“Knowledge is power, and character is more”
Apa
  yang ada dalam pikiran kita ketika memandang kondisi bangsa kita ini  
secara umum baik berdasarkan pengalaman empirik keseharian dengan  
kacamata peran dan fungsi kita di tatanan masyarakat baik secara mikro  
maupun makro, maupun berdasarkan media massa yang setiap hari kita  
dicekoki dengan berita-berita yang sebagian besar bernuansa negative?.  
Respon yang biasanya muncul, secara pribadi, akan berupa rentetan  
pertanyaan pula semisal; apa masalah sebenarnya dari bangsa kita?  
mengapa ini harus terjadi? Kekayaan alam apa yang sebenarnya tidak kita 
 miliki untuk membangun bangsa yang berperadaban dan patut dibanggakan, 
 dsb. Pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya akan melahirkan  
jawaban-jawaban personal yang kita yakini sebagai jawaban kita sendiri  
untuk permasalahan yang ada. Dilihat dari perspektif ekonomi, produk (
output)
  suatu jasa atau barang tergantung dari faktor produksi seperti modal, 
 tanah dan tenaga kerja. Kesediaan dan manejemen yang baik dari faktor  
produksi tersebut akan melahirkan produk barang atau jasa yang baik  
pula. Jika kita asumsikan, sebagai manusia, adalah 
output, sumber dan faktor produksi apa saja yang membentuk kita seperti sekarang ini?.
Secara
  umum, setidaknya ada empat hal yang membentuk manusia hingga mencapai 
 kemampuan maksimal: 1. Rumah, 2. Pendidikan, 3. Lingkungan, 4.  
Pengalaman keseharian. Dari keempat hal tersebut dapat dikategorikan  
menjadi dua kelompok berdasarkan sumber produksi yang bersifat bentukan 
 primer (
primary engineered) dan sumber produksi bentukan sekunder (
secunder-engineered).
  Dua hal pertama termasuk dalam kategori bentukan primer karena 
sifatnya  yang terkonsentrasi dan dua hal terakhir masuk dalam kategori 
sekunder  karena lebih kompleks. Faktor produksi bisa direpresentasikan 
dengan SDM  (peserta didik dan pendidik), modal (anggaran pemerintah 
untuk  pendidikan, tanah (infrastruktur) dan manejemen dari faktor 
produksi  tersebut. Satu aspek yang menjadi sangat perhatian baik secara
 mikro  (individu), 
mezzo (komunitas), makro (pemerintah) 
adalah  pendidikan. Pendidikan terkadang selalu menjadi alasan biang 
keladi dari  output (SDM; manusia) yang tidak sesuai harapan.
Pendidikan
  berfungsi menyiapkan sumber daya manusia untuk membangun peradaban. 
Apa  jadinya bila peradaban yang baik tidak dibarengi dengan usaha  
pengembangan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, 
 tetapi apa gunanya bila tidak memberikan sumbangsih secara moral, pasti
  akan berdampak pada degrasi karakter bangsa yang terpuruk seperti  
sekarang ini. Jika kita ingin membangun masa depan pendidikan Indonesia 
 yang lebih baik lagi ada baiknya kita harus kembali ke “akar” dari 
skema  pendidikan yang telah digariskan oleh Undang-Undang 45 dan nilai 
lokal (
indigenous values).  Akar ini harus selalu berfungsi 
sebagai landasan gerak arah  pemgembangan pendidikan di Indonesia; 
khususnya pendidikan agama.  Penekanan ini sebenarnya sudah ditegaskan 
dalam UUD 45 Amandemen ke-4.  Faktor dominan dalam konstitusi kita 
terkait sistem pendikan nasional  adalah pendidikan nilai dan moral; 
agama.
Dilihat dari perspektif  sejarah, Pendidikan agama yang 
dalam hal ini dapat diwakili oleh  pendidikan meunasah atau dayah, 
surau, dan pesantren diyakini sebagai  salah satu pendidikan tertua di 
Indonesia. Pendidikan ketiga institusi  di atas memiliki nama yang 
berbeda, akan tetapi memiliki pemahaman yang  sama baik secara 
fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal.  Secara fungsional 
trilogi sistem pendidikan terebut dijadikan sebagai  wadah untuk 
menggembleng mental dan moral di samping wawasan kepada para  pemuda dan
 anak-anak untuk dipersiapkan menjadi manusia yang berguna  bagi agama, 
masyarakat, dan negara. Secara substansial dapat dikatakan  bahwa 
trilogi sistem pendidikan tersebut merupakan panggilan jiwa  spiritual 
dan religius dari para tengku, buya, dan kyai yang tidak  didasari oleh 
motif materiil, akan tetapi murni sebagai pengabdian  kepada Tuhan dan 
masyarakat. Secara operasioanal trilogi sistem  pendidikan tersebut 
muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai  kebijakan, proyek 
apalagi perintah dari para sultan, raja, atau  penguasa. Secara 
mekanikal bisa dipahami dari hasil pelacakan historis  bahwa trilogi 
sistem pendidikan di atas tumbuh secara alamiah dan  memiliki anak-anak 
cabang yang dari satu induk mengembang ke pelbagai  lokasi akan tetapi 
masih ada ikatan yang kuat secara emosional,  intelektual, dan kultural 
dari induknya.
Sejarah pendidikan  Indonesia mencatat pertarungan 
sengit antara mainstream pendidikan yang  disebut modern yang diciptakan
 penjajah dengan mainstream pendidikan  tradisional asli pribumi. Sejak 
itulah aspek ideologi manusia sebagai  pribumi terjadi perubahan untuk 
mengikuti ideologi  materialisme-kapitalis beralih dari ideologi 
spiritualisme-religius.  Ideologi bentukan penjajah jelas merupakan 
keluaran mental dari sistem  moral yang dianut penjajah yang tentunya 
merambah ranah politik dan  ekonomi pula. Ukuran moral 
a la barat
 seseorang dianggap baik  dan bermoral ketika sesuatu itu bermanfaat dan
 berguna secara materiil.  Seseorang dikatakan kurang moralitas dan 
nilainya di hadapan masyarakat  ketika seseorang itu tidak mampu 
memberikan manfaat dan kegunaan secara  materiil. Orang yang dianggap 
berhasil dan bermoral adalah ketika  seseorang yang telah memiliki 
jabatan, kekayaan, dan harta lebih dari  orang tuanya.
Meskipun 
pendidikan tradisional (pribumi) mendapat  angin segar ketika Jepang 
datang ke Indonesia, pertarungan dimenangkan  oleh pendekatan yang 
pertama nampaknya terjadi kompromi di antara 
founding fathers  
Negara Indonesia ini dan ditenggarai dengan didirikannya departemen  
agama di tahun 1948 untuk mengakomodir aspirasi mayoritas umat Islam  
Indonesia dan berlangsung hingga jaman orde baru dan sekarang. Sejarah  
mencatat perlakuan tidak seimbang antara dua mainstream ini oleh  
pemerintah. Walaupun kondisi sekarang sudah membaik, ketertinggalan  
sistem pendidikan agama masih terasa di segala lini hingga saat ini.
Materialisasi
  pendidikan yang dimaksud di sini adalah sebuah proses menjadikan semua
  bernilai materi di segala sendi sistem pendidikan Indonesia, termasuk 
 pendidikan Agama. Sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi  
pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi  
juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah  
mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang diharapkan dari 
 proses pendidikan tersebut. Contohnya dalam hal kurikulum pendidikan  
misalnya diarahkan kepada kurikulum yang memberikan bekal kepada peserta
  didik untuk mampu mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan  
yang besar. Kurikulum tersebut dirancang sedemikian rupa dan untuk  
mengikutinya harus mengeluarkan uang sangat sangat besar. Jika dalam  
proses memperolehnya harus mengeluarkan dana yang besar, maka dapat  
dibayangkan setelah memperoleh pengetahuan tersebut. Peserta didik yang 
 telah selesai akan menggunakan pengetahuan tersebut untuk mengembalikan
  modal dan tentu berupaya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya.  
Karena memang teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi 
 di masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal 
yang  akan dipetik keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan 
untuk  menjadikan manusia yang utuh dengan menggunakan prinsip ekonomi 
tidak  akan mengenal nilai-nilai spiritual, moralitas, kebersamaan.
Dalam
  aspek pendidik misalnya banyak sekali praktek dan perilaku penididik  
yang menjual nilai untuk mendapatkan uang. Bahkan ada sebagian pendidik 
 yang menjadikan kewenangannya untuk memberikan nilai kepada peserta  
didik demi mendapatkan pendapatan dari peserta didiknya sendiri. Praktik
  pelanggaran moralitas tinggi justru sudah diajarkan oleh para pendidik
  kepada peserta didik dengan berbagai praktik dan modus operandi dalam 
 proses pengajaran dan ujian, salah satunya adalah modus di atas.
Peserta
  didik sebagai korban dari sistem dan proses pendidikan yang akibatnya 
 adanya reduksi makna dari pendidikan menjadi sekedar penyampaian  
pengetahuan (
transfer of knowledges), pada saat itulah peserta 
 didik telah diberi pelajaran yang sangat luar biasa pengaruhnya dalam  
kehidupannya kelak. Peserta didik yang sudah berpengalaman, misalnya  
mahasiswa S1 atau S2 dan bahkan S3 yang telah memahmi praktik-praktik  
demikian ini dan tidak mau memperhatikan nilai-nilai moralitas akan  
melakukan praktik-praktik asal bisa lulus dan selesai. Jual beli nilai, 
 jual beli gelar, dan jual beli karya ilmiah adalah suatu fakta tak  
terelakkan yang menunjukkan betapa rendah mental dan moralitas para  
peserta didik.
Orientasi manajemen pendidikan yang salah dilihat  
dari praktik munculnya kebanggaan semua pihak baik pengelola, pendidik, 
 peserta didik, dan wali akan megahnya gedung dan kampus dimana mereka  
berada dan ikut andil di dalamnya. Kemegahan gedung kampus dan sekolah  
menjadi tolok ukur majunya sebuah lembaga pendidikan. Jika orientasi  
kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi ukuran kemajuan sebuah  
pendidikan, maka dapat dibayangkan orientasi pendidikannya.
Materialisasi
  pada aspek lingkungan pendidikan di sini dipahami sebagai masyarakat  
yang berada di sekitar pendidikan atau dengan kata lain adalah  
masyarakat Indonesia sendiri. Arus modernisasi secara bombastik  
mengakibatkan pergeseran karakter masyaraka secara luar biasa.  
Pergeseran tersebut mencakup pergeseran orientasi kehidupan, pergeseran 
 budaya, pergeseran gaya hidup, pergeseran pandangan hidup, pergeseran  
pertilaku politik, pergeseran perilaku ekonomi, dan pergeseran terhadap 
 ajaran agama dan ironisnya salah satu penyebab kemunduran moral bangsa 
 melalui pendidikan.
Materialisasi pendidikan adalah upaya 
mencapai  tujuan pendidikan nasioanl maupun pendidikan Islam dengan 
ukuran  kuantitatif; berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa 
yang telah  menjadi pengacara, berapa yang telah menjadi pejabat tinggi,
 berapa  alumni yang telag menjadi dewan. Dengan melihat jumlah alumni 
yang telah  menduduki jabatan apapun akan dapat dipredikisikan 
penghasilan mereka.  Perhitungan jumlah alumni yang telah menjadi 
manusia bermoral, berapa  alumni yang telah memberikan kesadaran 
masyarakat akan arti pentingnya  persaudaraan, berapa alumni yang telah 
mampu memberikan pelayanan gratis  kepada masyarakat tanpa pamrih 
apapun, berapa alumni yang telah  benar-benar melaksanakan tujuan 
pendidikannya yaitu menjadi manusia  seutuhnya jarang atau hampir tidak 
ada. Manusia seutuhnya di sini  berarti secara jamsani dan ruhani, 
secara material dan spiritual, dan  secara fisik dan mental, serta 
secara intelektual dan moral telah  terjadi keseimbangan yang nyata.
Untuk
 memahami arah kebijakan  pembangunan pendidikan, mari kita merunut GBHN
 1994-2004 dan UU  Sisdiknas tahun 2005. Isi dari kebijakan tersebut ada
 delapan point,  namun ketiga point di bawah dapat mewakili delapan 
point kebijakan  sebagai berikut:
- Mengupayakan perluasan dan 
pemerataan       kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi 
bagi seluruh rakyat       Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia
 yang berkualitas  tinggi dan      peningkatan anggaran pendidikan 
secara berarti;
 
- Meningkatkan  kemampuan akademik dan      
professional serta menigkatkan jaminan  kesejahteraan tenaga 
kependidikan      sehingga tenaga pendidik mampu  berfungsi secara 
optimal, terutama dalam      peningkatan pendidikan  watak dan budi 
pekerti agar dapat mengembalikan      wibawa lembaga  tenaga 
kependidikan; dan
 
- Melakukan pembaharuan sistem pendidikan       
termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum  untuk   
   melayani keberagaman peserta didik. Penyusunan kurikulum yang  
berlaku      nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat,  
secara      deversifikasi jenis pendidikan secara frofesional. 
 
Dari
  penjelasn tiga poin kebijakan itu, dapat disimpulkan bahwa arah  
kebijakan pembangunan pendidikan menurut GBHN tersebut adalah untuk  
mengupayakan pendidikan nasional yang bermutu demi kemaslahatan bangsa. 
 Selain itu, arah kebijakan tersebut bertujuan untuk memudahkan dan  
mensetarakan pendidikan yang berwatak dan berbudi pekerti.
Jika melihat 
Undang-Undang Sisdiknas tentang Paradigma Baru Pendidikan Nasional tanggal 11 Juni 2003, dapat dipetik point-point yang diarahkan sebagai sasaran pendidikan, yaitu;
1.
         Tentang demokrasi dan desentralisasi (otonomi daerah) tercantum
 dalam  bab tiga tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) 
disebutkan  bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan 
berkeadilan,  serta tidak diskriminatif dengan junjungan tinggi hak 
azazi manusia… dts  (ayat 1). Adanya desentralisasi menjadikan pendanaan
 pendidikan  merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah pusat, 
daerah, dan  masyarakat 
(pasal 46 ayat 1).
- Peran 
serta  masyarakat, demokratisasi      penyelenggaraan pendidikan harus  
mendorong pemberdayaan masyarakat dengan      memperluas partisipasi  
masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran      serta perorangan,  
kelompok, keluarga, oraganisasi profesi, dan organisasi       
kemasyrakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan     
  pendidikan (pasal 54 ayat 1).
 
- Tantangan global yang melanda dunia yang      mengharuskan pendidikan bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3).
       Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan formal, 
baik       pendidikan yang didirikan pemerintah maupun masyarakat.
 
- Kesetaraan dan keseimbangan antara      pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan masyarakat.
 
- Jalur formal, nonformal, dan informal,      dengan meniadakan istilah jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
 
- Peserta
  didik, dengan menempatkan mereka      sebagai subyek pendidikan. Hal  
ini menunjukkan keberpihakan Undang-Undang      Sisdiknas kepada peserta
  didik terutama kepada peserta didik yang tidak      mampu secara  
ekonomi.
 
Jika kita perhatikan, apa yang digariskan dalam UUD
  45 (di bawah) dan disambungkan dengan apa yang termaktub dalam GBHN 
dan  undang-undang Sisdiknas, terjadi adanya degradasi penekanan atas  
pentingnya moral dan nilai dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan  
memang menjadi varibel penting dalam urusan demokratisasi dan  
desentralisasi, akan tetapi, kita pahami bahwa desentralisi yang kita  
lakukan sekarang ini sangat tidak efektif dan cenderung mubadzir karena 
 harus menghabiskan dana besar yang seharusnya bisa dialokasikan ke 
ranah  pendidikan. Terlebih, tiap daerah di Indonesia mempunyai karakter
 dan  potensi yang berbeda untuk menyokong pendidikan secara baik.
Oleh karena itu, Kementerian Agama dalam hal ini dapat menjadi sebuah garda terdepan guna mendorong kembali 
mainstream moral dan nilai dalam sistem pendidikan Indonesia. Bangsa Indonesia harus kembali berbasis 
spiritualisme-religius dalam gerakan pendidikan agama karena bangunan sistem yang ada tidak cocok dengan kondisi nilai dan moral yang menjadi 
heritage kita sejak lama. Kita dapat mencontoh bagaima jepang bisa bangkit sedemian rupa dan membentuk masyarakat yang terdidik (
knowledged society)
  yang terlahir dari sifat dan sikap sederhana dan akhirnya membentuk  
menjadi Negara adidaya dengan sumber kekayaan alam yang sedikit.
Di
  Jepang, fenomena “malu” yang telah mendarah daging dalam sikap dan  
budaya masyarakat Jepang ternyata membawa implikasi yang sangat luas  
dalam berbagai bidang kehidupan. Dapat dicermati bahwa di Jepang  
sebenarnya banyak hal baik lain terbentuk dari sikap malu ini, termasuk 
 didalamnya masalah penghormatan terhadap HAM, masalah 
law enforcement,
  masalah kebersihan moral aparat, dsb. Orang Jepang lebih senang 
memilih  memakai jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di 
belakangnya  dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana 
taatnya mereka  untuk menunggu lampu traffic light menjadi hijau, 
meskipun di jalan itu  sudah tidak ada kendaraan yang lewat lagi. 
Bagaimana mereka secara  otomatis langsung membentuk antrian dalam 
setiap keadaan yang  membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke 
stadion untuk nonton  sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai 
toilet umum di  stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. 
Mereka malu  terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan 
ataupun norma  yang sudah menjadi kesepakatan umum. Pemimpin yang 
terindikasi korupsi  dan karena malu terhadap sanksi sosial yang mereka 
hadapi, akhirnya  bunuh diri untuk menutupi rasa malu mereka.
Contoh
 kedua adalah  sikap anti-konsumerisme; bagaimana orang Jepang 
berprinsip sangat  “ekonomis” dalam masalah perbelanjaan rumah tangga. 
Sikap anti  konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang 
kehidupan. Di  sana, banyak orang ramai antri untuk belanja di 
supermarket pada sekitar  pukul 19:30. Ternyata, sudah menjadi hal yang 
biasa bahwa supermarket  di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya
 pada waktu sekitar  setengah jam sebelum tutup karena supermarket di 
Jepang rata-rata tutup  pada pukul 20:00. Sikap ekonomis para ibu rumah 
tangga yang rela naik  sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, 
hanya karena lebih murah  10 atau 20 yen juga menjadi contoh menarik. 
Juga, bagaimana orang Jepang  lebih memilih naik 
Densha (kereta listrik) swasta daripada densha milik negeri, karena untuk daerah Tokyo dan sekitarnya ternyata 
Densha swasta lebih murah daripada milik negeri.
Dalam hal “sopan santun dan menghormati orang lain,” masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya untuk mengatakan 
gomennasai
  (maaf) dalam setiap kondisi yang tidak mengenakkan atau merugikan 
orang  lain. Kalau kita berjalan tergesa-gesa dan menabrak orang Jepang,
  sebelum kita sempat mengatakan maaf, orang Jepang dengan cepat akan  
mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga apabila kita bertabrakan  
sepeda dengan mereka. Tidak peduli siapa yang sebenarnya pada pihak yang
  salah, mereka akan secara refleks mengucapkan 
gomennasai (maaf).
Pembentukan
  manusia yang bermoralitas tinggi merupakan hasil akhir dari inti  
Pendidikan Agama manapun yang berfungsi sebagai wahana. Kalau di Islam, 
 moral atau akhlak tidak dapat dipisahkan dari keimanan. Akhlak tidak  
akan terpisah dari keimanan, dalam al-Qur'an juga sering dijelaskan  
bahwa setelah ada pernyataan “orang-orang yang beriman,” maka langsung  
diikuti oleh “beramal saleh.” Dengan kata lain amal saleh sebagai  
manifestasi dari akhlak merupakan perwujudan dari keimanan seseorang.  
Pemahaman moralitas dalam bahasa aslinya dikenal dengan dua istilah  
yaitu 
al-akhlaq al-karimah dan 
al-akhlaq al-mahmudah. 
 Keduanya memiliki pemahaman yang sama yaitu akhlak yang terpuji dan  
mulia, semua perilaku baik, terpuji, dan mulia yang diridlai Allah.  
Nilai-nilai universal seperti ini sebetulnya ada dalam tiap agama di  
Indonesia.
Hal yang penting dari pemahaman yang baik terhadap  
nilai maupun moral adalah penghayatan dan inilah sebetulnya yang harus  
menjadi ukuran keberhasilan pendidikan agama di Indonesia. Penghayatan  
terhadap sesuatu berarti menjadikannya bagian dari kepribadiannya,  
menyatu, dan tidak terpisahkan lagi. Jadi menghayati moralitas berarti  
semua bentuk moralitas yang telah diketahui itu masuk menjadi bagian  
dari pribadi dan tidak terpisahkan lagi. Akibat selanjutnya adalah  
pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap akan dipengaruhi oleh  
sesuatu yang telah dihayati itu. Memang, perihal penghayatan ini bukan  
masalah sederhana karena tergantung dari proses kejiwaan dan proses  
pendidikan.
Representasi umum dari institusi pendidikan agama  
sebagai contoh kita bisa angkat satuan pendidikan yang berada di naungan
  dua ormas besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.  
Nahdlatul terkenal dengan Lembaga Pendidikan Ma’rif sedangkan  
Muhammadiyah terkenal dengan Majelis Pendidikannya. Dua ormas ini sarat 
 dengan nilai dan moral dalam mengeksekusi satuan pendidikannya. Satuan 
 pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah dalam sejarahnya memang lebih  
beruntung dibandingkan dengan LP Ma’arif NU dapat dikategorikan maju  
dalam beberapa hal. Sedangkan LP Ma’arif secara kasat mata masih terus  
melakukan perbaikan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan mereka.
  Perhatian khusus terhadap nilai dan moral bagi keduanya adalah harga  
mati bagi pelaksanaan pembentukan karakter anak didik sekolah.
Lembaga
  Pendidikan Ma’arif NU saat ini masih berkutat dalam hal penataan pola 
 interaksi dengan satuan pendidikannya; penataan berbasis organisatoris 
 dan penataan berbasis nilai. Penataan secara organisatoris memang  
penting guna meningkatkan kualitas satuan pendidikan contohnya secara  
manejerial. Di sisi lain, secara sosiologis, masyarakat masih tetap  
percaya pada satuan pendidikan NU meskipun dalam kondisi manejerial  
tidak mengikuti induk organisasi. Kenapa hal ini terjadi?. Masyarakat  
pada umunya masih percaya dan membutuhkan model pendidikan bermutu yang 
 lebih menitikberatkan pendidikan nilai agama seperti Ma’arif NU dengan 
 pemahaman agama yang damai, moderat dan toleran tanpa perlu  
mempertanyakan bentuk afiliasi organisatoris. Afiliasi terjadi pada  
ikatan nilai karena diyakini madrasah (atau pesantren pada umunya)  
memegang teguh pada prinsip agama yang dibawa tokoh NU. Fenomena ini  
menarik karena kesatuan atas kesamaan moral dan nilai inilah yang  
berfungsi sebagai pengendali arah satuan pendidikan di lingkungan NU.
Sudah
  tegas disebutkan di  BAB XIII perihal PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, Pasal
  31 menyebutkan bahwa: 1. Setiap warga negara berhak mendapat 
pendidikan,  2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
 pemerintah  wajib membiayainya, 3. Pemerintah mengusahakan dan 
menyelenggarakan satu  sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan 
keimanan dan ketakwaan  serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan 
kehidupan bangsa, yang  diatur dengan undang-undang, 4. Negara 
memprioritaskan anggaran  pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
 dari anggaran pendapatan  dan belanja negara serta dari anggaran 
pendapatan dan belanja daerah  untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan 
pendidikan nasional, 5.  Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan 
teknologi dengan menunjang  tinggi nilai-nilai agama dan persatuan 
bangsa untuk kemajuan peradaban  serta kesejahteraan umat manusia.
Oleh
 karena itu, seharusnya  dalam mencerdaskan kehidupan bangsa harus 
berdasarkan sistem nilai dan  moral atau spiritualisme-religius 
(keimanan dan takwa), bukan berpijak  pada pendekatan 
matelisme-kapitalis. Pemerintah jangan takut dengan  argumentasi yang 
didengungkan pihak barat bahwa pendidikan berbasis  keagamaan (nilai dan
 moral) akan menimbulkan sikap fanatisme keagamaan  masarakat secara 
umum. Kita harus berpulang kembali kepada warisan lokal  dan budaya 
lokal yang sudah mendarah daging dalam karakter bangsa kita  ini.
Argumentasi
 untuk membentuk semacam konsep pendidikan  nasional secara terpadu 
sangat baik secara substantip. Pemikiran ini  didasarkan atas beberapa 
pemikiran, di antaranya adalah adanya dikotomi  antara dunia pendidikan 
dengan dunia industri yang seharusnya tidak  terjadi, tidak adanya visi 
ideologis, budaya, politik pendidikan,  ekonomi dan politik yang 
berpihak pemberdayaan manusia Indonesia itu  sendiri, intensifikasi 
konsep pendidikan terpadu secara kelembagaan,  dibutuhkannya 
political will pemerintah
 yang memberikan  kepercayaan penuh kepada masyarakat sebagai pengelola 
pendidikan, dan  perombakan secara menyeluruh sistem pendidikan secara 
legal standing agar
  penyelewengan tidak akan terjadi di sub sistem yang ada. Akan tetapi, 
 jika diintensifikasi melalui kelembagaan satu payung, pertanyaan yang  
muncul adalah apakah kita siap dengan aspek politis yang siap intervensi
  di jalur pendidikan ini?. Bisakah terciptanya suatu simbiosis  
mutualisme antara banyaknya lembaga pendidikan yang berlindung atau  
didirikan oleh beberapa departemen, misalnya Kementerian Pertahanan  
memiliki Akabri, Polri dengan Akpol dan sebagainya; Kementerian Agama  
memiliki lembaga pendidikan agama, Kementerian Keuangan memiliki lembaga
  pendidikan STAN, Kementerian Dalam Negeri memiliki lembaga pendidikan 
 APMD dan sebagainya?. Meskipun pemikiran pendirian tersebut di satu 
sisi  adalah untuk pemberdayaan sumber daya manusia masing-masing 
departemen,  namun ada analisis lain yaitu sebagai lahan untuk mendapat 
anggaran  lebih besar karena lembaga-lembaga pendidikan di masing-masing
  departemen merupakan sumber proposal proyek yang sangat strategis.
Berdasarkan
  contoh di atas, pemahaman dan implementasi yang baik secara 
fungsional,  substansial, operasional, dan mekanikal ketiga institusi 
dan pentingnya  relasi hubungan berdasarkan nilai dan moral tadi 
merupakan modal  penting tidak hanya untuk mengembangkan pendidikan 
agama secara khusus  tetapi juga pendidikan umum. Penguatan landasan 
spiritualisme-religius  di dalam segala aspek pendidikan agama bisa 
dijadikan ujung tombak
 (
spearhead)
 guna  
menciptakan peradaban manusia Indonesia yang dapat dibanggakan dan  
dapat dijadikan contoh sebagai proses dematerialisasi sistem pendidikan 
 nasional secara umum.  
 
 
Ditulis oleh M Kholis  
Hamdy sebagai syarat peserta Workshop Strategi Pengembangangan  
Pendidikan Islam di Hotel Batavia oleh Shihabuddin Institute, 3-4  
Februari 2011, utusan dari Yayasana Taman Pendidikan Islam Darul Ulum,  
Baureno, Bojonegoro, Jawa timur.
 
Sumber Bacaan:
Ahmadi, A. 
Pendidikan dari Masa ke Masa, (Bandung: Cetakan Pertama, CV Armico), 1987.
Gerakan 
Di Zi Gui, Budi Pekerti, tanpa nama penulis, penerbit dan tahun.
Standar
  Nasional Pendidikan; PP RI no. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional 
 Pendidikan dilengakapi dengan penjelasan, tanpa nama penulis, penerbit 
 dan tahun.
Jurnal Ma’arif; Pemberdayaan Masyarakat & Pendidikan Edisi XII tahun 2009, (Jakarta, LP Ma’arif NU).
Dawam, Ainurrofiq, DR. MA, 
Pendidikan Islam Indonesia Kini, http://www.ditpertais.net/swara/warta17-01.asp, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.30.
Rami Satria Wahono, 
Belajar Dari Jepang Membentuk Komunitas Terdidik, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Belajar+Dari+Jepang+Membentuk+Komunitas+Terdidik&&nomorurut_artikel=197, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.35.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 
http://ibau.bappenas.go.id/data/peraturan/Undang-Undang%20Dasar/UUD%2045.pdf, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.40.
Suryan, S.Pd.I, 
Relasi Pendidikan Dengan Modernisasi, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=RELASI+PENDIDIKAN+DENGAN+MODERNISASI&&nomorurut_artikel=465, diakses pada tanggal 1 Februari 2011, pukul. 10.35.
Muliani, 
Masalah Pendidikan di Indonesia, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah+Pendidikan+di+Indonesia&&nomorurut_artikel=364, diakses pada tanggal 1 Februari 2011, pukul. 10.40.