“Knowledge is power, and character is more”
Apa
yang ada dalam pikiran kita ketika memandang kondisi bangsa kita ini
secara umum baik berdasarkan pengalaman empirik keseharian dengan
kacamata peran dan fungsi kita di tatanan masyarakat baik secara mikro
maupun makro, maupun berdasarkan media massa yang setiap hari kita
dicekoki dengan berita-berita yang sebagian besar bernuansa negative?.
Respon yang biasanya muncul, secara pribadi, akan berupa rentetan
pertanyaan pula semisal; apa masalah sebenarnya dari bangsa kita?
mengapa ini harus terjadi? Kekayaan alam apa yang sebenarnya tidak kita
miliki untuk membangun bangsa yang berperadaban dan patut dibanggakan,
dsb. Pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya akan melahirkan
jawaban-jawaban personal yang kita yakini sebagai jawaban kita sendiri
untuk permasalahan yang ada. Dilihat dari perspektif ekonomi, produk (
output)
suatu jasa atau barang tergantung dari faktor produksi seperti modal,
tanah dan tenaga kerja. Kesediaan dan manejemen yang baik dari faktor
produksi tersebut akan melahirkan produk barang atau jasa yang baik
pula. Jika kita asumsikan, sebagai manusia, adalah
output, sumber dan faktor produksi apa saja yang membentuk kita seperti sekarang ini?.
Secara
umum, setidaknya ada empat hal yang membentuk manusia hingga mencapai
kemampuan maksimal: 1. Rumah, 2. Pendidikan, 3. Lingkungan, 4.
Pengalaman keseharian. Dari keempat hal tersebut dapat dikategorikan
menjadi dua kelompok berdasarkan sumber produksi yang bersifat bentukan
primer (
primary engineered) dan sumber produksi bentukan sekunder (
secunder-engineered).
Dua hal pertama termasuk dalam kategori bentukan primer karena
sifatnya yang terkonsentrasi dan dua hal terakhir masuk dalam kategori
sekunder karena lebih kompleks. Faktor produksi bisa direpresentasikan
dengan SDM (peserta didik dan pendidik), modal (anggaran pemerintah
untuk pendidikan, tanah (infrastruktur) dan manejemen dari faktor
produksi tersebut. Satu aspek yang menjadi sangat perhatian baik secara
mikro (individu),
mezzo (komunitas), makro (pemerintah)
adalah pendidikan. Pendidikan terkadang selalu menjadi alasan biang
keladi dari output (SDM; manusia) yang tidak sesuai harapan.
Pendidikan
berfungsi menyiapkan sumber daya manusia untuk membangun peradaban.
Apa jadinya bila peradaban yang baik tidak dibarengi dengan usaha
pengembangan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik,
tetapi apa gunanya bila tidak memberikan sumbangsih secara moral, pasti
akan berdampak pada degrasi karakter bangsa yang terpuruk seperti
sekarang ini. Jika kita ingin membangun masa depan pendidikan Indonesia
yang lebih baik lagi ada baiknya kita harus kembali ke “akar” dari
skema pendidikan yang telah digariskan oleh Undang-Undang 45 dan nilai
lokal (
indigenous values). Akar ini harus selalu berfungsi
sebagai landasan gerak arah pemgembangan pendidikan di Indonesia;
khususnya pendidikan agama. Penekanan ini sebenarnya sudah ditegaskan
dalam UUD 45 Amandemen ke-4. Faktor dominan dalam konstitusi kita
terkait sistem pendikan nasional adalah pendidikan nilai dan moral;
agama.
Dilihat dari perspektif sejarah, Pendidikan agama yang
dalam hal ini dapat diwakili oleh pendidikan meunasah atau dayah,
surau, dan pesantren diyakini sebagai salah satu pendidikan tertua di
Indonesia. Pendidikan ketiga institusi di atas memiliki nama yang
berbeda, akan tetapi memiliki pemahaman yang sama baik secara
fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal. Secara fungsional
trilogi sistem pendidikan terebut dijadikan sebagai wadah untuk
menggembleng mental dan moral di samping wawasan kepada para pemuda dan
anak-anak untuk dipersiapkan menjadi manusia yang berguna bagi agama,
masyarakat, dan negara. Secara substansial dapat dikatakan bahwa
trilogi sistem pendidikan tersebut merupakan panggilan jiwa spiritual
dan religius dari para tengku, buya, dan kyai yang tidak didasari oleh
motif materiil, akan tetapi murni sebagai pengabdian kepada Tuhan dan
masyarakat. Secara operasioanal trilogi sistem pendidikan tersebut
muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai kebijakan, proyek
apalagi perintah dari para sultan, raja, atau penguasa. Secara
mekanikal bisa dipahami dari hasil pelacakan historis bahwa trilogi
sistem pendidikan di atas tumbuh secara alamiah dan memiliki anak-anak
cabang yang dari satu induk mengembang ke pelbagai lokasi akan tetapi
masih ada ikatan yang kuat secara emosional, intelektual, dan kultural
dari induknya.
Sejarah pendidikan Indonesia mencatat pertarungan
sengit antara mainstream pendidikan yang disebut modern yang diciptakan
penjajah dengan mainstream pendidikan tradisional asli pribumi. Sejak
itulah aspek ideologi manusia sebagai pribumi terjadi perubahan untuk
mengikuti ideologi materialisme-kapitalis beralih dari ideologi
spiritualisme-religius. Ideologi bentukan penjajah jelas merupakan
keluaran mental dari sistem moral yang dianut penjajah yang tentunya
merambah ranah politik dan ekonomi pula. Ukuran moral
a la barat
seseorang dianggap baik dan bermoral ketika sesuatu itu bermanfaat dan
berguna secara materiil. Seseorang dikatakan kurang moralitas dan
nilainya di hadapan masyarakat ketika seseorang itu tidak mampu
memberikan manfaat dan kegunaan secara materiil. Orang yang dianggap
berhasil dan bermoral adalah ketika seseorang yang telah memiliki
jabatan, kekayaan, dan harta lebih dari orang tuanya.
Meskipun
pendidikan tradisional (pribumi) mendapat angin segar ketika Jepang
datang ke Indonesia, pertarungan dimenangkan oleh pendekatan yang
pertama nampaknya terjadi kompromi di antara
founding fathers
Negara Indonesia ini dan ditenggarai dengan didirikannya departemen
agama di tahun 1948 untuk mengakomodir aspirasi mayoritas umat Islam
Indonesia dan berlangsung hingga jaman orde baru dan sekarang. Sejarah
mencatat perlakuan tidak seimbang antara dua mainstream ini oleh
pemerintah. Walaupun kondisi sekarang sudah membaik, ketertinggalan
sistem pendidikan agama masih terasa di segala lini hingga saat ini.
Materialisasi
pendidikan yang dimaksud di sini adalah sebuah proses menjadikan semua
bernilai materi di segala sendi sistem pendidikan Indonesia, termasuk
pendidikan Agama. Sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi
pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi
juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah
mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang diharapkan dari
proses pendidikan tersebut. Contohnya dalam hal kurikulum pendidikan
misalnya diarahkan kepada kurikulum yang memberikan bekal kepada peserta
didik untuk mampu mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan
yang besar. Kurikulum tersebut dirancang sedemikian rupa dan untuk
mengikutinya harus mengeluarkan uang sangat sangat besar. Jika dalam
proses memperolehnya harus mengeluarkan dana yang besar, maka dapat
dibayangkan setelah memperoleh pengetahuan tersebut. Peserta didik yang
telah selesai akan menggunakan pengetahuan tersebut untuk mengembalikan
modal dan tentu berupaya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya.
Karena memang teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi
di masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal
yang akan dipetik keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan
untuk menjadikan manusia yang utuh dengan menggunakan prinsip ekonomi
tidak akan mengenal nilai-nilai spiritual, moralitas, kebersamaan.
Dalam
aspek pendidik misalnya banyak sekali praktek dan perilaku penididik
yang menjual nilai untuk mendapatkan uang. Bahkan ada sebagian pendidik
yang menjadikan kewenangannya untuk memberikan nilai kepada peserta
didik demi mendapatkan pendapatan dari peserta didiknya sendiri. Praktik
pelanggaran moralitas tinggi justru sudah diajarkan oleh para pendidik
kepada peserta didik dengan berbagai praktik dan modus operandi dalam
proses pengajaran dan ujian, salah satunya adalah modus di atas.
Peserta
didik sebagai korban dari sistem dan proses pendidikan yang akibatnya
adanya reduksi makna dari pendidikan menjadi sekedar penyampaian
pengetahuan (
transfer of knowledges), pada saat itulah peserta
didik telah diberi pelajaran yang sangat luar biasa pengaruhnya dalam
kehidupannya kelak. Peserta didik yang sudah berpengalaman, misalnya
mahasiswa S1 atau S2 dan bahkan S3 yang telah memahmi praktik-praktik
demikian ini dan tidak mau memperhatikan nilai-nilai moralitas akan
melakukan praktik-praktik asal bisa lulus dan selesai. Jual beli nilai,
jual beli gelar, dan jual beli karya ilmiah adalah suatu fakta tak
terelakkan yang menunjukkan betapa rendah mental dan moralitas para
peserta didik.
Orientasi manajemen pendidikan yang salah dilihat
dari praktik munculnya kebanggaan semua pihak baik pengelola, pendidik,
peserta didik, dan wali akan megahnya gedung dan kampus dimana mereka
berada dan ikut andil di dalamnya. Kemegahan gedung kampus dan sekolah
menjadi tolok ukur majunya sebuah lembaga pendidikan. Jika orientasi
kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi ukuran kemajuan sebuah
pendidikan, maka dapat dibayangkan orientasi pendidikannya.
Materialisasi
pada aspek lingkungan pendidikan di sini dipahami sebagai masyarakat
yang berada di sekitar pendidikan atau dengan kata lain adalah
masyarakat Indonesia sendiri. Arus modernisasi secara bombastik
mengakibatkan pergeseran karakter masyaraka secara luar biasa.
Pergeseran tersebut mencakup pergeseran orientasi kehidupan, pergeseran
budaya, pergeseran gaya hidup, pergeseran pandangan hidup, pergeseran
pertilaku politik, pergeseran perilaku ekonomi, dan pergeseran terhadap
ajaran agama dan ironisnya salah satu penyebab kemunduran moral bangsa
melalui pendidikan.
Materialisasi pendidikan adalah upaya
mencapai tujuan pendidikan nasioanl maupun pendidikan Islam dengan
ukuran kuantitatif; berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa
yang telah menjadi pengacara, berapa yang telah menjadi pejabat tinggi,
berapa alumni yang telag menjadi dewan. Dengan melihat jumlah alumni
yang telah menduduki jabatan apapun akan dapat dipredikisikan
penghasilan mereka. Perhitungan jumlah alumni yang telah menjadi
manusia bermoral, berapa alumni yang telah memberikan kesadaran
masyarakat akan arti pentingnya persaudaraan, berapa alumni yang telah
mampu memberikan pelayanan gratis kepada masyarakat tanpa pamrih
apapun, berapa alumni yang telah benar-benar melaksanakan tujuan
pendidikannya yaitu menjadi manusia seutuhnya jarang atau hampir tidak
ada. Manusia seutuhnya di sini berarti secara jamsani dan ruhani,
secara material dan spiritual, dan secara fisik dan mental, serta
secara intelektual dan moral telah terjadi keseimbangan yang nyata.
Untuk
memahami arah kebijakan pembangunan pendidikan, mari kita merunut GBHN
1994-2004 dan UU Sisdiknas tahun 2005. Isi dari kebijakan tersebut ada
delapan point, namun ketiga point di bawah dapat mewakili delapan
point kebijakan sebagai berikut:
- Mengupayakan perluasan dan
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi
bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia
yang berkualitas tinggi dan peningkatan anggaran pendidikan
secara berarti;
- Meningkatkan kemampuan akademik dan
professional serta menigkatkan jaminan kesejahteraan tenaga
kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara
optimal, terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi
pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga tenaga
kependidikan; dan
- Melakukan pembaharuan sistem pendidikan
termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk
melayani keberagaman peserta didik. Penyusunan kurikulum yang
berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat,
secara deversifikasi jenis pendidikan secara frofesional.
Dari
penjelasn tiga poin kebijakan itu, dapat disimpulkan bahwa arah
kebijakan pembangunan pendidikan menurut GBHN tersebut adalah untuk
mengupayakan pendidikan nasional yang bermutu demi kemaslahatan bangsa.
Selain itu, arah kebijakan tersebut bertujuan untuk memudahkan dan
mensetarakan pendidikan yang berwatak dan berbudi pekerti.
Jika melihat
Undang-Undang Sisdiknas tentang Paradigma Baru Pendidikan Nasional tanggal 11 Juni 2003, dapat dipetik point-point yang diarahkan sebagai sasaran pendidikan, yaitu;
1.
Tentang demokrasi dan desentralisasi (otonomi daerah) tercantum
dalam bab tiga tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4)
disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan junjungan tinggi hak
azazi manusia… dts (ayat 1). Adanya desentralisasi menjadikan pendanaan
pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah pusat,
daerah, dan masyarakat
(pasal 46 ayat 1).
- Peran
serta masyarakat, demokratisasi penyelenggaraan pendidikan harus
mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi
masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan,
kelompok, keluarga, oraganisasi profesi, dan organisasi
kemasyrakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan (pasal 54 ayat 1).
- Tantangan global yang melanda dunia yang mengharuskan pendidikan bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3).
Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan formal,
baik pendidikan yang didirikan pemerintah maupun masyarakat.
- Kesetaraan dan keseimbangan antara pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan masyarakat.
- Jalur formal, nonformal, dan informal, dengan meniadakan istilah jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
- Peserta
didik, dengan menempatkan mereka sebagai subyek pendidikan. Hal
ini menunjukkan keberpihakan Undang-Undang Sisdiknas kepada peserta
didik terutama kepada peserta didik yang tidak mampu secara
ekonomi.
Jika kita perhatikan, apa yang digariskan dalam UUD
45 (di bawah) dan disambungkan dengan apa yang termaktub dalam GBHN
dan undang-undang Sisdiknas, terjadi adanya degradasi penekanan atas
pentingnya moral dan nilai dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan
memang menjadi varibel penting dalam urusan demokratisasi dan
desentralisasi, akan tetapi, kita pahami bahwa desentralisi yang kita
lakukan sekarang ini sangat tidak efektif dan cenderung mubadzir karena
harus menghabiskan dana besar yang seharusnya bisa dialokasikan ke
ranah pendidikan. Terlebih, tiap daerah di Indonesia mempunyai karakter
dan potensi yang berbeda untuk menyokong pendidikan secara baik.
Oleh karena itu, Kementerian Agama dalam hal ini dapat menjadi sebuah garda terdepan guna mendorong kembali
mainstream moral dan nilai dalam sistem pendidikan Indonesia. Bangsa Indonesia harus kembali berbasis
spiritualisme-religius dalam gerakan pendidikan agama karena bangunan sistem yang ada tidak cocok dengan kondisi nilai dan moral yang menjadi
heritage kita sejak lama. Kita dapat mencontoh bagaima jepang bisa bangkit sedemian rupa dan membentuk masyarakat yang terdidik (
knowledged society)
yang terlahir dari sifat dan sikap sederhana dan akhirnya membentuk
menjadi Negara adidaya dengan sumber kekayaan alam yang sedikit.
Di
Jepang, fenomena “malu” yang telah mendarah daging dalam sikap dan
budaya masyarakat Jepang ternyata membawa implikasi yang sangat luas
dalam berbagai bidang kehidupan. Dapat dicermati bahwa di Jepang
sebenarnya banyak hal baik lain terbentuk dari sikap malu ini, termasuk
didalamnya masalah penghormatan terhadap HAM, masalah
law enforcement,
masalah kebersihan moral aparat, dsb. Orang Jepang lebih senang
memilih memakai jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di
belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana
taatnya mereka untuk menunggu lampu traffic light menjadi hijau,
meskipun di jalan itu sudah tidak ada kendaraan yang lewat lagi.
Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam
setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke
stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai
toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran.
Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan
ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum. Pemimpin yang
terindikasi korupsi dan karena malu terhadap sanksi sosial yang mereka
hadapi, akhirnya bunuh diri untuk menutupi rasa malu mereka.
Contoh
kedua adalah sikap anti-konsumerisme; bagaimana orang Jepang
berprinsip sangat “ekonomis” dalam masalah perbelanjaan rumah tangga.
Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang
kehidupan. Di sana, banyak orang ramai antri untuk belanja di
supermarket pada sekitar pukul 19:30. Ternyata, sudah menjadi hal yang
biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya
pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup karena supermarket di
Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Sikap ekonomis para ibu rumah
tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah,
hanya karena lebih murah 10 atau 20 yen juga menjadi contoh menarik.
Juga, bagaimana orang Jepang lebih memilih naik
Densha (kereta listrik) swasta daripada densha milik negeri, karena untuk daerah Tokyo dan sekitarnya ternyata
Densha swasta lebih murah daripada milik negeri.
Dalam hal “sopan santun dan menghormati orang lain,” masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya untuk mengatakan
gomennasai
(maaf) dalam setiap kondisi yang tidak mengenakkan atau merugikan
orang lain. Kalau kita berjalan tergesa-gesa dan menabrak orang Jepang,
sebelum kita sempat mengatakan maaf, orang Jepang dengan cepat akan
mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga apabila kita bertabrakan
sepeda dengan mereka. Tidak peduli siapa yang sebenarnya pada pihak yang
salah, mereka akan secara refleks mengucapkan
gomennasai (maaf).
Pembentukan
manusia yang bermoralitas tinggi merupakan hasil akhir dari inti
Pendidikan Agama manapun yang berfungsi sebagai wahana. Kalau di Islam,
moral atau akhlak tidak dapat dipisahkan dari keimanan. Akhlak tidak
akan terpisah dari keimanan, dalam al-Qur'an juga sering dijelaskan
bahwa setelah ada pernyataan “orang-orang yang beriman,” maka langsung
diikuti oleh “beramal saleh.” Dengan kata lain amal saleh sebagai
manifestasi dari akhlak merupakan perwujudan dari keimanan seseorang.
Pemahaman moralitas dalam bahasa aslinya dikenal dengan dua istilah
yaitu
al-akhlaq al-karimah dan
al-akhlaq al-mahmudah.
Keduanya memiliki pemahaman yang sama yaitu akhlak yang terpuji dan
mulia, semua perilaku baik, terpuji, dan mulia yang diridlai Allah.
Nilai-nilai universal seperti ini sebetulnya ada dalam tiap agama di
Indonesia.
Hal yang penting dari pemahaman yang baik terhadap
nilai maupun moral adalah penghayatan dan inilah sebetulnya yang harus
menjadi ukuran keberhasilan pendidikan agama di Indonesia. Penghayatan
terhadap sesuatu berarti menjadikannya bagian dari kepribadiannya,
menyatu, dan tidak terpisahkan lagi. Jadi menghayati moralitas berarti
semua bentuk moralitas yang telah diketahui itu masuk menjadi bagian
dari pribadi dan tidak terpisahkan lagi. Akibat selanjutnya adalah
pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap akan dipengaruhi oleh
sesuatu yang telah dihayati itu. Memang, perihal penghayatan ini bukan
masalah sederhana karena tergantung dari proses kejiwaan dan proses
pendidikan.
Representasi umum dari institusi pendidikan agama
sebagai contoh kita bisa angkat satuan pendidikan yang berada di naungan
dua ormas besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Nahdlatul terkenal dengan Lembaga Pendidikan Ma’rif sedangkan
Muhammadiyah terkenal dengan Majelis Pendidikannya. Dua ormas ini sarat
dengan nilai dan moral dalam mengeksekusi satuan pendidikannya. Satuan
pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah dalam sejarahnya memang lebih
beruntung dibandingkan dengan LP Ma’arif NU dapat dikategorikan maju
dalam beberapa hal. Sedangkan LP Ma’arif secara kasat mata masih terus
melakukan perbaikan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan mereka.
Perhatian khusus terhadap nilai dan moral bagi keduanya adalah harga
mati bagi pelaksanaan pembentukan karakter anak didik sekolah.
Lembaga
Pendidikan Ma’arif NU saat ini masih berkutat dalam hal penataan pola
interaksi dengan satuan pendidikannya; penataan berbasis organisatoris
dan penataan berbasis nilai. Penataan secara organisatoris memang
penting guna meningkatkan kualitas satuan pendidikan contohnya secara
manejerial. Di sisi lain, secara sosiologis, masyarakat masih tetap
percaya pada satuan pendidikan NU meskipun dalam kondisi manejerial
tidak mengikuti induk organisasi. Kenapa hal ini terjadi?. Masyarakat
pada umunya masih percaya dan membutuhkan model pendidikan bermutu yang
lebih menitikberatkan pendidikan nilai agama seperti Ma’arif NU dengan
pemahaman agama yang damai, moderat dan toleran tanpa perlu
mempertanyakan bentuk afiliasi organisatoris. Afiliasi terjadi pada
ikatan nilai karena diyakini madrasah (atau pesantren pada umunya)
memegang teguh pada prinsip agama yang dibawa tokoh NU. Fenomena ini
menarik karena kesatuan atas kesamaan moral dan nilai inilah yang
berfungsi sebagai pengendali arah satuan pendidikan di lingkungan NU.
Sudah
tegas disebutkan di BAB XIII perihal PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, Pasal
31 menyebutkan bahwa: 1. Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan, 2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya, 3. Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang, 4. Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional, 5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Oleh
karena itu, seharusnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa harus
berdasarkan sistem nilai dan moral atau spiritualisme-religius
(keimanan dan takwa), bukan berpijak pada pendekatan
matelisme-kapitalis. Pemerintah jangan takut dengan argumentasi yang
didengungkan pihak barat bahwa pendidikan berbasis keagamaan (nilai dan
moral) akan menimbulkan sikap fanatisme keagamaan masarakat secara
umum. Kita harus berpulang kembali kepada warisan lokal dan budaya
lokal yang sudah mendarah daging dalam karakter bangsa kita ini.
Argumentasi
untuk membentuk semacam konsep pendidikan nasional secara terpadu
sangat baik secara substantip. Pemikiran ini didasarkan atas beberapa
pemikiran, di antaranya adalah adanya dikotomi antara dunia pendidikan
dengan dunia industri yang seharusnya tidak terjadi, tidak adanya visi
ideologis, budaya, politik pendidikan, ekonomi dan politik yang
berpihak pemberdayaan manusia Indonesia itu sendiri, intensifikasi
konsep pendidikan terpadu secara kelembagaan, dibutuhkannya
political will pemerintah
yang memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat sebagai pengelola
pendidikan, dan perombakan secara menyeluruh sistem pendidikan secara
legal standing agar
penyelewengan tidak akan terjadi di sub sistem yang ada. Akan tetapi,
jika diintensifikasi melalui kelembagaan satu payung, pertanyaan yang
muncul adalah apakah kita siap dengan aspek politis yang siap intervensi
di jalur pendidikan ini?. Bisakah terciptanya suatu simbiosis
mutualisme antara banyaknya lembaga pendidikan yang berlindung atau
didirikan oleh beberapa departemen, misalnya Kementerian Pertahanan
memiliki Akabri, Polri dengan Akpol dan sebagainya; Kementerian Agama
memiliki lembaga pendidikan agama, Kementerian Keuangan memiliki lembaga
pendidikan STAN, Kementerian Dalam Negeri memiliki lembaga pendidikan
APMD dan sebagainya?. Meskipun pemikiran pendirian tersebut di satu
sisi adalah untuk pemberdayaan sumber daya manusia masing-masing
departemen, namun ada analisis lain yaitu sebagai lahan untuk mendapat
anggaran lebih besar karena lembaga-lembaga pendidikan di masing-masing
departemen merupakan sumber proposal proyek yang sangat strategis.
Berdasarkan
contoh di atas, pemahaman dan implementasi yang baik secara
fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal ketiga institusi
dan pentingnya relasi hubungan berdasarkan nilai dan moral tadi
merupakan modal penting tidak hanya untuk mengembangkan pendidikan
agama secara khusus tetapi juga pendidikan umum. Penguatan landasan
spiritualisme-religius di dalam segala aspek pendidikan agama bisa
dijadikan ujung tombak
(
spearhead)
guna
menciptakan peradaban manusia Indonesia yang dapat dibanggakan dan
dapat dijadikan contoh sebagai proses dematerialisasi sistem pendidikan
nasional secara umum.
Ditulis oleh M Kholis
Hamdy sebagai syarat peserta Workshop Strategi Pengembangangan
Pendidikan Islam di Hotel Batavia oleh Shihabuddin Institute, 3-4
Februari 2011, utusan dari Yayasana Taman Pendidikan Islam Darul Ulum,
Baureno, Bojonegoro, Jawa timur.
Sumber Bacaan:
Ahmadi, A.
Pendidikan dari Masa ke Masa, (Bandung: Cetakan Pertama, CV Armico), 1987.
Gerakan
Di Zi Gui, Budi Pekerti, tanpa nama penulis, penerbit dan tahun.
Standar
Nasional Pendidikan; PP RI no. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan dilengakapi dengan penjelasan, tanpa nama penulis, penerbit
dan tahun.
Jurnal Ma’arif; Pemberdayaan Masyarakat & Pendidikan Edisi XII tahun 2009, (Jakarta, LP Ma’arif NU).
Dawam, Ainurrofiq, DR. MA,
Pendidikan Islam Indonesia Kini, http://www.ditpertais.net/swara/warta17-01.asp, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.30.
Rami Satria Wahono,
Belajar Dari Jepang Membentuk Komunitas Terdidik, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Belajar+Dari+Jepang+Membentuk+Komunitas+Terdidik&&nomorurut_artikel=197, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.35.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
http://ibau.bappenas.go.id/data/peraturan/Undang-Undang%20Dasar/UUD%2045.pdf, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.40.
Suryan, S.Pd.I,
Relasi Pendidikan Dengan Modernisasi, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=RELASI+PENDIDIKAN+DENGAN+MODERNISASI&&nomorurut_artikel=465, diakses pada tanggal 1 Februari 2011, pukul. 10.35.
Muliani,
Masalah Pendidikan di Indonesia, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah+Pendidikan+di+Indonesia&&nomorurut_artikel=364, diakses pada tanggal 1 Februari 2011, pukul. 10.40.