BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
perspektif hukum publik, negara adalah organisasi jabatan. Jabatan merupakan
suatu posisi kelembagaan dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk
waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang tertentu. Di antara
jabatan yang ada dalam negara maka terdapat juga apa yang disebut jabatan
pemerintahan. Sebagai organ pemerintahan, jabatan pemerintahan memiliki
wewenang dalam melakukan suatu tindakan atau perbuatan pemerintahan dan tidak
memiliki harta kekayaan sendiri. Ini dapat ditegaskan bahwa organ pemerintahan
itu merupakan bagian atau alat dari badan hukum menurut ketentuan hukum privat.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa jabatan tidaklah memiliki harta kekayaan,
namun sebagai organ yang merupakan bagian dari badan hukum pemerintahan maka
dalam pelaksanaan fungsi dan tugas jabatannya dapat menggunakan harta kekayaan
dari badan hukumnya. Namun, di dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan
harus didasarkan pada kewenangan yang diperoleh dari undang undang atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik secara atribusi, delegasi dan
mandat.[1]
Hukum administrasi dalam praktiknya menempati posisi dominan dalam penanganan tindak melawan hukum, oleh karena itu hakekat hukum administrasi adalah hukum yang berkaitan dengan wewenang pemerintah dan kontrol terhadap penggunaan wewenang yang tujuannya untuk melindungi individu atau masyarakat. Potensi penyalahgunaan wewenang semisal dalam bentuk maladministrasi dan Tindakan pidana seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan lain-lain dapat dilakukan oleh Penyelenggara Negara, antara Penyelenggara Negara dan Pihak lain baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertujuan untuk meraup atau mencuri uang negara, dengan cara menyalahgunakan kewenangan atau serta memanfaatkan kewenangan yang dipunya agar dapat menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang berujung pada kerugian negara atau kerugian perekonomian negara.[3]
Setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan, sehingga tidak serta merta harus melalui hukum pidana penyelesaiannya atau bisa dikatakan hukum pidana merupakan ultimum remedium. Secara yuridis pertanggung-jawaban terhadap penyalahgunaan wewenang yang melanggar hukum harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Hal tersebut harus sesuai dengan konsep hukum “geen bevoegdheid zonder verant woordelijkheid or there is no authority without responsibility” yang artinya tiada kewenangan tanpa tanggung jawab. Disamping itu, dalam hukum pidana menganut prinsip “personal responsibility” yang artinya tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. In casu dalam hal ini perlu dibedakan tanggung jawab menurut hukum administrasi dengan hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability responsibility), sedangkan dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi personal responsibility.[4]
Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) merupakan konsep hukum administrasi negara yang banyak menimbulkan salah paham dalam memaknainya. Dalam praktik detournement de pouvoir dicampur adukkan dengan perbuatan sewenang-wenang (willekeur/abus de droit), penyalahgunaan sarana dan kesempatan, melawan hukum (wederrechtelijkheid, onrechtmatigee daad) atau bahkan memperluasnya dengan setiap tindakan yang melanggar aturan atau kebijakan apa pun dan di bidang apa pun. Menggunakan konsep luas dan bebas ini akan mudah menjadi senjata penyalahgunaan wewenang yang lain dan justru kebebasan bertindak pemerintah dalam menghadapi situasi konkret (freies ermessen). Konsep detournement de pouvoiur sendiri dalam hukum administrasi tidak dimaknai sama oleh para ahli dan praktik penerapannya oleh peradilan administrasi dan pengadilan pidana (korupsi).[5] Akan tetapi, sebuah sebuah asas, tidak menyalahgunakan wewenang menjadi poin penting dalam penyelenggaraan negara.
Hal ini disebutkan pada pasal 10 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menguraikan ruag lingkup Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang berlaku dalam administrasi pemerintahan. Salah satu AUPB adalah tidak menyalahgunakan kewenangan. Asas ini mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribad atau kepentingan lain dan tidak sesuai dengan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencapuradukkan kewenangan.
Selain itu, di pasal yang sama, dengan ayat berbeda, asas pelayanan publik juga disebutkan sebagai salah satu AUPB yang menjadi orientasi dalam melakasanakan kewajiban atas wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya. kewajiban secara publik untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat sebagai perwujudan upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat.[6] Pelayanan publik merupakan salah satu kebutuhan yang mendasar bagi seluruh masyarakat. Namun di Indonesia penyelenggaraan pelayanan publik masih ditemukan pada kondisi dan fakta yang belum sesuai dengan kebutuhan serta perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat disebabkan oleh ketidaksiapan aparatur pemerintah di dalam menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta rendahnya kesadaran hukum pejabat publik, serta dampak dari berbagai masalah pembangunan yang kompleks.[7]
Dalam kerangka Hukum Administrasi Negara, salah satu norma yang mengatur kaitannya dengan administrasi negara adanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UU tentang Pelayanan Publik bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan publik selama ini telah menjadi ranah di mana negara diwakili oleh pemerintah berinteraksi langsung dengan pihak non pemerintah. Dalam ranah ini telah terjadi pergumulan yang sangat intensif antara pemerintah dengan warga, dan baik atau buruknya pelayanan publik sangat dirasakan oleh masyarakat.[8] Realitas yang ada selama ini menunjukan bahwa pelayanan yang seharusnya ditujukan kepada Masyarakat kadang dibalik menjadi pelayanan masyarakat terhadap negara.[9] Kondisi tersebut jelas telah menyimpangi tujuan didirikannya negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “...untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa...”. Amanat tersebut mengandung makna, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik (public service) yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas jasa publik, barang publik, dan pelayanan administratif.
Salah satu isntitusi yang memiliki kewenangan kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah adalah OMBUDSMAN Republik Indonesia (Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia).
Berdasarkan data Ombudsman jumlah kasus maladministrasi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Di tahun 2023, Ombudsman pusat dan kantor perwakilan secara keseluruhan enangani 26.461 kasus, mulai dari laporan masyarakat sebanyak 7.392, konsultasi non-laporan 15.348, respon cepat sebanyak 948, investigasi atas prakarsa sendiri 118, serta tembusan sebanyak 2.655 kasus. Pada tahun 2022, Ombudsman RI menerima 22.197 laporan masyarakat terdiri atas 88 investigasi atas prakarsa sendiri, 11.427 konsultasi non laporan, 6.767 laporan masyarakat, 1.437 respons cepat, dan 2.478 tembusan. Dari jumlah laporan masuk, sebanyak 7.356 tidak bisa dilanjutkan karena berbagai sebab, sehingga kasus yang ditangani sebanyak 14.841. Di tahun 2021, Ombudsman RI telah menerima Laporan/ Pengaduan Masyarakat terkait penyelenggaraan pelayanan publik sebanyak 7.186 laporan. Laporan tersebut terdiri dari 6.176 Laporan Reguler, 835 laporan Respon Cepat, dan 175 laporan Investigasi atas Prakarsa Sendiri. Selain laporan tersebut, Ombudsman RI menerima konsultasi yang merupakan non laporan yang meningkat sebesar 35,71% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat mulai memiliki kesadaran untuk lebih proaktif dalam menyampaikan permasalahan pelayanan publik yang dialami secara langsung oleh Pelapor, dengan terlebih dahulu meminta saran dari Ombudsman RI.
Berita terabkhir yang terkait penyalagunaan juga muncul di media massa, seperti: a. dipanggilnys KPK Soal LHKPN, Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Miliki Harta Rp6,3 Miliar, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi atau Bappebti yang telah melakukan malaadministrasi sehingga mengakibatkan kerugian Masyarakat, Kasus Antam versus Crazy Rich Surabaya serta posisi hukum emas yang diperoleh dengan cara tidak sesuai Standard Operating Procedure (SOP) dan Kerangka Acuan Kerja (KAK).
Oleh karena itu, menurut kami, kajian terkait hukum administrasi negara dengan dua sumber hukum materil yaitu Undang-Undang Hukum Administrasui Pemerintah dan Undang-Undang Pelayanan Publik sangat penting dan relevan bagi mahasiwa dan praktisi hukum.
B.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah tindakan penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Administrasi Negara dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009?
C.
TUJUAN
Untuk mengetahui dan memahami tindakan penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Administrasi Negara dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009.
BAB II
PEMBAHASAN
Mandat bersumber dari persoalan
wewenang, karena wewenang tetap berada pada mandans (pemberi mandat) sedangkan
mandataris (penerima wewenang) hanya dilimpahi wewenang bertindak untuk dan
atas nama mandans. Pada mandans tidak terjadi penyerahan wewenang, artinya
mandans tetap dapat bertindak sendiri atas namanya. Tidak adanya penyerahan
wewenang pada mandat maka yang bertanggung jawab secar yuridis tetap pada
mandans (pemberi wewenang). Atribusi wewenang pertanggungjawaban secara yuridis
oleh si penerima wewenang, tergantung pada si penerima wewenang melakukan
mandat atau delegasi. Jika yang dilakukan adalah pemberian mandat maka si
mandans (pemberi wewenang/penerima wewenang dalam atribusi) tetap bertanggung
jawab. Hal tersebut berbeda kalau dengan cara delegasi, maka pemberi wewenang
tidak bertanggung jawab, pertanggung jawaban sudah beralih pada delegatoris. Delegasi,
pekerjaan yang didelegasikan diserahkan sebagian atau seluruh wewenang kepada
penerima delegasi (delegatoris) untuk bertindak melaksanakan pekerjaan tersebut
atas namanya sendiri. Pada delegasi disertai dengan penyerahan wewenang, oleh
karenanya jika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh delegatoris maka yang
bertanggung jawab adalah delegatoris.[10]
Hal ini secara eksplisit disebutkan di UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan,
Pasal 11, 12 dan 13 dengan urutan atribusi, delegasi dan mandat dimana Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Atribusi,
tanggung jawab Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
bersangkutan (Pasal 12 ayat (2). Selain itu, kewenangan atribusi tidak dapat
didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang (Pasal 12 ayat (3)).[11]
Konsep wewenang dalam kajian hukum
khususnya hukum administrasi dan tindak pidana korupsi merupakan dua aspek
hukum yang saling terkait. Menurut tradisi ilmu hukum, titik taut “hukum
administrasi” berada di antara norma hukum pemerintahan dan hukum pidana, sehingga
dapat dikatakan sebagai “hukum antara”. Hukum pidana berisi norma-norma yang
begitu penting bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma
tersebut dapat ditegakkan sanksi pidana. Karena itu hampir setiap norma hukum
pemerintahan berdasarkan Hukum Administrasi diakhiri “In cauda venenum”
dengan sejumlah ketentuan pidana, secara harfiah In cauda venenum
berarti ada racun di ekor/buntut dalam setiap tindak kebijakan.[12]
Menurut Indriyanto Seno Adji (2006),
seperti dikutip oleh Yasser (2019), memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan
mengutip pendapat Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya detournement de
pouvoir dengan Freis Ermessen, penyalahgunaan wewenang dalam hukum
administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu:[13]
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk
melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk
menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan 2. Penyalahgunaan
kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan
untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut
diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya 3. Penyalahgunaan
kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur seharusnya dipergunakan untuk
mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar
terlaksana.
Dugaan penyalahgunaan wewenang jika
terjadi karena adanya pembatasan kewenangan yang diatur dalam pasal 15 ayat (1)
dan (2). Wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh a. masa
atau tenggang waktu Wewenang; b. wilayah atau daerah berlakunya Wewenang; dan
c. cakupan bidang atau materi Wewenang. Selain itu, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang telah berakhir masa atau tenggang waktu Wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dibenarkan mengambil Keputusan dan/atau
Tindakan.[14]
1. Yuridis (UU
Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan)
-
Undang-Undang
No. 30 tahun 2014 tidak memberikan pejelasan yang eksplisit tentang
penyalahgunaan wewenang, akan tetapi memberikan bentuk larangan penyalahgunaan
wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi pemerintahan, menyebutkan:
1)
Badan
dan/atau Pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang; dan
2)
Larangan
penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a)
Larangan
melampaui wewenang;
b)
Larangan
mencampuradukkan wewenang; dan
c) Larangan bertindak sewenang-wenang (Kemenkumham RI).
-
Pasal
18 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi pemerintahan,
menyebutkan;
1)
Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan
yang dilakukan:
a)
Melampaui
masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
b)
Melampaui
batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
c) Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
2)
Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang
sebagaimana dimaksdu dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau
Tindakan yang dilakukan:
a)
Di
luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau;
b) Bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.
3)
Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau
Tindakan yang dilakukan:
a)
Tanpa
dasar Kewenangan; dan atau
b) Bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Selanjutnya.
-
Pasal
19 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi pemerintahan,
menyebutkan:
1)
Keputusan
dan/atau Tindakan yang dietapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenag
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1)
serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara
sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan Pasal
18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap;
2) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 18 ayat (2) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
-
Di dalam Pasal 21
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 disebutkan bahwa;
1)
Pengadilan berwewenang
menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pejabat Pemerintah;
2)
Badan dan/atau
Pejabat Pemeritah dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai
ada atau tidak ada unsur Penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan / atau
Tindakan;
3)
Pengadilan wajib memutus
permohoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 21 hari kerja sejak
permohonan diajukan;
4)
Terhadap putusan
pengadilan sebagaimana dimaksdu pada ayat (3) dapat diajukan banding ke
pengadilan tinggi tata usaha negara;
5)
Pengadilan tinggi
tatausaha negara wajib memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) paling lama 21 hari kerja sejak permohonan banding diajukan;
6) Putusan pengadilan tinggi tata usaha negara sebagaimna dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mengikat.
- Konteks Pidana dalam hal ini diartikan sebagai keseluruhan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana atau muatan tentang pidana. Untuk mengetahui kepada siapa yang harus bertanggung jawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Hal tersebut sesuai dengan konsep hukum “geen bevoegheid zonder verantwoordelijkheid atau there is not authority without responsilibility” (tidak ada kewenangan tanpa tanggung jawab). Setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.[15]
- Tidak mungkin ada Tindak Pidana Korupsi tanpa adanya Kerugian Negara, akan tetapi sumber dari lahirnya Korupsi atau dalam arti lain Kerugian Negara bersumber dari Penyalahgunaan Wewenang atau Menyalahgunakan Kewenangan. Oleh karena itu, Hukum administrasi memiliki peran penting dan strategis dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam menentukan terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance), bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) merupakan konsep hukum administrasi negara yang banyak menimbulkan salah paham dalam memaknainya, dikarenakan tidak adanya kesatuan kepahaman di antara Ahli Hukum, Penegak Hukum dan Pemerintah dalam memaknai tentang penyalahgunaan wewenang pada hukum administrasi negara dan hukum pidana korupsi, dalam konteks pejabat publik dimana wewenang merupakan suatu hal mutlak untuk membawa atau menduga sesorang telah melakukan tindak pidana korupsi dengan terlebih dahulu melakukan pengujian kewenangan seseorang tersebut melalui Peradilan.[16]
- Perihal penyalahgunaan wewenang terkait dengan sengketa kewenangan yang menimbulkan kerugian keuangan negara, aset negara, dan/atau lingkungan hidup, sengketa tersebut diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 16 ayat (4). Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah.
- Hasil
pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada
pengawasan pasal 17 dan 18 berupa:
a.
tidak
terdapat kesalahan;
b.
terdapat
kesalahan administratif; atau
c. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif, dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan, dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan. Pengembalian kerugian negara sebagaimana terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara dibebankan kepada Badan Pemerintahan, apabila kesalahan administratif menimbulkan kerugian keuangan negara terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan Wewenang. Namun, jika ada unsur penyalahgunaan wewenang berdasarkan kesalahan administratif yang merugikan negara, pengembalian kerugian negara dibebankan kepada Pejabat Pemerintahan.
- Hal ini menunjukkan bahwa pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. Selain itu, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan, salah satu contohnya adalah Ombudsman RI.
Berdasarkan
ketentuan Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, Pasal 2 menyebutkan:
1)
Pengadilan
berwenang menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penilaian ada tau tidak
ada penyalahgunaan wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat
Pemerintahan sebelum adanya proses pidana; dan
2) Pengadilan baru berwenang menerima, memeriksa, dan memutus permohonan sebagaimana pada ayat (1) setelah adanya hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah. Sehingga untuk melakukan pengujian penyalahgunaan wewenang atau penilaian unsur penyalahgunaan wewenang harus dilakukan pada Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Jo. Pasal 1 angka 8 Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2015, sehingga jelas dan terang bahwsanya domaian untuk menguji penyalahgunaan wewenang ada pada Peradilan Tata Usaha Negara dan pengujian penyalahgunaan wewenang atau penilaian unsur penyalahgunaan wewenang dilakukan sebelum adanya proses pidana.
- Konteks Pidana dalam hal ini (Hukum Administrasi) diartikan sebagai keseluruhan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana atau muatan tentang pidana. Untuk mengetahui kepada siapa yang harus bertanggung jawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Hal tersebut sesuai dengan konsep hukum “geen bevoegheid zonder verantwoordelijkheid atau there is not authority without responsilibility” (tidak ada kewenangan tanpa tanggung jawab). Setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.[17]
- Proses penegakan hukum banyak ditemukan unsur ‟melawan hukum” dan ‟menyalahgunakan wewenang‟ yang dibarengi dengan menyebutkan jumlah ‟kerugian negara” sebagai dasar untuk mendakwa seorang pejabat telah melakukan tindakan pidana korupsi semata-mata berdasarkan perspektif hukum pidana tanpa mempertimbangkan bahwa norma hukum administrasi. Acapkali ditemukan pula unsur, ‟merugikan keuangan negara” dijadikan dugaan awal untuk mendakwa seorang pejabat tanpa disebutkan terlebih dahulu bentuk pelanggarannya suatu pemikiran yang terbalik. Unsur ‟merugikan keuangan negara” merupakan akibat adanya pelangaran hukum yang dilakukan seorang pejabat. Seorang pejabat yang menggunakan keuangan negara tidak dapat dikatagorikan sebagai tindakan yang ‟merugikan keuangan negara” jika pejabat yang bersangkutan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku.[18]
- Konsep perubahan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang berada pada wilayah “grey area (abu-abu).’’ Ada persinggungan antara norma hukum pidana dengan norma hukum administrasi. Menurut Yasser, mengutip Indriyanto Seno Adji, ‟Dalam kerangka hukum administrasi negara, parameter yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara “discretionary power’’ adalah detournament de povouir (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit (sewenang-wenang), sedangkan dalam area hukum pidana juga memiliki kriteria yang membatasi gerak bebas kewenagan aparatur negara berupa unsur ‟werrechtelijkheid” dan ‟menyalahgunakan kewenangan” permasalahannya adalah manakala aparatur negara melakukan perbuatan yang diangap menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum, aryinya mana yang akan dijadiakan ujian bagi penyimpangan aparatur negara ini, hukum administrasi negara ataukah hukum pidana, khususnya dalam perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi. Pemahaman yang berkaitan dengan penentuan yurisdiksi inilah yang masih sangat terbatas dalam kehidupan praktik yudisial.[19]
- Pengujian penyalahgunaan wewenang melalui Peradilan Tata Usaha Negara merupakan suatu hal yang mutlak untuk menentukan ada atau tidak adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara dalam hal adanya dugaan Tindak Pidana atas penggunaan wewenang tersebut, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, pengujian Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang dilakukan sebelum dimulainya proses pidana. Kekuatan Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang merupakan suatu kekuatan pembuktian bagi penyidik untuk menduga memang telah adanya suatu perbuatan tindak pidana korupsi apabila terbukti telah ada penyalahgunaan wewenang dan berbanding terbalik apabila penyalahgunaan wewenang tersebut tidak ada, maka menjadi suatu suatu pembelaan bagi pejabat tata usaha negara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tersebut dalam menjalankan kewenangannya sekalipun kerugian negara itu nyata ada, bisa saja disebabkan oleh hal-hal tekhnis atau kajian yang kurang dalam apabila dalam hal konteks pengadaan barang dan jasa.[20]
2.
Contoh Kasus
Perkara Pidana dan Perdata Pada Satu Objek/
Permasalahan Hukum[21]
Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, sering kali penegak hukum dihadapkan pada adanya perkara pidana yang terdapat dimensi perdatanya dalam objek/ permasalahan hukum yang sama, khususnya sering terjadi dalam sengketa pertanahan antara lain berupa sengketa hak atas kepemillikan tanah, penggunaan lahan tanpa izin, penyerobotan tanah, pencurian atas lahan yang sedang dalam sengketa dan lain sebagainya.
Menghadapi permasalahan dimaksud seringkali terdapat keraguan dalam proses penyelesaiannya oleh penegak hukum. Permasalahan hukum yang objeknya merupakan tanah, apabila status kepemilikan tanah berdasarkan alasan hak yang dimiliki dinyatakan sah sebagaimana ketentuan perundang-undangan, maka jika ada pihak yang melakukan pelanggaran, tentunya kasus tersebut dapat dilanjutkan dalam proses hukum pidana. Aparat penegak hukum dalam hal ini Penyidik Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan perlu bersikap secara objektif, profesional dan proporsional sehingga tidak mudah dalam memutuskan perkara tersebut merupakan tindak pidana meskipun berkas perkara sudah dinyatakan lengkap hingga terbitnya P21 oleh Jaksa Penuntut Umum.
Apabila proses perdata terhadap objek persengketaan hak atas tanah telah berlangsung di Pengadilan yang kemudian pihak bersengketa juga menjalankan proses hukum pidana, maka harusnya proses pidananya dihentikan sementara menunggu proses perdatanya selesai. Namun yang terjadi seringkali penanganan perkara pidana dan perdatanya dilakukan secara bersamaan, meskipun telah ditegaskan dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung RI No: B-230/E/Ejp/01/2013 perihal Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum Yang Objeknya Berupa Tanah, di mana Diktum 6 (enam) menyatakan bahwa jika menangani suatu kasus yang objeknya berupa tanah, dimana terdapat adanya gugatan perdata atas barang (tanah) atau tentang suatu hubungan hukum (jual beli) antara 2 (dua) pihak tertentu, maka perkara pidana yang bersangkutan dapat ditangguhkan dan menunggu putusan pengadilan dalam perkara perdatanya dengan mempedomani ketentuan sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran tersebut.
Dalam
hal penyelesaian perkara pidana dan perkara perdata pada permasalahan hukum
yang sama, Ombudsman RI sering kali menerima pengaduan terkait hal dimaksud.
Salah satunya adalah dilaporkan oleh Pengacara XXXX sebagai kuasa dari Saudari
YYYY mengenai dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU)
pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dalam penanganan perkaranya. Pada intinya
bahwa perkembangan perkara terakhir, JPU tetap melanjutkan persidangan perkara
pidana secara bersamaan dengan persidangan perdata terkait dengan kepemilikan
atas bidang tanah dan rumah milik Saudari YYYY.
Tim Pemeriksa Ombudsman RI melakukan permintaan keterangan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat untuk mengetahui mengenai tindak lanjut Laporan dari Pelapor khususnya mengenai permintaan gelar perkara yang mengacu kepada Pasal 139 dan 140 ayat (2) KUHAP, Pasal 25 Peraturan Jaksa Agung Nomor: Per-036/A/ JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-230/E/Ejp/01/2013 tanggal 22 Januari 2013, yang intinya menyatakan bahwa sebelum Jaksa melimpahkan perkara ke Pengadilan maka dilakukan gelar perkara untuk menentukan apakah layak dilimpahkan ke Pengadilan dan apabila tindak pidana menyangkut objek tanah maka harus dipastikan status kepemilikan hak atas tanah tersebut. Dalam hal ini penanganan perkara oleh JPU tetap dilanjutkan meskipun persidangan perdata sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam tanggapan tertulis dari Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Tim Pemeriksa berpendapat bahwa keterangan yang diberikan tidak memadai sehingga Tim Pemeriksa kembali menyampaikan surat kepada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI yang intinya meminta dilakukan pemeriksaan di internal terkait dengan penanganan perkara oleh JPU merujuk pada Peraturan Jaksa Agung Nomor: Per-036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-230/E/Ejp/01/2013 tanggal 22 Januari 2013.
Tim Pemeriksa juga telah meminta klarifikasi tertulis melalui Surat Nomor: B-700/LM.09/K.1/ V/2020 Tanggal 6 Mei 2020 dan memperoleh tanggapan tertulis dari Wakil Jaksa Agung melalui Surat Nomor: B-41/ WJA/07/2020 Tanggal 09 Juli 2020, yang intinya memberikan penjelasan sebagai berikut:
Pertama, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat telah mengirimkan tanggapan melalui surat Nomor B-1186/M.1 .0//Ep.2/06/2019 tanggal 5 Agustus 2019 yang intinya menyatakan bahwa perkara atas nama terdakwa YYYY berdasarkan fakta hukum yang didukung buktibukti sebagaimana termuat dalam berkas perkara hasil penyidikan telah diperoleh bukti cukup untuk dilimpahkan ke pengadilan karena diduga melanggar Pasal 167 ayat (1) KUHP.
Kedua, bahwa pada saat berlangsungnya proses peradilan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menangani perkara an. terdakwa YYYY, menerbitkan penetapan Nomor 870/Pid.B/2019/PN Jki.Pst tanggal 9 Maret 2020, yang menyatakan menangguhkan pemeriksaan perkara pidana Nomor: 870/Pid.B/2019/ PN.Jkt.Pst atas nama terdakwa YYYY sampai perkara perdata dengan register Nomor 369/Pdt.G/2019/ PN.Jkt.Pst yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 24 Februari 2020 memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa penyelesaian perkara pidana yang objeknya di atas tanah yang masih dipersengketakan seringkali dilakukan oleh penegak hukum. Implikasinya jika perkara pidana dan perdatanya dilakukan secara bersamaan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pertentangan antara putusan pidana dan perdata. Jika ini terjadi maka dapat dipastikan akan ada kebingungan dalam pelaksanaan eksekusinya.
3. Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik
Salah satu sumber materiil dalam Hukum Administrasi Negara dalam pelaksanaan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa...” dimana negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik pelayanan publik di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik). UU ini lahir karena ada dorongan kuat keterbukaan pada penyelenggaraan pemerintahan. Kelahirannya beriringan dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Keterbukaan informasi untuk memberikan saluran warga negara menyuarakan keluhan dan masukan terhadap pelayanan, sementara Ombudsman dilahirkan untuk mengawal proses pengawasan dan evaluasi pelaksanan pelayanan publik.
Menurut Bagir Manan, seperti dikutip oleh Dirkareshza, Ardiantor dan Pradana,[22] secara filosofis kehadiran UU Pelayanan Publilk lahir sebagai bentuk kehadiran negara dalam memenuhi hak-hak dasar warga negara. Dimana dalam UUD NRI Tahun 1945 telah secara tegas mengatur tentang hak-hak asasi bagi warga negara diantaranya bahwa negara hadir dalam rangka menghormati (obligation to respect), melindungi (obligation to protect), dan memenuhi (obligation to fulfill). Sedangkan dari sisi sosiologis, UU Pelayanan Publik diharapkan dapat memberikan kemudahan kepada warga negara untuk memenuhi kebutuhan hidup berupa barang, jasa dan administrasi, menuju kehidupan yang sejahtera. Namun jika dilihat dari konsideran UU pelayanan publik, negara ternyata hanya berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pelaksanaan kehidupan sosial, diperlukan konsep hukum yang dapat diterima masyarakat dan yang sesuai dengan sifat karakteristik dan pola kehidupan masyarakat.[23]
Indikator pelayanan publik mengacu pada adanya fungsi dasar negara yang melayani masyarakat. Ini mungkin termasuk penyediaan layanan penting, seperti kesehatan, pendidikan, air dan sanitasi, infrastruktur transportasi, listrik dan listrik, serta internet dan konektivitas.[24] Ide kebijakan berfungsi sebagai "perekat" integratif yang menyatukan tindakan kebijakan di sekitar rencana Tindakan.[25]
Berdasarkan
Laporan tahun 2021, Ombudman RI menerima laporan/pengaduan masyarakat yang
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik sebanyak 7.204 Laporan. Laporan
tersebut terdiri dari 6.522 Laporan reguler, 559 Respon Cepat, dan 123
Investigasi Atas Prakarsa Sendiri. jumlah Konsultasi Non Laporan dari masyarakat
kepada Ombudsman meningkat hingga 99,2% dibanding tahun sebelumnya. Di tahun
yang sama, dugaan maladministrasi peringkat pertama adalah penundaan berlarut
dengan 31.57%, sedangkan berpihak menempati posisi terendah “berpihak” dengan
0,17%. Adapun kategori peyalahgunaan wewenang di peingkat ke-6 dengan 3,66%.
Sedangkan penyalahgunaan wewenang tersebar pada beberapa substansi atau kategori seperti: Pemukiman dan Perumahan sebanyak 7 % dimana temuan BPK yang berulang atas penyalahgunaan rumah dinas pada beberapa institusi/ lembaga/ Kementerian menunjukkan bahwa penyelesaian rumah dinas/ negara belum serius dilakukan. Penanganannya cenderung legal formal dengan mengedepankan ketentuan yang berlaku tanpa melihat sejarah atau historical yang melatar belakangi penghunian rumah dinas/ rumah negara. Pada Lembaga Pemasyarakatan, maladministrasi penyalahgunaan wewenang mencapai 6% dengan penyimpangan prosedur mempati posisi tertinggi sebesar 8 %.
Dugaan maladministrasi pada substansi kesehatan yang diadukan masyarakat kepada Ombudsman Republik Indonesia adalah penyimpangan prosedur dengan angka 37,50% atau sebanyak 78 laporan, tidak memberikan pelayanan dengan angka 24,05% atau sebanyak 50 laporan, penundaan berlarut dengan angka 17,31% atau sebanyak 36 laporan, tidak patut dengan angka 5,29% atau sebanyak 11 laporan, lainnya dengan angka 4,81% atau sebanyak 10 laporan, tidak kompeten dengan angka 4,33% atau sebanyak 9 laporan, permintaan imbalan uang, barang, dan jasa dengan angka 3,85% atau sebanyak 8 laporan, diskriminasi dengan angka 1,44% atau sebanyak 3 laporan, dan penyalahgunaan wewenang dengan angka 1,44% atau sebanyak 3 laporan. Adapun dugaan maladministrasi dengan kategori lainnya merupakan laporan masyarakat terkait kebijakan yang mencakup bantuan untuk tenaga medis, status rumah.sakit, dan lain sebagainya.
Di lembaga kejaksaaan, penyelahgunaan wewenang tidak secara spesifik disebutkan. Akan tetapi, masalah layanan kejaksaan yang dilaporkan terdiri eksekusi Pidana dengan 16%, penyidikan tipikor 8%, penahanan kejaksaan dan barang bukti masing-masing 5%, lain-lain sebanyak 66%. Dalam hal penyelesaian perkara pidana dan perkara perdata pada permasalahan hukum yang sama, Ombudsman RI sering kali menerima pengaduan terkait hal dimaksud. Salah satunya adalah dilaporkan oleh Pengacara XXXX sebagai kuasa dari Saudari YYYY mengenai dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dalam penanganan perkaranya.
Pelabagi contoh diatas merupakan gambaran atas bentuk-bentuk maladministrasi pelayanan publik berdasarkan Peraturan Ombudsman No 58/ 2023 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Dan Penyelesaian Laporan di Pasal 5 berupa: a. perilaku atau perbuatan melawan hukum; b. penyalahgunaan wewenang; c. kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum; d. penundaan berlarut; e. tidak memberikan pelayanan; f. tidak kompeten; g. penyimpangan prosedur; h. permintaan atau penerimaan imbalan tidak patut; i. berpihak; j. diskriminasi; dan konflik kepentingan. Dengan kata lain penyalahgunaan wewenang merupakan salah satau bentuk abuse of power.
Terminologi Abuse of power dipakai untuk menyebut tindakan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu. Jabatan dan kekuasaan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Saat seseorang memiliki jabatan, secara otomatis ia akan mendapatkan kewenangan-kewenangan tertentu yang disebut kekuasaan. Menurut Yopie Moria dalam buku Sendi-Sendi Hukum Konstitusional karya Dr. Hotma P. Sibuea dan Dr. Hj. Asmak ul Hasnah, abuse of power adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang untuk mencapai kepentingan tertentu dan dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain.[26] Oleh karena itu, orang yang melakukan abuse of power menggunakan kekuatan atau wewenang mereka untuk menindas orang lain yang kedudukannya lebih rendah. Tindakan penyalahgunaan kekuasaan ini termasuk dalam perbuatan tercela yang melawan hukum.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999, setiap orang yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan
merugikan negara akan dipidana penjara seumur hidup atau paling singkat satu
tahun. Ada pun ciri-ciri dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
adalah sebagai berikut:
1.
Menyimpang dari tujuan atau maksud pemberian kewenangan
Kewenangan yang diberikan kepada pejabat
harus selalu digunakan sesuai maksud dan tujuan yang mengarah pada kepentingan
umum. Jika kekuasaan tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi, apalagi
sampai merugikan orang lain, tindakan tersebut sudah termasuk kategori abuse
of power.
2. Menyimpang dari tujuan atau maksud
dalam kaitannya dengan asas legalitas
Asas legalitas merupakan prinsip dasar
hukum, dimana setiap perbuatan harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Maka dari itu, kegiatan pejabat yang melanggar
hukum termasuk ke dalam tindakan penyalahgunaan kekuasaan.
3. Menyimpang dari tujuan atau maksud
dalam kaitannya dengan asas-asas umum
Asas-asas umum yang dimaksud dalam hal ini antara lain asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, dan sebagainya.[27]
Contoh
Kasus
1)
Bappebti
terbukti melakukan maladministrasi dalam proses permohonan Izin yang diajukan
oleh PT Digital Future Exchange
rangkaian
pemeriksaan dokumen, permintaan keterangan, dan investigasi dengan beberapa
pihak terkait seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa keuangan (OJK),
Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Asosiasi Pedagang Aset Kripto, dan Asosiasi
Blockchain Indonesia. Dalam LAHP yang dikeluarkan oleh Ombudsman RI, terdapat
enam pendapat, yaitu:
a)
Proses
pemenuhan persyaratan Izin Usaha Bursa Berjangka oleh PT DFX. Ombudsman
berpendapat PT DFX telah kooperatif dan proaktif dalam memenuhi semua
persyaratan pemenuhan perizinan;
b) Pemenuhan
persyaratan Izin Usaha Bursa Berjangka oleh PT DFX berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Ombudsman berpendapat PT DFX telah memenuhi semua
persyaratan perizinan bursa berjangka berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan IUBB;
c) Berlarutnya
proses pengajuan IUBB ini menimbulkan kerugian dan menjadi bukti lambannya
pelayanan birokrasi yang dilaksanakan oleh Bappebti selaku pihak yang memiliki
kewajiban dalam penyelenggaran pelayanan;
d) Transparansi
dan akuntabilitas dalam proku. Ombudsman berpendapat PT DFX telah memenuhi
semua persyaratan perizinan bursa berjangka berdasarkan peraturan
perundang-undangan berkaitan dengan IUBB;
e)
Adanya
penambahan persyaratan IUBB PT DFX di luar ketentuan peraturan
perundangundangan. Ombudsman berpendapat Bappebti telah melakukan perbuatan
penyalahgunaan wewenang dengan memberikan persyaratan tambahan berupa Hak Akses
Viewing dan memberikan persyaratan tambahan kepada PT DFX untuk melakukan
simulasi perdagangan dengan akun real dan perdagangan dengan sistem ISO 27001;
f) Kebutuhan
ekosistem dan urgensi kehadiran bursa kripto. Berdasarkan keterangan para
pemangku kepentingan seperti OJK, Bank Indonesia, Kemenkeu, Bappebti, serta
praktisi, kehadiran bursa aset kripto sangat dibutuhkan untuk melindungi
masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.
2)
Sulitnya pembuatan
KTP di Pekanbaru (2010)
a.
Pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk atau
yang lebih dikenal dengan KTP di kota Pekanbaru, barangkali merupakan salah
satu yang terburuk di Indonesia. Banyak kendala bahkan kadangkala terasa
seperti dibuat-buat. Bahkan timbul kesan petugas pembuat KTP mempergunakan
slogan kalau masih bisa dipersulit mengapa harus dipermudah.
b.
Beberapa masyarakat
mengeluhkan sulitnya proses pembuatan KTP di Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil (Disdukcapil) setempat. Beberapa keluhan masyarakat termasuk
lambatnya proses pendaftaran, kurangnya petugas yang tersedia, dan kurangnya
pengawasan dan pengendalian terhadap pungutan liar yang muncul selama proses
pendaftaran.
c.
Masalah ini
menunjukkan adanya masalah birokrasi dalam pelayanan publik di Riau, terutama
dalam hal pembuatan KTP di beberapa daerah. Pemerintah setempat perlu melakukan
reformasi birokrasi dalam pembuatan KTP dengan meningkatkan kualitas pelayanan
di Kantor Disdukcapil setempat, termasuk dalam hal ketersediaan petugas,
pengawasan dan pengendalian terhadap pungutan liar, dan kualitas pelayanan
secara keseluruhan.Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi
dan akuntabilitas dalam penggunaan dana pelayanan publik terkait pembuatan KTP
serta memastikan bahwa dana tersebut digunakan secara efektif dan efisien untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik terkait KTP. Dengan demikian, masyarakat
di Riau dapat merasakan manfaat dari pelayanan publik yang lebih baik dan
nyaman dalam hal pembuatan KTP.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
Salah satu tujuan dari diundangkannya UU Administrasi
Pemerintahan adalah ke depan tidak ada lagi kriminalisasi kebijakan. Kehadiran
UU Adminsitrasi Pemerintahan diharapkan bisa menjadi sumber hukum formiil untuk
mengenali sebuah Keputusan dan/atau tindakan sebagai kesalahan maladministrasi seperti
penyalahgunaan wewenang yang berujung pada tindak pidana. Pembuat keputusan
tidak mudah dikriminalisasi yang melemahkan mereka dalam melakukan inovasi
pemerintahan. Selain itu, kehadiran UU Administrasi Pemerintahan sekaligus
menjaga agar badan atau pejabat pemerintahan tidak mengambil keputusan atau
tindakan sewenang-wenang. Masyarakat terlindungi dari kesewenang-wenangan dan
paktik mal-administrasi yang dilakukan pejabat. Selain itu UU Administrasi
Pemerintahan juga memuat kejelasan jenis-jenis kewenangan atribusi, delegasi
dan mandat, kejelasan tanggung jawab terhadap kewenangan agar terdapat
kejelasan tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap pelaksanaan kewenangan. UU
Administrasi Pemerintahan mengatur larangan penyalahgunaan wewenang, sehingga
badan atau pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan atau tindakan sesuai
dengan batas kewenangan yang dimiliki.
UU Pelayanan Publilk
lahir sebagai bentuk sumber formil kehadiran negara dalam memenuhi hak-hak
dasar warga negara. Indikator pelayanan publik mengacu pada adanya fungsi dasar
negara yang melayani masyarakat. Ini mungkin termasuk penyediaan layanan
penting, seperti kesehatan, pendidikan, air dan sanitasi, infrastruktur
transportasi, listrik dan listrik, serta internet dan konektivitas. Ide kebijakan berfungsi sebagai perekat
integratif yang menyatukan tindakan kebijakan di sekitar rencana Tindakan.
Kehadiran negara pada konteks ini sangat krusial dimana dalam rangka
menghormati (obligation to respect), melindungi (obligation to
protect), dan memenuhi (obligation to fulfill) bisa
Tolak ukur dalam penyalahgunaan wewenang dapat dilihat dari
adanya kepentingan publik dari tujuan yang hendak dicapai oleh pemberi
wewenang. Namun, harus didahului dengan adanya pembuktian secara faktual
terhadap pejabat pemerintahan yang telah menggunakan wewenang untuk tujuan
lain. Parameter yang digunakan dalam menggunakan wewenang berkaitan dengan
pelaksanaan atau terjadi penyimpangan terhadap wewenang yang diberikan oleh
undang-undang kepada pemerintah adalah kepatuhan.
Kedua sumber hukum
meteriil di atas membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara “discretionary
power’’ dengan parameter detournament de povouir (penyalahgunaan
wewenang) dan abus de droit (sewenang-wenang); a. detournament de
povouir; dimana
mengacu pada tindakan menggunakan posisi kekuasaan atau wewenang seseorang
untuk keuntungan pribadi atau ilegal, bukan untuk tujuan yang dimaksudkan, b. abuse of power; dimana penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan memiliki ciri-ciri penyimpangan dari tujuan atau maksud pemberian
wewenang, penyimpangan dari tujuan dan maksud dalam kaitannya dengan asas
legalitas, dan penyimpangan dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan
asas-asa umum.
Penegakan hukum dengan unsur
‟melawan
hukum” dan ‟menyalahgunakan wewenang‟
dibarengi dengan menyebutkan jumlah ‟kerugian
negara” sebagai dasar untuk
mendakwa seorang pejabat telah melakukan tindakan pidana semata-mata
berdasarkan perspektif hukum pidana tanpa mempertimbangkan bahwa norma hukum
administrasi. Acapkali ditemukan pula unsur, ‟merugikan
keuangan negara”
dijadikan dugaan awal dalam penjeratan hukum pidana atas penyalahgunaan
wewenang (detournement de povoir) dan kesewenangan (abus de
droit/abuse of power).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Latif. (2014). Hukum Administrasi Dalam Tindak Pidana
Korupsi. Jakarta: Prenada Media Group.
Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui
Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 2005, h. 20.
Anggraeni, Nina. 2018. “Ombudsman Republik Indonesia (ORI)
Dan Pelayanan Publik (Studi Kasus Analisis
Putusan Rekomendasi ORI
Dan Efektivitas Rekomendasi ORI).” Thesis: 1–13. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/68325.
Arifin P. Soeria Atmadja. (2008). Keuangan Publik dalam
Perspektif Hukum; Teori,Kritik, dan Praktik. Jakarta: Rajawali Press.
Dirkareshza, R., Ardiantor, A., & Pradana, R. (2021).
Penafsiran Hukum (Legal Interpretations) Terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 Tentang Pelayanan Publik Demi Masyarakat Yang Sejahtera, Adil, dan Makmur
(Walfare State)(Standpoint Usul Perubahan Terhadap UU Pelayanan Publik). Reformasi
Hukum, 25(2), 127-146.
Economy, G. "Indonesia: Public services index", (theglobaleconomy.com.
https://www.theglobaleconomy.com/Indonesia/public_services_index/)
diakses pada 04 Juni 2024.
Hartanti, E. (2005). Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar
Grafika.
Hidayah, H. and Zafi, A. A. "Transformasi Hukum Islam
pada Masyarakat di Indonesia", Reformasi Hukum, Vol. 24 No. 2,
Juli-Desember, 2020.
Indriyanto Seno Adji. (2006). Korupsi Kebijakan Aparatur
Negara dan Hukum Pidana. Jakarta: CV. Diadit Media.
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum
Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Jakarta: PPM 2004, h.
322-323.
M. Friedman, L. (2009). Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial.
Jakarta: Nusa Media.
Mulyadi, Imam Rifai.
2017. “Efektivitas Lembaga Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi
Banten Dalam Upaya
Pencegahan Maladministrasi (Studi
Di Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Tanggerang).” : 126.
Putri, Felicya Astwilanda, and M. Fachri Adnan. 2020. “Upaya
Pencegahan Maladministrasi Pelayanan Publik Oleh Ombudsman Republik Indonesia
Di Provinsi Sumatera Barat.” Jurnal Manajemen dan Ilmu Administrasi Publik
(JMIAP)2(1): 33–41.
Ridwan, Pertanggungjawaban Publik Pemerintah dalam
Persepektif Hukum Administrasi Negara, 2016 Yogyakarta: Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum.journal.uii.ac.id/
Ridwan HR. (2001). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT.
Sibuea, H. P., SH, M., ul Hosnah, A., & SH, M.
(2022). SENDI-SENDI HUKUM KONSTITUSIONAL. PT. RajaGrafindo
Persada-Rajawali Pers.
Soekanto, S. (2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syamsu, M. A. (2016). Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip
Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Prenada Media Group.
Wiryono, R. (2009). Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Yasser, B. M. (2019). Pengujian unsur penyalahgunaan
wewenang pada peradilan tata usaha negara dalam kaitannya dengan tindak pidana
korupsi. Soumatera Law Review, 2(1), 1-24.
Yuslim. (2015). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta: Sinar Grafika.
[1]Dirkareshza,
R., Ardiantor, A., & Pradana, R. (2021). Penafsiran Hukum (Legal
Interpretations) Terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik Demi Masyarakat Yang Sejahtera, Adil, dan Makmur (Walfare
State)(Standpoint Usul Perubahan Terhadap UU Pelayanan Publik). Reformasi
Hukum, 25(2), 127-146.
[2]Ridwan,
Pertanggungjawaban Publik Pemerintah dalam Persepektif Hukum Administrasi
Negara, 2016 Yogyakarta : Jurnal Hukum Ius Quia Iustum.journal.uii.ac.id/
[3] Abdul
Latif. (2014). Hukum Administrasi Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Prenada
Media Group.
[4] Wiryono,
R. (2009). Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar
Grafika.
[5] Arifin P.
Soeria Atmadja. (2008). Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum; Teori,Kritik,
dan Praktik. Jakarta: Rajawali Press.
[6] Ridwan,
Pertanggungjawaban Publik Pemerintah dalam Persepektif Hukum Administrasi
Negara, 2016 Yogyakarta : Jurnal Hukum Ius Quia Iustum.journal.uii.ac.id/
[7] Anggraeni, Nina. 2018. “Ombudsman Republik
Indonesia (ORI) Dan Pelayanan Publik (Studi
Kasus Analisis Putusan
Rekomendasi ORI Dan
Efektivitas Rekomendasi ORI).”
Thesis: 1–13. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/68325.
[8] Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance
Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 2005, h. 20.
[9]
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Pelayanan Publik, Jakarta: PPM 2004, h. 322-323.
[10] Yuslim.
(2015). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
[11]
UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
[12] Yasser,
B. M. (2019). Pengujian unsur penyalahgunaan wewenang pada peradilan tata usaha
negara dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Soumatera Law
Review, 2(1), 1-24..
[13] Yasser,
B. M. (2019). Pengujian unsur penyalahgunaan wewenang pada peradilan tata usaha
negara dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Soumatera Law
Review, 2(1), 1-24.
[14]
UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
[15] Ridwan
HR. (2001). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT.
[16] Syamsu,
M. A. (2016). Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Prenada
Media Group.
[17] Ridwan
HR. (2001). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT.
[18] Hartanti,
E. (2005). Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
[19] Yasser,
B. M. (2019). Pengujian unsur penyalahgunaan wewenang pada peradilan tata usaha
negara dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Soumatera Law
Review, 2(1), 1-24.
[20]
Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam
Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang
[21]
Laporan Ombudsman Republik
Indonesia tahun 2022.
[22] Dirkareshza,
R., Ardiantor, A., & Pradana, R. (2021). Penafsiran Hukum (Legal
Interpretations) Terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik Demi Masyarakat Yang Sejahtera, Adil, dan Makmur (Walfare
State)(Standpoint Usul Perubahan Terhadap UU Pelayanan Publik). Reformasi
Hukum, 25(2), 127-146.
[23] Hidayah, H. and Zafi, A. A. "Transformasi Hukum
Islam pada Masyarakat di Indonesia", Reformasi Hukum, Vol. 24 No. 2,
Juli-Desember, 2020.
[24] Economy,
G. "Indonesia: Public services index", (theglobaleconomy.com. https://www.theglobaleconomy.com/Indonesia/public_services_index/)
diakses pada 04 Juni 2024.
[25]
Dirkareshza, R., Azura, D. M. and Pradana, R. "Kebijakan Pemerintah di
Masa Pandemi Covid-19: Antara Negara Sejahtera dan Negara Sehat", Jurnal
Mercatoria, Vol. 14, No. 1, 2021.
[26]
Sibuea, H. P., SH, M., ul Hosnah, A., & SH, M. (2022). SENDI-SENDI
HUKUM KONSTITUSIONAL. PT. RajaGrafindo Persada-Rajawali Pers.
[27]
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI yang dirubah dengan UU No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar