik leher seperti ini, gerakan Demokrat untuk pendudukan Wall Street adalah suatu tindakan politik strategis tidak hanya untuk sekedar mencari nafas dari beragam persoalan yang mereka hadapai sekarang. Akan tetapi juga sebagai, tindakan kick back dengan mengkambing hitamkan partai Republik secara tidak langsung. Akan tetapi mereka, tidak peduli dengan dukungan dari pihak manapun yang masih bernoda dan beraroma mainstream lama.

Melihat kondisi bangsa Indonsesia dengan sistem kleptokrasinya sangat yang sudah sangat menggurita ini, mungkinkah gerakan serupa bisa terwujud di sini? apakah kita harus menunggu sampai negara kita mendapat label negara gagal di kancah global? apakah wacana pembentukan pemerintahan tandingan merupakan pra kondisi menuju kesana? atau, teringat dengan ucapan seorang sahabat, apakah kita harus menunggu "shopping nasional" datang dulu? bukankah kita sudah muak dengan proses politik korup dan praktik korupsi yang "gila-gilaan?." Apakaha harus ada Adbuster  a la Indonesia?
Wallahu a'lam,

Kp. Utan, Oktober 2011.

Usaha Kesejahteraan Sosial NU; PP Lembaga Pendidikan Ma'arif NU

Dorongan untuk sejahtera merupakan suatu hal yang inherent dalam diri manusia terlepas konstruksi pemikiran agama maupun sosiologis manusia. Kedua konstruksi tersebut terus menstimulus manusia untuk terus berkembang atas nama pencapaian kesejahteraan. Pencapaian yang terkadang tidak selalu maksimal karena ketidakmampuan manusia mencapai barometer kesejahteraan mereka ataupun yang digariskan oleh agama.
Al-Qur’an memberikan gambaran sebagai manusia yang sejahtera di surga. Dalam Surat Toha ayat 117-119, kesejehteraan tersebut digambarkan dengan:
Hai Adam, sesungguhnya iblis ini adalah musuh bagimu dan bagi istrimu. Maka, sekali-sekali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga yang akibatnya kamu akan bersusah payah. Sesungguhnya kamu tidak akan lapar di sini (surga), tidak akan pula bertelanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga tidak pula akan kepanasan.

Menurut Quraish Shihab, manusia mengalami kondisi kesejahteraan ideal di surga, dalam keadaan sejahtera, suasana kedamaian, sejahtera lahir dan batin. Kesejahteraan lahir yang terwujud karena tiga kebutuhan mendasar manusia (sandang, pangan, papan) sudah terpenuhi, demikian pula dengan kesejahteraan batin (tanpa ego dan syaitan).
Dalam kehidupan di dunia ini, Islam (sebagai petunjuk Ilahi) mendorong penganutnya untuk melakukan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik dan prospektif, baik dari segi lahiriah dan batiniah secara terus menerus. Hal ini senada dengan penyataan Agil Siraj:
“...Islam mengidealkan perubahan masyarakat atau komunitas yang dibangun dari tiap individu. Artinya, perubahan yang terjadi pada seseorang harus bermuara pada penciptaan arus, gelombang, atau minimal, riak yang menyentuh orang lain. Dengan demikian, transformasi individu berbarengan dengan perubahan masyarakat. Mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan lahir dan batin adalah muara akhir dari transformasi tersebut. Itulah tugas manusia sebagai khalifatullah di muka bumi. Idealisme inilah yang dikenal dengan sebutan “maqashidu-syar’iyyah”, yaitu standar ideal pencapaian kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Islam sebagai agama mempunyai gambaran kesejahteraan bagi manusia yaitu kesejahteraan ruhani dan kesejahteraan jasmani. Kesejahteraan ruhani dilakukan melalui syari’at Allah dengan menjauhi setan yang berarti mewujudkan kesejahteraannya dalam koridor-koridor yang telah ditentukan agama. Sedangkan kesejahteraan lahir atau fisik dengan terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder manusia. Islam mengajarkan kesejahteraan (lahir/batin) harus diupayakan sendiri oleh manusia karena kesejahteraan bukanlah sesuatu yang begitu saja ada (taken for granted) seperti kehidupan di surga. Terdapat banyak definisi mengenai kesejahteraan (dalam hal ini kesejahteraan sosial) yang diberikan oleh beragam kalangan, baik institusi kenegaraan, pemerintah, maupun akademisi.
Secara khusus, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang dikutip oleh Mohammad Suud, memberikan batasan terhadap konsep kesejahteraan atau kesejahteraan sosial (selanjutnya penulis akan menggunakan kata kesos dalam penulisan skripsi ini) sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisir dan bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat.
Ini dapat diartikan bahwa kessos adalah sebuah institusi atau bidang kegiatan yang terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, peningkatan kualitas hidup individu, kelompok dan masyarakat.
Hal yang agak serupa diungkapkan oleh Edi Suharto bahwa kesejahteraan sosial mempunyai tiga konsepsi: Pertama, kondisi kehidupan yang sejahtera; terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial. Kedua, institusi, arena atau bidang yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial (LKS) dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial (UKS). Ketiga, aktivitas suatu kegiatan atau usaha terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera.
Kesejahteraan sebagai UKS biasanya selalu dilimpahkan menjadi peran negara seutuhnya. Namun, setiap negara mempunyai kecenderungan yang berbeda dalam memandang tanggung jawab ini. Hal ini terkait dengan perbedaan faham atas bentuk negara dan corak pembangunan yang digunakan. Indonesia menganut faham negara Kesejahteraan (welfare state) dengan model “Negara Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare state) atau yang dikenal dengan istilah welfare pluralism atau Pluralisme Kesejahteraan. Model seperti ini berargumen bahwa negara harus mengambil bagian dalam penyelenggaraan jaminan sosial (social security) dan penanganan masalah sosial dan membuka sisi operasional kepada masyarakat untuk terlibat. Hal ini menyebabkan terbukanya peran non pemerintah untuk turut partisipasi dalam usaha kesejahteraan sosial di Indonesia.
Terbukanya peran serta masyarakat dikuatkan dengan adanya Undang-Undang tentang peran tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat agar berpartisipasi dalam UKS di Indonesia. Undang-Undang RI No. 6 1974 bab 1, pasal 2 ayat 1 berisi Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial sebagai berikut:
Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai Pancasila.
Dalam ilmu kesos, usaha-usaha kesejahteraan dilakukan oleh profesi yang dikenal dengan sebutan pekerjaan sosial (disingkat peksos); suatu profesi atau peran yang tumbuh dari berbagai spesialisasi dan lapangan praktek yang beragam. Praktek peksos terjadi pada tiga tingkatan: 1. Micro-individu, 2. Mezzo-terkait dengan keluarga atau kelompok kecil 3. Macro-organisasi, komunitas atau pada ranah kebijakan sosial. Adapula pendapat yang hanya membagi pada dua level saja: mikro dan makro. Selanjutnya, wadah yang menaungi peksos dalam melakukan usaha-usaha kessos disebut dengan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) atau yang lazim disebut dengan Human Service Organization (HSO).
Arthur Dunham mengklasifiksikan LKS pada: 1. Auspices, 2. Area fungsi (functional fields), 3. Area geografis (geographical area), 4. Lembaga yang memberikan pelayanan langsung (consumer service agencies), 5. Lembaga yang tidak memberikan pelayanan secara langsung (non-consumer service agencies).
Upaya LKS dalam mewujudkan kesos salah satunya dengan identifikasi terhadap masalah sosial yang ada di masyarakat atau yang lazim disebut dengan pemetaan sosial. Pemetaan sosial sebetulnya juga dapat digunakan tidak hanya oleh pemerintah dan LKS saja, akan tetapi terbuka untuk kalangan institusi keagamaan, institusi pendidikan, LSM, ormas dalam merumuskan konsep, bidang dan aktifitas yang akan dilakoni karena masalah sosial merupakan keadaan yang dirasakan orang banyak dan memuat unsur “keharusan melakukan tindakan untuk merubah keadaan (masalah sosial)” dan “tuntutan pemecahan dengan aksi sosial secara kolektif.
Salah satu usaha merubah keadaan dan pemecahan masalah secara kolektif dapat dilakukan melalui sisi agama. Dalam hal ini, pendekatan teologis tidak hanya dipandang sebagai instrumen ilahiyah, tataran hubungan vertikal, namun juga, dapat menjadi spirit sekaligus sebagai alat pemecah persoalan-persoalan kemasyarakatan. Untuk pencapaian tujuan ini, Islam memberikan petunjuk meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik aqidah (keyakinan), akhlak (moral), maupun syari’ah (hukum).
Selain itu, relasi agama dan masyarakat ada pada dimensi agama sebagai suatu keyakinan baik bersifat transenden dan sosial serta aspek-aspeknya. Peranan agama dalam kehidupan sosial selain sebagai sesuatu yang final dan ultimate dalam pandangan pemeluknya, juga sebagai sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan masyarakat.
Pelembagaan agama bermula dari para ahli agama yang mempunyai pengalaman agama dan adanya fungsi deferensiasi internal dan stratifikasi yang ditimbulkan oeh perkembangan agama, maka tampillah organisasi keagamaan terlembaga yang fungsinya adalah mengelola masalah keagamaan. Adanya organisasi keagamaan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi, memberikan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan ekspresif dan adaptif.
Oleh karena itu, jika Islam mengarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, tujuan negara dalam menyejahterakan rakyat seiring dengan kesejahteraan dunia umumnya dan terbukanya partisipasi masyarakat, maka usaha kesejahteraan sepatutnya menjadi bagian tanggung jawab organisasi keagamaan seperti NU. Selain peran pemerintah atau LSM yang ikut bagian dalam usaha kesejahteraan sosial, peran NU sangat strategis dengan budaya patronase kiyai atau patron-klien dan sosok kiyai dipandang sosok ideal pemimpin, terutama dalam basis agama dan eksistensi ormas ini yang relatif mandiri dari negara menjadikannya mendapat peran penting dalam mengartikulasikan serta memperluas reformasi sosial melalui program-program pemberdayaan masyarakat seperti: pelayanan sosial, penanganan kesehatan, koperasi, pelayanan keagamaan, pendidikan dan sebagainya menjadi catatan penting bagi para ilmuan.
Dalam hal ini, penulis memandang organisasi keagamaan sangat menarik untuk diteliti dan dalam hal penelitian ini; Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama. Ada beberapa alasan sebagai argumentasi menariknya penelitian ini: pertama, penelitian terhadap organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, PERSIS, Nahdlatul Wathan dan lain sebagainya sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, masih sedikit yang meneliti organisasi-organisasi tersebut dari perspektif ilmu kesos.
Kedua, berdasarkan fakta yang ada, jumlah lembaga pendidikan yang bernaung di bawah LP Ma’arif NU sebanyak 12094 sekolah terdiri dari Madrasah Ibtidaiyyah hingga Perguruan Tinggi, tersebar di 23 propinsi dan terus berkembang tiap tahunnya. Jumlah lembaga pendidikan ini sangatlah signifikan dan menunjukkan bahwa peran organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah memiliki reputasi sejarah yang sangat cemerlang dengan penampilannya yang mapan di tengah-tengah masyarakat akar rumput (grassroot), baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan.
Ketiga, secara kelembagaan ada lembaga yang spesifik menangani wilayah sosial yang dikenal dengan lembaga mabarot, akan tetapi sejarah membuktikan bahwa eksistensi Ma’arif lebih baik dari pada mabarot karena hingga sekarang lembaga ini masih eksis sedangkan mabarot sudah tidak ada lagi.
Keempat, pendidikan yang dalam ilmu kessos merupakan salah satu bidang UKS ini juga secara khusus menjadi perhatian NU. Dalam hal ini, departementasi yang membidani pendidikan bernama Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (disingkat LP Ma’arif NU). Peran LP Ma’arif NU ini telah memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap pembangunan bangsa khususnya UKS di bidang pendidikan di Indonesia.
Hal ini diperkuat dalam sejarah perjalanan NU, yaitu perhatian terhadap bidang pendidikan yang dapat dilihat dari statuta NU. Lalu dilanjutkan momentum kembali NU ke khittah pada tahun di era Gus Dur di mana LP Ma’arif NU secara resmi menjadi satu-satunya lembaga yang membidani pendidikan.

Membangun Good Government dan Good Governance di Tangerang Selatan

Gerakan Reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dari pelbagai kampus yang didukung rakyat telah menjadikan good governance, walaupun masih terbatas pada Pemberantasan Praktek KKN (clean governance) sebagai salah satu tuntutan pokok dari Amanat Reformasi. Namun, hingga saat ini, amanat inipun belum tercermin pada kebijakan pro rakyat miskin, penempatan personil yang kredibel, budaya kekerasan, serta dinamika politik yang kurang berorientasi pada kepentingan rakyat masih eksis secara kasat mata.

Kata “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah merupakan sebuah entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara. Sedangkan governance oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, tata-pemerintahan yang transparan, pengelolaan pemerintahan yang akuntabel dan bertanggungjawab, dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government).

Perbedaan pokok antara kedua konsep terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan pelbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Sedangkan “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi.

Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, taat hukum, partisipati, efektif, efisien, responsip, orientasi kepentingan umum, kesempatan untuk sejahtera bagi setiap individu (equity), akuntabilitas dan kemitraan. Secara sederhana dapat didefinisikan sebagai proses dimana pelbagai unsur dalam masyarakat menggalang kekuatan, otoritas, dalam mempengaruhi kebijakan dan keputusan pro kepentingan publik, pembangunan ekonomi dan sosial.

Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni: pemerintah, civil society; masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil, dan dunia usaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan, transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.

Untuk Kota Tangsel, kita berharap agar ini terwujud dalam berupa penyelenggaraan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa, efisien dan efektif, tanggap, bertanggungjawab, bertindak dan berpihak pada kepentingan rakyat, serta mampu menjaga keselarasan hubungan kemitraan melalui proses interaksi yang dinamis dan konstruktif antara pemerintah, rakyat, dan pelbagai kelompok kepentingan di dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila.

Apa nilai-nilai dasar good government dan good governance yang ada di Indonesia khususnya di kota Tangsel?. Alinea IV Pembukaan UUD 1945 memberikan mandat untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam mewujudkannya dalam konteks otonomi daerah bagaimana mengimplementasikan sistem pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan serta kesejahteraan masyarakat, diperlukan adanya perbaikan kinerja kelembagaan dan manejemen publik siapapun kepala daerahnya.

Aktifitas pemerintah mendatang dalam mewujudkan good governance harus mencakup empat aspek. Pertama, prinsip keadilan sosial, termasuk di dalamnya sistem pengadilan yang independen dan tidak pandang bulu. Kedua, kebebasan ekonomi beserta pemerataan hasil pembangunan. Ketiga, kemajemukan politik yang ditandai dengan partisipasi masyarakat dan prinsip equity (kesamaan). Sementara keempat, adalah prinsip akuntabilitas pemerintah. Terlebih paska reshuffle pejabat, diharapkan kinerja mereka akan jauh lebih baik dari sebelumnya, inilah harapan besar masyarakat kota Tangsel.

Aktifitas kepemerintahan yang baik harus disinergikan dengan potensi Tangsel yang luar biasa sebagai penyangga Ibukota Negara baik secara alam (geografis) maupun potensi sosial. Secara ekonomipun perekonomian kota cenderung positip. Jikalau rencana pemerintah pusat untuk membangun kawasan greater Jakarta benar menjadi sebuah platform yang jelas, tidak menutup kemungkinan Tangsel menjadi salah satu bagian dari itu. Oleh karenanya, kesiapan pemkot menyambut rencana ini harus baik dan matang sehingga manfaat sosial (social benefit) dapat lebih terserap bagi kota daripada kerugian social (social cost) yang harus ditanggung.

Meskipun belum berjalan secara sempurna, Pemilukada Tangsel dapat kita jadikan tonggak untuk menghadirkan citra pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dua tahun merupakan waktu yang cukup bagi kita untuk melihat indikasi karakter pemerintahan yang hendak dibangun oleh Walikota dan Wakil Walikota terpilih, apakah mengarah kepada good government dan good governance?, atau malah sebaliknya. Kita semua akan dapat menilai di masa yang akan datang.

Sebuah artikel yang ditulis ke salah satu media cetak tangsel.

De-materialisasi Sistem Pendidikan Nasional Melalui Sistem Pendidikan Agama di Indonesia

“Knowledge is power, and character is more”
Apa yang ada dalam pikiran kita ketika memandang kondisi bangsa kita ini secara umum baik berdasarkan pengalaman empirik keseharian dengan kacamata peran dan fungsi kita di tatanan masyarakat baik secara mikro maupun makro, maupun berdasarkan media massa yang setiap hari kita dicekoki dengan berita-berita yang sebagian besar bernuansa negative?. Respon yang biasanya muncul, secara pribadi, akan berupa rentetan pertanyaan pula semisal; apa masalah sebenarnya dari bangsa kita? mengapa ini harus terjadi? Kekayaan alam apa yang sebenarnya tidak kita miliki untuk membangun bangsa yang berperadaban dan patut dibanggakan, dsb. Pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya akan melahirkan jawaban-jawaban personal yang kita yakini sebagai jawaban kita sendiri untuk permasalahan yang ada. Dilihat dari perspektif ekonomi, produk (output) suatu jasa atau barang tergantung dari faktor produksi seperti modal, tanah dan tenaga kerja. Kesediaan dan manejemen yang baik dari faktor produksi tersebut akan melahirkan produk barang atau jasa yang baik pula. Jika kita asumsikan, sebagai manusia, adalah output, sumber dan faktor produksi apa saja yang membentuk kita seperti sekarang ini?.
Secara umum, setidaknya ada empat hal yang membentuk manusia hingga mencapai kemampuan maksimal: 1. Rumah, 2. Pendidikan, 3. Lingkungan, 4. Pengalaman keseharian. Dari keempat hal tersebut dapat dikategorikan menjadi dua kelompok berdasarkan sumber produksi yang bersifat bentukan primer (primary engineered) dan sumber produksi bentukan sekunder (secunder-engineered). Dua hal pertama termasuk dalam kategori bentukan primer karena sifatnya yang terkonsentrasi dan dua hal terakhir masuk dalam kategori sekunder karena lebih kompleks. Faktor produksi bisa direpresentasikan dengan SDM (peserta didik dan pendidik), modal (anggaran pemerintah untuk pendidikan, tanah (infrastruktur) dan manejemen dari faktor produksi tersebut. Satu aspek yang menjadi sangat perhatian baik secara mikro (individu), mezzo (komunitas), makro (pemerintah) adalah pendidikan. Pendidikan terkadang selalu menjadi alasan biang keladi dari output (SDM; manusia) yang tidak sesuai harapan.
Pendidikan berfungsi menyiapkan sumber daya manusia untuk membangun peradaban. Apa jadinya bila peradaban yang baik tidak dibarengi dengan usaha pengembangan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila tidak memberikan sumbangsih secara moral, pasti akan berdampak pada degrasi karakter bangsa yang terpuruk seperti sekarang ini. Jika kita ingin membangun masa depan pendidikan Indonesia yang lebih baik lagi ada baiknya kita harus kembali ke “akar” dari skema pendidikan yang telah digariskan oleh Undang-Undang 45 dan nilai lokal (indigenous values). Akar ini harus selalu berfungsi sebagai landasan gerak arah pemgembangan pendidikan di Indonesia; khususnya pendidikan agama. Penekanan ini sebenarnya sudah ditegaskan dalam UUD 45 Amandemen ke-4. Faktor dominan dalam konstitusi kita terkait sistem pendikan nasional adalah pendidikan nilai dan moral; agama.
Dilihat dari perspektif sejarah, Pendidikan agama yang dalam hal ini dapat diwakili oleh pendidikan meunasah atau dayah, surau, dan pesantren diyakini sebagai salah satu pendidikan tertua di Indonesia. Pendidikan ketiga institusi di atas memiliki nama yang berbeda, akan tetapi memiliki pemahaman yang sama baik secara fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal. Secara fungsional trilogi sistem pendidikan terebut dijadikan sebagai wadah untuk menggembleng mental dan moral di samping wawasan kepada para pemuda dan anak-anak untuk dipersiapkan menjadi manusia yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Secara substansial dapat dikatakan bahwa trilogi sistem pendidikan tersebut merupakan panggilan jiwa spiritual dan religius dari para tengku, buya, dan kyai yang tidak didasari oleh motif materiil, akan tetapi murni sebagai pengabdian kepada Tuhan dan masyarakat. Secara operasioanal trilogi sistem pendidikan tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai kebijakan, proyek apalagi perintah dari para sultan, raja, atau penguasa. Secara mekanikal bisa dipahami dari hasil pelacakan historis bahwa trilogi sistem pendidikan di atas tumbuh secara alamiah dan memiliki anak-anak cabang yang dari satu induk mengembang ke pelbagai lokasi akan tetapi masih ada ikatan yang kuat secara emosional, intelektual, dan kultural dari induknya.
Sejarah pendidikan Indonesia mencatat pertarungan sengit antara mainstream pendidikan yang disebut modern yang diciptakan penjajah dengan mainstream pendidikan tradisional asli pribumi. Sejak itulah aspek ideologi manusia sebagai pribumi terjadi perubahan untuk mengikuti ideologi materialisme-kapitalis beralih dari ideologi spiritualisme-religius. Ideologi bentukan penjajah jelas merupakan keluaran mental dari sistem moral yang dianut penjajah yang tentunya merambah ranah politik dan ekonomi pula. Ukuran moral a la barat seseorang dianggap baik dan bermoral ketika sesuatu itu bermanfaat dan berguna secara materiil. Seseorang dikatakan kurang moralitas dan nilainya di hadapan masyarakat ketika seseorang itu tidak mampu memberikan manfaat dan kegunaan secara materiil. Orang yang dianggap berhasil dan bermoral adalah ketika seseorang yang telah memiliki jabatan, kekayaan, dan harta lebih dari orang tuanya.
Meskipun pendidikan tradisional (pribumi) mendapat angin segar ketika Jepang datang ke Indonesia, pertarungan dimenangkan oleh pendekatan yang pertama nampaknya terjadi kompromi di antara founding fathers Negara Indonesia ini dan ditenggarai dengan didirikannya departemen agama di tahun 1948 untuk mengakomodir aspirasi mayoritas umat Islam Indonesia dan berlangsung hingga jaman orde baru dan sekarang. Sejarah mencatat perlakuan tidak seimbang antara dua mainstream ini oleh pemerintah. Walaupun kondisi sekarang sudah membaik, ketertinggalan sistem pendidikan agama masih terasa di segala lini hingga saat ini.
Materialisasi pendidikan yang dimaksud di sini adalah sebuah proses menjadikan semua bernilai materi di segala sendi sistem pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan Agama. Sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang diharapkan dari proses pendidikan tersebut. Contohnya dalam hal kurikulum pendidikan misalnya diarahkan kepada kurikulum yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk mampu mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang besar. Kurikulum tersebut dirancang sedemikian rupa dan untuk mengikutinya harus mengeluarkan uang sangat sangat besar. Jika dalam proses memperolehnya harus mengeluarkan dana yang besar, maka dapat dibayangkan setelah memperoleh pengetahuan tersebut. Peserta didik yang telah selesai akan menggunakan pengetahuan tersebut untuk mengembalikan modal dan tentu berupaya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya. Karena memang teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi di masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan untuk menjadikan manusia yang utuh dengan menggunakan prinsip ekonomi tidak akan mengenal nilai-nilai spiritual, moralitas, kebersamaan.
Dalam aspek pendidik misalnya banyak sekali praktek dan perilaku penididik yang menjual nilai untuk mendapatkan uang. Bahkan ada sebagian pendidik yang menjadikan kewenangannya untuk memberikan nilai kepada peserta didik demi mendapatkan pendapatan dari peserta didiknya sendiri. Praktik pelanggaran moralitas tinggi justru sudah diajarkan oleh para pendidik kepada peserta didik dengan berbagai praktik dan modus operandi dalam proses pengajaran dan ujian, salah satunya adalah modus di atas.
Peserta didik sebagai korban dari sistem dan proses pendidikan yang akibatnya adanya reduksi makna dari pendidikan menjadi sekedar penyampaian pengetahuan (transfer of knowledges), pada saat itulah peserta didik telah diberi pelajaran yang sangat luar biasa pengaruhnya dalam kehidupannya kelak. Peserta didik yang sudah berpengalaman, misalnya mahasiswa S1 atau S2 dan bahkan S3 yang telah memahmi praktik-praktik demikian ini dan tidak mau memperhatikan nilai-nilai moralitas akan melakukan praktik-praktik asal bisa lulus dan selesai. Jual beli nilai, jual beli gelar, dan jual beli karya ilmiah adalah suatu fakta tak terelakkan yang menunjukkan betapa rendah mental dan moralitas para peserta didik.
Orientasi manajemen pendidikan yang salah dilihat dari praktik munculnya kebanggaan semua pihak baik pengelola, pendidik, peserta didik, dan wali akan megahnya gedung dan kampus dimana mereka berada dan ikut andil di dalamnya. Kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi tolok ukur majunya sebuah lembaga pendidikan. Jika orientasi kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi ukuran kemajuan sebuah pendidikan, maka dapat dibayangkan orientasi pendidikannya.
Materialisasi pada aspek lingkungan pendidikan di sini dipahami sebagai masyarakat yang berada di sekitar pendidikan atau dengan kata lain adalah masyarakat Indonesia sendiri. Arus modernisasi secara bombastik mengakibatkan pergeseran karakter masyaraka secara luar biasa. Pergeseran tersebut mencakup pergeseran orientasi kehidupan, pergeseran budaya, pergeseran gaya hidup, pergeseran pandangan hidup, pergeseran pertilaku politik, pergeseran perilaku ekonomi, dan pergeseran terhadap ajaran agama dan ironisnya salah satu penyebab kemunduran moral bangsa melalui pendidikan.
Materialisasi pendidikan adalah upaya mencapai tujuan pendidikan nasioanl maupun pendidikan Islam dengan ukuran kuantitatif; berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa yang telah menjadi pengacara, berapa yang telah menjadi pejabat tinggi, berapa alumni yang telag menjadi dewan. Dengan melihat jumlah alumni yang telah menduduki jabatan apapun akan dapat dipredikisikan penghasilan mereka. Perhitungan jumlah alumni yang telah menjadi manusia bermoral, berapa alumni yang telah memberikan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya persaudaraan, berapa alumni yang telah mampu memberikan pelayanan gratis kepada masyarakat tanpa pamrih apapun, berapa alumni yang telah benar-benar melaksanakan tujuan pendidikannya yaitu menjadi manusia seutuhnya jarang atau hampir tidak ada. Manusia seutuhnya di sini berarti secara jamsani dan ruhani, secara material dan spiritual, dan secara fisik dan mental, serta secara intelektual dan moral telah terjadi keseimbangan yang nyata.
Untuk memahami arah kebijakan pembangunan pendidikan, mari kita merunut GBHN 1994-2004 dan UU Sisdiknas tahun 2005. Isi dari kebijakan tersebut ada delapan point, namun ketiga point di bawah dapat mewakili delapan point kebijakan sebagai berikut:
  1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi dan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
  2. Meningkatkan kemampuan akademik dan professional serta menigkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal, terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga tenaga kependidikan; dan
  3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik. Penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, secara deversifikasi jenis pendidikan secara frofesional.
Dari penjelasn tiga poin kebijakan itu, dapat disimpulkan bahwa arah kebijakan pembangunan pendidikan menurut GBHN tersebut adalah untuk mengupayakan pendidikan nasional yang bermutu demi kemaslahatan bangsa. Selain itu, arah kebijakan tersebut bertujuan untuk memudahkan dan mensetarakan pendidikan yang berwatak dan berbudi pekerti.
Jika melihat Undang-Undang Sisdiknas tentang Paradigma Baru Pendidikan Nasional tanggal 11 Juni 2003, dapat dipetik point-point yang diarahkan sebagai sasaran pendidikan, yaitu;
1. Tentang demokrasi dan desentralisasi (otonomi daerah) tercantum dalam bab tiga tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan junjungan tinggi hak azazi manusia… dts (ayat 1). Adanya desentralisasi menjadikan pendanaan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1).
  1. Peran serta masyarakat, demokratisasi penyelenggaraan pendidikan harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, oraganisasi profesi, dan organisasi kemasyrakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1).
  2. Tantangan global yang melanda dunia yang mengharuskan pendidikan bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan formal, baik pendidikan yang didirikan pemerintah maupun masyarakat.
  3. Kesetaraan dan keseimbangan antara pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan masyarakat.
  4. Jalur formal, nonformal, dan informal, dengan meniadakan istilah jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
  5. Peserta didik, dengan menempatkan mereka sebagai subyek pendidikan. Hal ini menunjukkan keberpihakan Undang-Undang Sisdiknas kepada peserta didik terutama kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi.
Jika kita perhatikan, apa yang digariskan dalam UUD 45 (di bawah) dan disambungkan dengan apa yang termaktub dalam GBHN dan undang-undang Sisdiknas, terjadi adanya degradasi penekanan atas pentingnya moral dan nilai dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan memang menjadi varibel penting dalam urusan demokratisasi dan desentralisasi, akan tetapi, kita pahami bahwa desentralisi yang kita lakukan sekarang ini sangat tidak efektif dan cenderung mubadzir karena harus menghabiskan dana besar yang seharusnya bisa dialokasikan ke ranah pendidikan. Terlebih, tiap daerah di Indonesia mempunyai karakter dan potensi yang berbeda untuk menyokong pendidikan secara baik.
Oleh karena itu, Kementerian Agama dalam hal ini dapat menjadi sebuah garda terdepan guna mendorong kembali mainstream moral dan nilai dalam sistem pendidikan Indonesia. Bangsa Indonesia harus kembali berbasis spiritualisme-religius dalam gerakan pendidikan agama karena bangunan sistem yang ada tidak cocok dengan kondisi nilai dan moral yang menjadi heritage kita sejak lama. Kita dapat mencontoh bagaima jepang bisa bangkit sedemian rupa dan membentuk masyarakat yang terdidik (knowledged society) yang terlahir dari sifat dan sikap sederhana dan akhirnya membentuk menjadi Negara adidaya dengan sumber kekayaan alam yang sedikit.
Di Jepang, fenomena “malu” yang telah mendarah daging dalam sikap dan budaya masyarakat Jepang ternyata membawa implikasi yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Dapat dicermati bahwa di Jepang sebenarnya banyak hal baik lain terbentuk dari sikap malu ini, termasuk didalamnya masalah penghormatan terhadap HAM, masalah law enforcement, masalah kebersihan moral aparat, dsb. Orang Jepang lebih senang memilih memakai jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana taatnya mereka untuk menunggu lampu traffic light menjadi hijau, meskipun di jalan itu sudah tidak ada kendaraan yang lewat lagi. Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum. Pemimpin yang terindikasi korupsi dan karena malu terhadap sanksi sosial yang mereka hadapi, akhirnya bunuh diri untuk menutupi rasa malu mereka.
Contoh kedua adalah sikap anti-konsumerisme; bagaimana orang Jepang berprinsip sangat “ekonomis” dalam masalah perbelanjaan rumah tangga. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di sana, banyak orang ramai antri untuk belanja di supermarket pada sekitar pukul 19:30. Ternyata, sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup karena supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Sikap ekonomis para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 10 atau 20 yen juga menjadi contoh menarik. Juga, bagaimana orang Jepang lebih memilih naik Densha (kereta listrik) swasta daripada densha milik negeri, karena untuk daerah Tokyo dan sekitarnya ternyata Densha swasta lebih murah daripada milik negeri.
Dalam hal “sopan santun dan menghormati orang lain,” masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya untuk mengatakan gomennasai (maaf) dalam setiap kondisi yang tidak mengenakkan atau merugikan orang lain. Kalau kita berjalan tergesa-gesa dan menabrak orang Jepang, sebelum kita sempat mengatakan maaf, orang Jepang dengan cepat akan mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga apabila kita bertabrakan sepeda dengan mereka. Tidak peduli siapa yang sebenarnya pada pihak yang salah, mereka akan secara refleks mengucapkan gomennasai (maaf).
Pembentukan manusia yang bermoralitas tinggi merupakan hasil akhir dari inti Pendidikan Agama manapun yang berfungsi sebagai wahana. Kalau di Islam, moral atau akhlak tidak dapat dipisahkan dari keimanan. Akhlak tidak akan terpisah dari keimanan, dalam al-Qur'an juga sering dijelaskan bahwa setelah ada pernyataan “orang-orang yang beriman,” maka langsung diikuti oleh “beramal saleh.” Dengan kata lain amal saleh sebagai manifestasi dari akhlak merupakan perwujudan dari keimanan seseorang. Pemahaman moralitas dalam bahasa aslinya dikenal dengan dua istilah yaitu al-akhlaq al-karimah dan al-akhlaq al-mahmudah. Keduanya memiliki pemahaman yang sama yaitu akhlak yang terpuji dan mulia, semua perilaku baik, terpuji, dan mulia yang diridlai Allah. Nilai-nilai universal seperti ini sebetulnya ada dalam tiap agama di Indonesia.
Hal yang penting dari pemahaman yang baik terhadap nilai maupun moral adalah penghayatan dan inilah sebetulnya yang harus menjadi ukuran keberhasilan pendidikan agama di Indonesia. Penghayatan terhadap sesuatu berarti menjadikannya bagian dari kepribadiannya, menyatu, dan tidak terpisahkan lagi. Jadi menghayati moralitas berarti semua bentuk moralitas yang telah diketahui itu masuk menjadi bagian dari pribadi dan tidak terpisahkan lagi. Akibat selanjutnya adalah pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap akan dipengaruhi oleh sesuatu yang telah dihayati itu. Memang, perihal penghayatan ini bukan masalah sederhana karena tergantung dari proses kejiwaan dan proses pendidikan.
Representasi umum dari institusi pendidikan agama sebagai contoh kita bisa angkat satuan pendidikan yang berada di naungan dua ormas besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Nahdlatul terkenal dengan Lembaga Pendidikan Ma’rif sedangkan Muhammadiyah terkenal dengan Majelis Pendidikannya. Dua ormas ini sarat dengan nilai dan moral dalam mengeksekusi satuan pendidikannya. Satuan pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah dalam sejarahnya memang lebih beruntung dibandingkan dengan LP Ma’arif NU dapat dikategorikan maju dalam beberapa hal. Sedangkan LP Ma’arif secara kasat mata masih terus melakukan perbaikan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Perhatian khusus terhadap nilai dan moral bagi keduanya adalah harga mati bagi pelaksanaan pembentukan karakter anak didik sekolah.
Lembaga Pendidikan Ma’arif NU saat ini masih berkutat dalam hal penataan pola interaksi dengan satuan pendidikannya; penataan berbasis organisatoris dan penataan berbasis nilai. Penataan secara organisatoris memang penting guna meningkatkan kualitas satuan pendidikan contohnya secara manejerial. Di sisi lain, secara sosiologis, masyarakat masih tetap percaya pada satuan pendidikan NU meskipun dalam kondisi manejerial tidak mengikuti induk organisasi. Kenapa hal ini terjadi?. Masyarakat pada umunya masih percaya dan membutuhkan model pendidikan bermutu yang lebih menitikberatkan pendidikan nilai agama seperti Ma’arif NU dengan pemahaman agama yang damai, moderat dan toleran tanpa perlu mempertanyakan bentuk afiliasi organisatoris. Afiliasi terjadi pada ikatan nilai karena diyakini madrasah (atau pesantren pada umunya) memegang teguh pada prinsip agama yang dibawa tokoh NU. Fenomena ini menarik karena kesatuan atas kesamaan moral dan nilai inilah yang berfungsi sebagai pengendali arah satuan pendidikan di lingkungan NU.
Sudah tegas disebutkan di BAB XIII perihal PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, Pasal 31 menyebutkan bahwa: 1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, 2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, 3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang, 4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, 5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Oleh karena itu, seharusnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa harus berdasarkan sistem nilai dan moral atau spiritualisme-religius (keimanan dan takwa), bukan berpijak pada pendekatan matelisme-kapitalis. Pemerintah jangan takut dengan argumentasi yang didengungkan pihak barat bahwa pendidikan berbasis keagamaan (nilai dan moral) akan menimbulkan sikap fanatisme keagamaan masarakat secara umum. Kita harus berpulang kembali kepada warisan lokal dan budaya lokal yang sudah mendarah daging dalam karakter bangsa kita ini.
Argumentasi untuk membentuk semacam konsep pendidikan nasional secara terpadu sangat baik secara substantip. Pemikiran ini didasarkan atas beberapa pemikiran, di antaranya adalah adanya dikotomi antara dunia pendidikan dengan dunia industri yang seharusnya tidak terjadi, tidak adanya visi ideologis, budaya, politik pendidikan, ekonomi dan politik yang berpihak pemberdayaan manusia Indonesia itu sendiri, intensifikasi konsep pendidikan terpadu secara kelembagaan, dibutuhkannya political will pemerintah yang memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat sebagai pengelola pendidikan, dan perombakan secara menyeluruh sistem pendidikan secara legal standing agar penyelewengan tidak akan terjadi di sub sistem yang ada. Akan tetapi, jika diintensifikasi melalui kelembagaan satu payung, pertanyaan yang muncul adalah apakah kita siap dengan aspek politis yang siap intervensi di jalur pendidikan ini?. Bisakah terciptanya suatu simbiosis mutualisme antara banyaknya lembaga pendidikan yang berlindung atau didirikan oleh beberapa departemen, misalnya Kementerian Pertahanan memiliki Akabri, Polri dengan Akpol dan sebagainya; Kementerian Agama memiliki lembaga pendidikan agama, Kementerian Keuangan memiliki lembaga pendidikan STAN, Kementerian Dalam Negeri memiliki lembaga pendidikan APMD dan sebagainya?. Meskipun pemikiran pendirian tersebut di satu sisi adalah untuk pemberdayaan sumber daya manusia masing-masing departemen, namun ada analisis lain yaitu sebagai lahan untuk mendapat anggaran lebih besar karena lembaga-lembaga pendidikan di masing-masing departemen merupakan sumber proposal proyek yang sangat strategis.
Berdasarkan contoh di atas, pemahaman dan implementasi yang baik secara fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal ketiga institusi dan pentingnya relasi hubungan berdasarkan nilai dan moral tadi merupakan modal penting tidak hanya untuk mengembangkan pendidikan agama secara khusus tetapi juga pendidikan umum. Penguatan landasan spiritualisme-religius di dalam segala aspek pendidikan agama bisa dijadikan ujung tombak (spearhead) guna menciptakan peradaban manusia Indonesia yang dapat dibanggakan dan dapat dijadikan contoh sebagai proses dematerialisasi sistem pendidikan nasional secara umum.


Ditulis oleh M Kholis Hamdy sebagai syarat peserta Workshop Strategi Pengembangangan Pendidikan Islam di Hotel Batavia oleh Shihabuddin Institute, 3-4 Februari 2011, utusan dari Yayasana Taman Pendidikan Islam Darul Ulum, Baureno, Bojonegoro, Jawa timur.

Sumber Bacaan:
Ahmadi, A. Pendidikan dari Masa ke Masa, (Bandung: Cetakan Pertama, CV Armico), 1987.
Gerakan Di Zi Gui, Budi Pekerti, tanpa nama penulis, penerbit dan tahun.
Standar Nasional Pendidikan; PP RI no. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dilengakapi dengan penjelasan, tanpa nama penulis, penerbit dan tahun.
Jurnal Ma’arif; Pemberdayaan Masyarakat & Pendidikan Edisi XII tahun 2009, (Jakarta, LP Ma’arif NU).
Dawam, Ainurrofiq, DR. MA, Pendidikan Islam Indonesia Kini, http://www.ditpertais.net/swara/warta17-01.asp, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.30.
Rami Satria Wahono, Belajar Dari Jepang Membentuk Komunitas Terdidik, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Belajar+Dari+Jepang+Membentuk+Komunitas+Terdidik&&nomorurut_artikel=197, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.35.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, http://ibau.bappenas.go.id/data/peraturan/Undang-Undang%20Dasar/UUD%2045.pdf, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.40.
Suryan, S.Pd.I, Relasi Pendidikan Dengan Modernisasi, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=RELASI+PENDIDIKAN+DENGAN+MODERNISASI&&nomorurut_artikel=465, diakses pada tanggal 1 Februari 2011, pukul. 10.35.
Muliani, Masalah Pendidikan di Indonesia, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah+Pendidikan+di+Indonesia&&nomorurut_artikel=364, diakses pada tanggal 1 Februari 2011, pukul. 10.40.

Beberapa Konsep Dasar Ekonomi Makro dan Politik Pertumbuhan Ekonomi.

“Economy growth must look to the common good and an economy based on ethical foundations must be preoccupied with the raising the well being of all sectors of society.”[1]
Pendahuluan
Ekonomi sebagai praktik keseharian jauh telah ada sebelum ia menjadi sebuah disiplin ilmu. Kegiatan ekonomi manusia sudah berlangsung berabad-abad sebagai upaya kemakmuran oleh manusia. Dalam upaya menyejahterakan diri mereka, manusia secara kontinyu berusaha memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas. Ketidakseimbangan terjadi ketika alat kebutuhan untuk memuaskan keinginan manusia tidak dapat disuplai secara maksimal karena sifat keterbatasannya. Di sinilah yang menjadi titik tekan masalah ekonomi.
Terlepas polemik asal usul ekonomi sebagai sebuah disiplin ilmu baik dari belenggu ideologi keagamaan maupun non keagamaan, pada kenyataannya ilmu ekonomi eksis dan berkembang pesat dalam ranah keilmuan manusia. Perkembangannya tidak terlepas dari buah pemikiran para penggiat ilmu ekonomi, pelaku ekonomi dan peran kuasa pemerintah di dalamnya. Dinamika keilmuan ekonomi sangatlah luas dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mempelajari dan memahaminya, terlebih bagi penulis yang notebene bukan penggiat ilmu ini. Tulisan ini sangat rentan terhadap kritik dan merupakan usaha terbatas untuk mematuhi konsensus pemangku kesepakatan kelompok kajian ekonomi. Disorientasi tulisan terhadap tema sandaran; Perspektif Ilmu Ekonomi, sebagai output pun akan nampak dari faktor produksi yang sangat minim; waktu, modal dan tempat (tanah). Kecenderungan isi tulisan pun bukan cerminan dari sebuah kecondongan penulis terhadap pendekatan tertentu, lebih pada faktor praksis saja.

Ekonomi Makro
Pada umumnya ilmu ekonomi dibagi pada 2 ranah keilmuan; ekonomi makro dan ekonomi mikro. Ekonomi makro mempelajari penggunaan sumber daya atau faktor produksi yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas secara agregat. Sedangkan ekonomi mikro fokus terhadap penggunaan sumber daya atau faktor produksi yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas atas dasar kebutuhan individu. Perilaku dalam ekonomi ini difungsikan untuk memenuhi faktor produksi yang ada. Perbedaan di antara keduanya terletak pada siapa economic agent yang memutuskan dan mengarahkan perilaku ekonomi tersebut. Ekonomi makro berkaitan erat dengan kinerja ekonomi suatu Negara dalam hal ini pemerintah. Sedangkan ekonomi mikro keputusan dibuat oleh individu. Yang dimaksud dengan individu di sini dapat berupa pasar, perusahaan dan rumah tangga.[2]
Ada tiga ukuran dalam penilaian keberhasilan suatu Negara dalam mengelola ekonominya secara makro: keluaran, pengangguran dan stabilitas harga. Keluaran atau output berkaitan dengan produksi oleh Negara dalam kurun waktu tertentu, misalnya satu tahun. Nominal vs riil, nilai vs pertumbuhan,[3] pertumbuhan vs pemerataan dan PDB aktual vs PDB potensial merupakan beberapa ukuran output nasional dari suatu Negara dan sering dalam berupa Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Bruto (GDP) yang notabene adalah nilai dari semua produk akhir, baik barang dan jasa yang diukur dalam mata uang.[4]
Sekedar contoh, total nilai keluaran yang diukur dengan nilai uang pada saat itu disebut dengan PDB nominal, sedangkan PDB riil diukur dengan nilai mata uang konstan. Hal terakhir terkait dengan patokan nilai rupiah (sebagai contoh) di tanggal yang terlebih dahulu telah ditentukan. Fungsi penggunan mata uang konstan bertujuan untuk melihat perubahan PDB dari waktu ke waktu yang terjadi secara riil. Selisih jumlah nilai antara keduanya berfungsi untuk mengetahui perbedaan aktifitas ekonomi secara riil dan efek inflasi atau kenaikan harga.[5]
Pembahasan kedua PDB di atas merujuk pada pengertian nilai mata uang, Untuk mengetahui perkembangan PDB dari waktu ke waktu dikenallah istilah pertumbuhan PDB yang dihitung dengan rumus PDB riil di tahun kedua dikurangi PDB riil tahun sebelumnya serta dikali 100% lalu dibagi PDB riil tahun sebelumnya, maka akan terlihat hasil pertumbuhan PDB sebuah Negara. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat tidak berarti itu bagus bagi suatu Negara apabila hanya segelintir orang saja yang menikmatinya. Oleh karena itu, pemerataan menjadi faktor penting dengan mengukur berapa porsi PDB yang dinikmati 20% penduduk termiskin suatu Negara dan berapa porsi PDB yang dinikmati oleh 20% penduduk terkaya. Apabila kedua angka sama, itu menunjukkan adanya pemerataan ekonomi dalam suatu Negara.[6]
Pemerataan biasanya dikaitkan pada dua hal, yaitu: pendapatan dan asset atau kekayaan. Konsep ideal pemerataan apabila seorang individu memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama dengan individu lain. Di Inggris dan Amerika, pemerataan pendapatan jauh lebih baik dibandingkan dengan pemerataan kekayaan. Sedangkan di Negara berkembang cenderung pada kondisi yang sama, pendapatan dan kekayaan tidak merata. Hubungan keduanya di Negara berkembang sangat erat. Individu yang semakin tinggi tingkat kekayaannya cenderung semakin tinggi pula pendapatannya. Walhasil, kebijakan keduanya sama-sama penting.[7]
PDB aktual merupakan hasil konkret penghasilan suatu Negara. Meskipun dengan jumlah tertera di atas kertas tidak berarti telah menunjukkan PDB secara maksimal yang dapat dihasilkan oleh suatu Negara. Hasil maksimum inilah yang disebut dengan PDB potensial, merupakan tingkat keluaran maksimum yang dapat dihasilkan secara berkelanjutan dan sangat tergantung pada faktor produksi yang efisien dan teknologi yang produktif. Ukuran penggunaan yang sederhana adalah dengan memperhatikan tingkat penggunaan buruh atau tingkat pengangguran. Bila tidak ada pengangguran, maka tidak ada penambahan waktu kerja, berkonsekuensi pula pada tidak ada peningkatan PDB. Ukuran adanya pengangguran sebesar 5% dari total populasi Negara sudah dianggap tidak ada pengangguran (full employment). [8]
Tingkat pengangguran menjadi ukuran kedua ekonomi, tinggi rendah angkanya mencerminkan sukses atau kegagalan dalam pembangunan dan tingginya pengangguran menyebabkan keluaran ekonomi tidak mencapai tingkat maksimum atau tingkat potensial. Tidak adanya sumber pendapatan (income) untuk kehidupan akan berdampak pada munculnya permasalahan psikologis dan sosial. Ukruan selanjutnya dari keberhasilan ekonomi makro adalah stabilitas harga. Argumen bahwa ekonomi yang baik apabila tidak ada kenaikan harga, atau inflasi sama dengan nol. Hal ini tidak sepenuhnya benar, terkadang dalam kasus tertentu mendorong perkembangan ekonomi seperti infalsi sebesar 3% yang pernah dialami bangsa Indonesia dan belum pernah terjadi semenjak kemerdekaan. Inflasi rendah secara umum masih bisa diterima Di satu sisi, meningkatnya harga akan menggenjot perusahaan atas produksi yang menghasilkan keuntungan bagi perusahaan karena peningkatan biaya produksi tidak secepat kenaikan harga, bertambahnya harga produk juga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan. Di sisi lain, inflasi rendah menyebabkan daya beli masyarakat juga menurun walaupun tidak signifikan.[9]
Politik Pertumbuhan Ekonomi
Istilah politik pertumbuhan ekonomi memang bukan hal sering kita dengar atau kita lihat di Indonesia, padahal terma ini menjadi sangat penting dalam dunia akademisi dan praktisi ekonomi di luar negeri. Jika anda mencari di “mbah” google, hanya kalimat pertumbuhan ekonomi dan ekonomi politik yang menghiasi layar monitor komputer atau laptop anda. Meskipun ada satu dua tentang teori pertumbuhan, namun unsur politik hanya menjadi sisipan struktur pembahasannya. Apakah ini petanda dari sebuah skema penjajahan diskursus ekonomi di Indonesia, masih perlu penelitian untuk pertanyaan tersebut. Mungkin juga, karena keterbatasan penulis, memang ada karya yang mengupas habis pertarungan ideologi dalam dunia perekonomian di Indonesia. Walhasil, banyak penelitian dan tulisan yang kita bisa akses di Internet soal politik pertumbuhan ekonomi di pelbagai Negara, mulai dari studi politik pertumbuhan ekonomi di era the great depression tahun 1929, masa kebangkitannya di Amerika dan paska perang dunia ke-2, hingga tulisan kontemporer mengenai pertumbuhan ekonomi drastis di India dan China.
Awalnya, ekonomi politik merupakan studi tentang kondisi di mana produksi atau konsumsi yang dalam parameter terbatas dan diselenggarakan oleh bangsa dan negara. Dengan hal ini, ekonomi politik memperluas penekanan makna kata ekonomi, yang berasal dari bahasa Yunani oikos berarti "rumah" dan nomos; "hukum" atau "order"; sehingga ekonomi politik dimaksudkan untuk mengungkapkan hukum-hukum produksi kekayaan di tingkat negara bagian. Kata politique économie (diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai political economy) pertama kali muncul di Perancis pada tahun 1615 dalam buku terkenal karangan Antoine de Montchrétien: Traité politique de l'Economie. Physiokrat Perancis, Adam Smith, David Ricardo dan filsuf Jerman Karl Marx adalah beberapa eksponen ekonomi politik. Pada 1805, Thomas Malthus menjadi profesor pertama Inggris di bidang ekonomi politik di East India Company College, Haileybury, Hertfordshire. Pada tahun 1763, Guru besar pertama di dunia dalam ekonomi politik diberikan di Universitas Wina, Austria kepada Joseph von Sonnenfels sekaligus dinpbatkan sebagai profesor tetap pertama.[10]
Ekonomi politik merupakan istilah untuk mempelajari produksi, membeli dan menjual, dan hubungannya dengan hukum, adat, dan pemerintah, serta distribusi pendapatan nasional dan kekayaan, termasuk melalui proses anggaran. Politik perekonomian berasal dari filsafat moral. Yang berkembang di abad ke-18 sebagai studi tentang ekonomi Negara dan kebijakan, makanya disebut ekonomi politik. Pada akhir abad kesembilan belas, istilah 'ekonomi' datang untuk menggantikan 'ekonomi politik', bertepatan dengan publikasi dari sebuah buku berpengaruh berjudul Principles of Economy oleh Alfred Marshall pada tahun 1890. William Stanley Jevons, seorang penganjur metode matematika diterapkan pada ekonomi, menganjurkan kata 'ekonomi' sebagai ringkasan dengan harapan istilah tersebut menjadi "terma yang diakui sebagai ilmu pengetahuan," di dalam bukunya “The Theory of Political Economy.”[11]
Pendekatan kontemporer memandang ekonomi politik pada studi interdisipliner pada ekonomi, hukum, dan ilmu politik dalam menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga politik, lingkungan politik, dan sistem-kapitalis ekonomi, sosialis, dicampur-mempengaruhi satu sama lain. Topik tradisionalnya meliputi pengaruh pemilu pada pilihan kebijakan ekonomi, penentu hasil pemilu, siklus bisnis politik, independensi bank sentral, konflik redistributif dalam kebijakan fiskal, dan politik reformasi tertunda di negara berkembang dan defisit berlebihan. Dari tahun 1990-an, dieksplorasi studi diperluas seperti pada asal-usul dan laju perubahan lembaga-lembaga politik, dan peran budaya dalam menjelaskan capaian ekonomi dan pertumbuhan. Secara lebih sempit ditafsirkan sebagai analisis kebijakan publik seperti monopoli, perlindungan pasar dan korupsi kelembagaan.[12]
Di dalam bukunya, The Politics of Economic Growth, in Postwar America, Robert M. Collins menjelaskan bagaimana pertumbuhan ekonomi menjadi pusat dan faktor penentu kebijakan publik pemerintah Amerika setengah abad paska perang dunia ke-2. Di era The Great Depression di Amerika, ada tiga kekuatan yang bertarung untuk penentuan arah pertumbuhan ekonomi amerika serikat: 1. Kelompok agraria dari selatan yang mengadakan symposium bertemakan “I’ll Take My Stand: The South and the Agrarian Tradition” dan membahas pertumbuhan, industrialism dan materialism, lalu menolak kepercayaan terhadap dengan mesin besar akan menghasilkan penghasilan yang besar pula. Mereka ini dikategorikan sebagai kelompok konservatip dan dikenal sebagai gerilyawan agrarian dan menganggap konsep growth dan moreness adalah ide gila. Mereka berpegang teguh pada prinsip “tidak akan pernah mengakui bahwa tugas manusia hanya untuk meningkatkan produksi materi saja dan bahwa tingkat derajat kebudayaan diukur dengan volume produksi materi,” namun,pada akirnya mereka tersingkir.[13]

Kelompok kedua terdapat pada gerakan teknokrasi berasal dari tumbuh dari ide-ide Howard Scott, seorang insinyur eksentrik dari Greenwich Village. Scott pernah bertugas untuk sementara waktu sebagai konsultan untuk Radical International Worker di bawah naungan Serikat Pekerja Dunia. Dia percaya bahwa sistem artifisial kapitalisme telah menciptakan ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi, akibatnya, kemajuan teknologi dan peningkatan produksi
hanya menghasilkan pengangguran dan hutang saja. Mereka beranggapan bahwa
untuk menggantikan sistem harga lama dengan yang baru berdasarkan energi, daripada emas. Meskipun sempat mendapatkan sorotan dari politisi, pelaku bisnis dan gangster, bahkan sempat diangankan sebagai “langkah pertama revolusi filsafat di Amerika.” Kehadirannya yang cepat seiring dengan lenyapnya.[14]
Kelompok ketiga adalah Mississippi Industrial Commission yang mengenalkan program “Balance Agriculture with Industry” yang bererwenang penggunaan obligasi daerah untuk membangun pabrik bagi perusahaan yang berkomitmen untuk tenaga kerja lokal dan memberikan jaminan gaji. The Mississipi Program perlahan-lahan menampakkan hasil dan walaupun kemudian menghasilkan upah rendah, pekerjaan non-union di tekstil padat karya dan pakaian,gagasan itu menyebar ke negara tetangga dan kemudian, setelah perang, mendapat tempat di hati Negara-Negara bagian selatan sebagai negara terpaksa ke pelbagai peningkatan subsidi public untuk mendapatkan perkembangan yang signifikan.[15]
Dinamika politik pertumbuhan ekonomi terekam dengan jelas dalam studi ini, meskipun dengan digelontorkannya kebijakan New Deal of Economics yang berkesan “hati-hati,” aspek pertumbuhan tetap menjadi orientasi sebagai bagian integral sistem kapitalis yang dianut Amerika Serikat. Pelbagai kebijakan moneter diberlakukan untuk secara marathon dan pertumbuhan ekonomi digenjot dengan berdirinya beberapa lembaga, baik keuangan maupun institusi bisnis sehingga dalam kurun waktu satu tahun saja tingkat pertumbuhan ekonomi di tahun 1930 sudah hampir sama dengan tahun 1929, di saat depresi ekonomi mulai.
Di satu sisi, kebijakan ekonomi memberikan harapan bagi perkembangan perekonomian Amerika. Akan tetapi, di sisi lain, banyak suara pesimistik menghiasi kehidupan rakyat Amerika pada umumnya. Hal ini bisa terekam dari ucapan para tokoh dari dua sudut pandang terhadap masa depan ekonomi Amerika; Herbert Hoover dan Franklin D. Roosevelt. Herbert menyatakan “saya tidak takut akan masa depan negeri ini, negeri yang cerah dengan harapan-harapan,” sedangkan Franklin berujar “bagi saya kemungkinan bangunan fisik ekonomi tidak akan berekspansi sehebat masa lalu, kita bisa saja membangun lebih banyak pabrik, tapi faktanya kita mempunyai lebih dari cukup dari kebutuhan domestik.”[16]
New Deal of Economy berorientasi pada pemulihan, keseimbangan dan ketahanan ekonomi dan berkarakter stagnan dan ekonomi berkekurangan. Ketika pendekatan rem laju ekonomi sudah berjalan dan kondisi ekonomi mulai sedikit stabil, muncullah doronga-dorongan untuk merubah arah kegiatan ekonomi yang lebih liberal. Ini dilakukan oleh partai republic yang menganggap kebijakan Franklin yang notabene dari partai democrat tidak lebih hanya sekedar public investment bukan karakter Negara kapitalis. Program-program seperti National Recovery Administration (NRA), Agriculture Adjustment Administration (AAA), Reconstruction Finance Cooperation (RFC) mulai mendapat kritik tajam dari lawan politik Franklin. Malah ia menambah investasi publik di pengembangan tanaga listrik, maka muncullah perusahaan seperti Tennessee Valley Authority (TVA) dan Rural Electrification Administration guna menyokong usaha ekonomi ke wilayah selatan.[17]
Pada tahun 1938, muncul partai baru yang didirikan berdasarkan filosofi pertambahan produksi oleh Phil La Follette, seorang gubernur Wisconsin. Lambang X di bendera partainya merepresentasikan multiplikasi kekayaan bukannya pengurangan.[18] Kegelisahan para expansionist bertambah ketika Franklin memutuskan komitmennya kepada kebijakan 1 per 3 rakyatnya yang serba kekurangan; sandang, pangan dan papan meskipun akhirnya ditolak oleh kongres. Kebijakan-kebijakan dan identitias a la state cartelism dan state capitalism inilah yang oleh penulis sendiri sebut sangat ambigu. Di Penghujung akhir 1930an hingga meletusnya perang dunia ke-2, ekonomi Amerika kembali berorientasi ekspansi dan kapitalistik dan kebijakan New Deal dianggap sebagai dasar ekspansi ekonomi Amerika di era perang dunia ke-2.
Penutup
Ada beberapa catatan pribadi penulis dapat dari usaha penulisan, pemahaman dan refleksi:
1. Pengelolalaan ekonomi makro yang baik suatu Negara sangatlah penting terlepas dari orientasi ideologis ekonomi dan dampak tertentu dari perspektif ekonomi tertentu.
2. Sejarah mencatat corak ekonomi Indonesia yang dinamis merupakan bukti bahwa peran politik sangat berpengaruh dalam menentukan arah perekonomian Negara.
3. Peran akademisi ekonomi sangatlah kurang dalam membahas secara mendalam studi politik pertumbuhan ekonomi di Indonesia, terlepas dari indikasi adanya setting bangunan keilmuan ekonomi di Indonesia.
4. Untuk Negara sekapitalis Amerika pun mampu dan berani “menyeleweng” dari dogma ekonomi mereka ketika sebuah situasi darurat memaksa Negara intervensi hingga jauh ke dalam urusan ekonomi bahkan hingga sekarangpun Amerika masih melakukan beberapa proteksi terhadap produk domestik mereka.
5. Stabilnya iklim politik sangatlah penting ketika perbaikan dari reses ekonomi menjadi focus utama dimana selama masa the great depression, hampir seluruh kebijakan pemerintah dalam mengurai krisis ekonomi mendapat persetujuan dari kongres.







Tinjauan Pustaka
Collins, Robert M. (200). The Politics of Economic Growth, in Postwar America., Oxford: Oxford University Press.
Djohanputro, Bramantyo MBA, Phd. Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, (2005), Jakarta: Penerbit PPM.
Wikipedia, Political Economy,
http://en.wikipedia.org/wiki/Political_economy#History_of_the_term, di akses pada 22 Januari 2011, pukul 01.30.
Youtube,http://www.youtube.com/watch?v=gLKik7p58Ak&nofeather=True, diakses pada 22 Januari, pukul 01.00 WIB.



[1] Salah satu kutipan ucapan Benedict XVI ketika menerima duta besar Korea Selatan, Han Hong-Soon, untuk Negara Vatikan, http://www.youtube.com/watch?v=gLKik7p58Ak&nofeather=True, diakses pada 22 Januari, pukul 01.00 WIB.

[2] Bramantyo Djohanputro, MBA, Phd., Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, (Jakarta: Cetakan 1, Penerbit PPM), 2005, hal. 11.

[3] Selain mendefinisikan terma ini dengan PDB baik yang nominal maupun riil, para ekonom menggunakannya untuk membedakan dengan istilah ekspansi ekonomi (economic expansion) yang berarti meningkatnya kapasitas yang ada, Sedangkan pertumbuhan melibatkan meningkatnya kapasitas produksi ekonomi itu sendiri. Secara umum pertumbuhan diartikan peningkatan dalam semua hal; aktifitas ekonomi, meningkatnya produksi dan meningkatnya konsumsi. Selain itu, definisinya berkonotasi dengan hal teknologi, industrialism, matelialisme dan konsumerisme. Robert M. Collins, The Politics of Economic Growth, in Postwar America, (Oxford University Press), 2000, hal. 1. Luasnya definisi inilah yang diindikasikan penyebab The great depression di Amerika berujung kebijakan the new deal of economic dan menjadi dasar terlibatnya Amerika di Perang dunia ke-2. Ibid, hal 9.

[4] Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, hal.13-14

[5] Ibid, hal 14,

[6] Ibid 17.

[7] Ibid hal, 17-18

[8] Ibid, 18.

[9] Robert M. Collins, The Politics of Economic Growth, in Postwar America, (Oxford University Press), 2000, hal. 19-20.

[10] Wikipedia, Political Economy, http://en.wikipedia.org/wiki/Political_economy#History_of_the_term, di akses pada 22 Januari 2011, pukul 01.30.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] The Politics of Economic Growth, in Postwar America, 2000, hal. 1-2.

[14]Ibid hal. 3.

[15]Ibid, 2-3.

[16] Ibid hal 4.

[17] Ibid, hal. 8.

[18] Ibid. hal. 8-9

Corat-coret persyaratan diskusi di Forum Diskusi Ekonomi Ciputat