Essay Webminar
Pembekalan Praktikum I
“Pengantar
Ilmu Kesejahteraan Sosial”
M.Kholis
Hamdy, S.Sos, I.Mint.Dev.
Kamis, 24
Maret 2022
Pendahuluan
Kesejahteraan
merupakan sebuah kata yang sering kita temui dalam perjalanan hidup kita
sebagai manusia, terlebih ketika masuk dalam lingkungan akademik kampus,
khususnya di prodi studi kesejahteraan sosial, sebagai diskursus kajian oleh mahasiswa
maupun dosen. Terminologi ini secara konseptual kita dapat lihat dari pelbagai
literatur, baik dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing, terutama Bahasa
Inggris.[1]
Definisi-definisi yang terbangun dari proses panjang dari perjalanan manusia
dalam mengatur permasalahan yang muncul dari interaksi manusia di segala level
serta adanya dorongan perubahan sosial untuk mebentuk keadaaan manusia yang
lebih baik dalam bingkai apa yang disebut dengan “pembangunan.” Di sisi lain,
konsep ini juga lahir dari adanya dialektika dasar alami; memuculkan tawaran
sintesa baru. Oleh karena itu, kita dapat simpulkan bahwa dengan adanya ‘hasil
interaksi’ manusia yang terkadang bermula dari hal positip (mewujudkan
kesejahteraan) begitu juga terkadang menghasilkan suatu keadaan yang tidak
ideal (permasalahan sosial/disfungsi sosial),[2] maka
dari proses inilah terlahir disiplin Ilmu Kesejahteraan Sosial atau social
work.
Bangunan ilmu
kesejahteraan secara sederhana tersusun oleh 2 (dua) hal, yaitu dapat dilihat dari
sisi ontologis[3]
dan aksiologis,[4]
ini yang biasa disebut dengan epistimologi.[5] Sebagai
ilmu terapan, kesejahteraan sosial juga memiliki pilar-pilar atau pondasi,
ruang lingkup serta bidang-bidang yang merupakan kontruksi utuh dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Dalam konteks acara ini, saya akan menekan aspek
calon pekerja sosial yang sedang melakukan praktikum di Lembaga masing-masing.
Pembahasan
Sejarah
ilmu kesejahteraan sosial sangat luas. Perkembangannya secara umum dapat
dikatakan dari praktik-praktik kemanusiaan itu sendiri. Lalu seiring dengan
perkembangan kompleksitas permasalahan manusia (social disfunction),
diperlukan pendekatan secara metodis yang merupakan sebuah disiplin ilmu khusus
yang fokus terhadap terhadap social disfunction phenomenon. Inggris[6]
jelas menjadi mercu suar di awal perkembangan praktik dan ilmu, disusul Amerika
Serikat.[7]
Praktik di Eropa secara umum juga memperkaya perkembangan, seperti Jerman[8]
dan Perancis.[9]
Intinya adalah bahwa ilmu kesejahteraan sosial tanpa praksis (pekerjaan
sosial), ilmu ini disebut ilmu murni, semata-mata hanya ilmu kajian saja dan
mengingkari hakikat sejarah ilmu sebagai ilmu terapan. Oleh karena itu, 2 aspek
dari epistimologi ilmu ini, yaitu ontologi dan aksiologi adalah 1 (satu) tubuh,
1 (satu) kesatuan, yang tidak dapat dipisahkan dan terpisah. Itu alasan utama
lembaga-lembaga pendidikan di luar lebih cenderung memilih terminologi “social
work” dari pada “social welfare” sebagai program studi atau jurusan karena di
dalam social work ada social welfare science (ilmu kesejahteraan
sosial) di dalamnya.
Saya sependapat
dengan pendapat Asep Jahidin bahwa pemahaman terhadap dimensi manusia dan
relasinya dengan Ilmu Kesejahteraaan Sosial sebagai Ilmu terapan sangat penting,
para praktikan sejatinya memahami dengan baik 3 dimensi agama,[10]
filsafat,[11]
dan ilmu.[12]
Praktikan diharapkan bisa menggabungkan ketiga dimensi tersebut, dalam
praktek di lapangan (praktikum). Harus dipahami bahwa praktikan berhadapan
dengan manusia yang multi dimensi, manusia yang memiliki dua substansi yang
manunggal tidak terpisahkan, jasad dan ruh, jasmaniah dan ruhaniah.
Permasalahan manusia pun tidak akan punah, bahkan cenderung bertambah rumit,
pemasalahan akan selalu ada sepanjang keberadaan manusia, baik permasalahan
yang bersifat jasmaniah maupun batiniah.[13]
Sebagai
ilmu terapan yang sama seperti ilmu-ilmu terapan lainnya, mengandung 3 dasar
prinsip/pilar/dimensi, yaitu body of knowledge, body of skills dan body
of values. Sejarah menunjukkan bahwa praktik pekerjaan sosial berawal dari
masalah keseharian dalam kehidupan manusia dan “bagaimana” merespon atas
persoalan-persoalan tersebut. Praktikan harus memandang kehidupan ini sebagai
laboratorium besar, dunia serta dan kehidupan nyata sebagai kelas belajar,
tidak hanya terpaku dengan kelas formal di kampus. Ilmu pengetahuan yang
didapat di dalam kelas berasal dari knowledge yang berada di masyarakat.
Apalah artinya mendapatkan ilmu (berfikir) di kampus tetapi tercerabut dari
permasalahan kehidupan nyata. Jadi, seorang praktikan yang akan menjadi pekerja
sosial yang baik selama dia mampu bergerak dan melebur ke dalam konteks
masyarakat dia beraktifitas, dia sudah on the right track!.
Pekerjaan
Sosial Sebagai Ilmu
Pilar body
of knowledge tidak berhenti sebagai diskursus akademik keilmuan hafalan
saja, tetapi harus terinternalisasi menuju aksiologis pada terciptanya
usaha-usaha pelayanan kesejahteraan manusia di lapangan kehidupan. Meleburkan
diri dengan denyut kehidupan oleh para praktikan Ilmu Kesejahteraan Sosial akan
sangat mampu memahami hakikat, ontologi kesejahteraan yang sesuai dengan
harapan dan kebutuhan individu, dan yang sesuai dengan kelompok maupun konteks
suatu masyarakat sosial tertentu, khususnya konteks praktikum sekarang. Proses
internalisasi menuju aksiologis yang konkret, praktikan harus mengganggap semua
manusia sebagai dosen atau guru, termasuk klien di lembaga praktikum. Salah
satunya dengan melakukan dialog imajiner dapat dibangun antara praktikan yang
sedang berpikir dan klien misalnya memunculkan pertanyaan kepada diri anda,
“apakah saya berbeda dengan dia”, “apa perbedaan saya dan dia,” “apa yang bisa
saya perbuat untuk orang tersebut”, “bagaimana saya harus bersikap kepada dia,”
“bagaimana masyarakat memandang dia, atau sebaliknya?” dan sederet
pertanyaan-pertanyaan dasar lain adalah suatu bentuk “pembelajaran” juga.[14]
Sebagai
Ilmu pengetahuan, social work merupakan masuk dalam kategori
interdisipliner. Teori, metode dan tehnik keilmuan yang dipinjam dari disiplin
ilmu lain terintegrasi dan terinterkoneksi dengan cara yang khas dalam praktek
pekerjaan sosial. Jika diilustrasikan bahwa keseluruhan ilmu yang menjadi basis
Ilmu Kesejahteraan Sosial merupakan bahan-bahan makanan yang diramu sedemikian
rupa, “dimasak” hingga menjadi hidangan yang tersajikan secara unik. Tentunya kecenderungan
penggunanan keilmuan akan tergantung dengan fokus ke disiplin atau sepesialisasi
tertentu seperti pekerja sosial industri, pekerja sosial medis, pekerja sosial
anak, pekerja sosial adiksi, pekerja sosial sekolah, pekerja sosial masyarakat
serta spesialisasi lainnya sesuai dengan tujuan intervensi yang akan dilakukan.
Pekerjaan
Sosial Sebagai Keterampilan
Keterampilan
apa calon pekerja sosial professional yang harus dimiliki?. Pekerja sosial harus
memiliki banyak keterampilan yang berbeda untuk menciptakan adanya perubahan. Beberapa
di antaranya yang ingin saya ingin menjadi perhatian adalah keterampilan dalam
mendengarkan secara atentif dan komunikasi aktif, ini termasuk mendengarkan
dengan empati[15]
untuk mengidentifikasi masalah dan memahami kebutuhan klien, mengajukan
pertanyaan yang sesuai, dan berinteraksi dengan orang-orang dengan cara yang
benar-benar membangun kepercayaan.
Konseling
adalah salah satu yang sangat besar, yang mencakup memberikan terapi dan
intervensi klinis kepada individu dan kelompok untuk membantu mereka menghadapi
hal-hal seperti tantangan emosional, fisik atau mental yang mungkin mereka
hadapi. Selanjutnya, advokasi yaitu termasuk bertindak atas nama orang lain
untuk mendapatkan informasi atau untuk menstimulus adanya tindakan perubahan,
tetapi yang paling penting adalah keterampilan untuk memberdayakan individu atau
kelompok untuk mengadvokasi diri mereka sendiri.
Ada juga
keterampilan berpikir kritis dan analisis.[16]
Skil ini sangat penting ketika harus dihadapkan pada kondisi pemecahan masalah,
berpikir kritis juga berarti berpikir kreatif tentang masalah dan solusi yang
mungkin benar-benar suatu keharusan. Kemampuan kalian dalam menganalisis
menjalani praktikum saat ini dan mendapatkan data yang relevan, data
recording management yang baik akan memperbesar potensi keberhasilan dalam
memahami permasalahan, ide dan kemungkinan solusi atau saran-saran baru.
Kemudian, keterampilan
yang mungkin menjadi momok bagi kita semua, yaitu menulis.[17]
Kemampuan mulai dari mendokumentasikan sesi klien, hingga mengirim email ke tim
atau menulis surat ke pihak Lembaga, membuat laporan 2 mingguan, membuat
proposal hibah, atau artikel peer-review untuk publikasi, laporan akhir. Dalam
hal ini, pekerja sosial benar-benar harus mampu berkomunikasi secara efektif
secara tertulis. Jadi itu adalah keterampilan yang penting. Last but not the
least, keterampilan dalam belajar sepanjang hayat.
Pekerja
Sosial Sebagai Profesi-Values.
Para
aktifis sosial sebagian besar mengidentifikasi diri mereka sebagai pekerja
sosial. Tidak ada yang salah dengan hal ini, hanya yang membedakan “kita”
dengan mereka yang bersama fokus terhadap permasalahan sosial ini adalah ilmu
yang kita dapat dari lembaga Pendidikan. Oleh karena itu, penambahan kata
profesional di belakang pekerja sosial adalah ciri khusus profesi. Namun pada
tataran praksis dan etis, kata professional ini tidak sering disebutkan di
lembaga kesejahteraan sosial seperti lemabga-lembaga pilantropi. Saya
berpendapat, kata professional ini akan hilang dengan sendirinya jika sebagai
sebuah profesi, pekerja sosial sudah menjadi terminology dan profesi yang sudah
benar-benar dapat diterima secara masif, khususnya di kalangan masyarakat umum.
Bagaimana
kita mendeskripsikan profesi ini? Harus darimanakah kita benar-benar harus
mulai? saya berpendapat, kita harus mulai dengan nilai-nilai dan ini adalah
sentimen utama yang sering kita dengar dari pekerja sosial tentang apa titik
balik ketika benar-benar memutuskan untuk terjun ke profesi. Seperti,
"Saya tahu bahwa saya ingin menjadi pekerja sosial ketika saya menyadari
bahwa nilai-nilai profesi cocok dengan nilai saya." atau “saya ingin
memiliki rasa empati yang kuat dalam memandang suatu masalah sosial,” Jadi,
nilai apakah sebenarnya dalam profesi ini?.
Nilai
pertama adalah layanan. Jadi, pada tingkat yang paling dasar, pekerjaan sosial
benar-benar mempunyai nilai pelayanan (service) untuk membantu orang dan
berusaha untuk memecahkan masalah dan berikhtiar untuk menciptakan perubahan
positif dalam kehidupan individu, kelompok dan masyarakat secara keseluruhan.
Nilai inti
pekerjaan sosial lainnya yang mungkin paling esensiil adalah keadilan sosial.
Keadilan sosial memiliki visi mengurangi ketidaksetaraan dalam masyarakat kita,
termasuk hal-hal seperti diskriminatif serta penindasan, serta perhatian
terhadap sistem penanganan yang mengutamakan kelompok orang tertentu di atas kelompok
lain. Keadilan sosial benar-benar menuntun profesi kita untuk berjuang menuju
kesempatan sosial dan ekonomi yang sama bagi semua, terlepas dari siapa mereka,
atau dari mana mereka berasal dan, pada intinya kesetaraan yang berkeadilan.
Nilai
terakhir yang ingin saya soroti adalah keyakinan akan nilai dan martabat yang
dimiliki tiap individu. Ini dapat diartikulasikan dengan adanya perhatian serta
keterbukaan pikiran akan adanya keragaman, advokasi populasi atau kelompok
marjinal yang terpinggirkan, yaitu individu-individu yang sering diabaikan atau
kurang terwakili. Oleh karena itu berpegang teguh bahwa harkat dan martabat tanpa
syarat itu milik setiap individu menjadi nilai yang kuat dalam menjalani
profesi.
Profesi
pekerjaan sosial masih memiliki nilai-nilai lain selain ketiga di atas, tetapi
nilai-nilai tersebut yang menurut saya, benar-benar inti dari jenis manusia
yang mengidentifikasikan diri dengan profesi pekerjaan sosial. Jadi, pertanyaan
untuk saya dan kawan adalah nilai apa yang kita anut dan hargai? Apakah
prinsip-prinsip ini terasa sesuai dengan kawan-kawan?. Jika kawan-kawan sudah
merasa in-line dan “beriman,” maka yakinlah bahwa kita semua sudah
berada pada peran yang kita inginkan.
Ruang
Lingkup dan Bidang-Bidang
Secara
sederhana, ruang lingkup ilmu kesejahteraan sosial terbagi menjadi 3 (tiga),
mikro, mezzo dan makro. Pada tingkat mikro dalam mempraktekan Ilmu
Kesejahteraan Sosial, seorang pekerja sosial dapat menangani kasus-kasus
individu atau keluarga sebagai seorang case worker. Pada tingkat meso
pekerja sosial melakukan peran - peran yang sesuai dengan kebutuhan kelompok
atau organisasi seperti community worker, community development.
Sementara pada tingkat makro pekerja sosial dapat berperan sebagai seorang pemikir
di bidang pembangunan sosial, pengembangan strategi dan model, serta menyusun
konstruksi pembangunan sosial yang bermuara pada pengambilan kebijakan sosial, perencanaan
kebijakan sosial serta fokus terhadap isu isu pembangunan sosial.
Bidang
pekerja sosial ditemukan di setiap aspek kehidupan masyarakat, termasuk
sekolah, rumah sakit, klinik kesehatan mental, pusat senior, kantor terpilih,
praktik swasta, penjara, militer, perusahaan, dan di banyak lembaga publik dan
swasta. Di antara bidang atau terkadang disebut dengan tipe, adalah Administration
and Management, Advocacy, Aging, Child Welfare, Elderly, Developmental
Disabilitiesm Health Care, International Social Work, Justice and Corrections,
Mental Health and Clinical Social Work, Mental Health and Substance Abuse
Social Work, Occupational and Employee Assistance Program (EAP) Social Work,
Policy and Planning, Politics, Research, dan School Social Work, dll.
Administrator
pekerjaan sosial adalah pemimpin proaktif di lembaga publik dan swasta yang
memberikan layanan kepada klien. Banyak elemen dari area praktik pekerjaan
sosial ini sifatnya umum seperti bidang administrasi di organisasi lain. Namun,
administrasi dan manajemen a la kessos juga memerlukan pengetahuan
tentang kebijakan sosial dan penyampaian layanan sosial, visi untuk perencanaan
masa depan, pemahaman tentang perilaku manusia, dan komitmen terhadap etika dan
nilai-nilai pekerjaan sosial.
Advokasi merupakan
salah satu kunci bidang dari praktik pekerjaan sosial. Pekerjaan sosial
memperjuangkan hak-hak individu dan masyarakat dengan tujuan mencapai keadilan
sosial. Pengorganisasian masyarakat dan aktifitas advokasi berbasis kekuatan data
(angka)—banyak orang yang berpikir, bekerja, dan bertindak bersama—untuk
mengimbangi kelompok kaya dan kuat serta sarana yang mereka miliki untuk
melindungi dan memperluas diri. Secara historis, pengorganisasian masyarakat
dan kerja sosial adalah tanggapan terhadap banyak kekuatan yang menciptakan
ketidaksetaraan dalam masyarakat kita. Mereka tetap diperlukan dan efektif
seperti biasa hari ini.
Pekerja
sosial di bidang perencanaan dan kebijakan menganalisis kebijakan, program, dan
peraturan untuk melihat keefektifitas dari kebijakan. Fungsinya untuk
mengidentifikasi masalah sosial, kebutuhan studi dan isu-isu terkait, melakukan
penelitian, mengusulkan undang-undang, dan menyarankan pendekatan alternatif
atau program baru. Mereka dapat mendorong koalisi kelompok dengan minat yang
sama dan mengembangkan jaringan organisasi.
Peran peraktikan sebagai calon pekerja
sosial profesional
Kita
sering mendengar maqalah baik bersumber dari yang sifatnya sakral maupun
profan dalam kehidupan kita seperti, khoirunnas anfa’uhum linnas, Innallaha
la yughayyiru maa biqaumin hatta yughoyyiru ma bi anfusihim, to help
people to help themselves. Apa esensi dari itu semua?. Jika memandang
secara sosiologis, manusia dapat diperankan sebagai subjek dan objek dari kehidupan
itu sendiri. Akan tetapi jika dilihat dari perspektif ilmu kesejahteraan
sosial, manusia bisa dikatakan sebagai objek dari ilmu kesejahteran sosial.
Bahkan ilmu antropologi, ilmu sosiologi, ilmu psikologi, ilmu politik, ilmu
bahasa, komunikasi, ilmu ekonomi menjadikan manusia sebagai objek kajian. Dalam
konteks yang lebih sempit pekerja sosial berperan sebagai subjek, dan klien
representasi dari objek. Esensinya adalah bagi calon pekerja sosial, pemahaman
diri sebagai manusia, pemahaman klien sebagai manusia merupakan hal prinsip
dalam menggunakan paradigma, pendekatan, metode, serta teknik dalam
melaksanakan atau mengamalkan “ilmu” yang didapatkan di kampus. Jadi, praktikan
harus melihat manusia, menggunakan proses internalisasi dan eksternalisasi, yaitu
ketika melakukan praktek pekerjaan sosial yang berhadapan dengan manusia dengan
berbagai aspek dan dimensinya.
Saya berpendapat
bahwa semua profesi yang berbasis ilmu-ilmu tersebut pada hakikatnya turut berkontribusi
pelayanan tertentu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi sejahtera. Pendek
kata aktivitas yang dilakukan dalam profesi-profesi tersebut di atas, termasuk
keilmuannya semua itu adalah aktivitas kesejahteraan. Oleh karena itu,
aktifitas kesejahteraan esensinya adalah kebermanfaatan dalam pelayanan antar
sesama manusia.
Kesimpulan
Sejarah
Ilmu ini berawal atau terbangun dari sebuah refleksi dan respon atas
problematika (social problems-social disfunction) yang dihadapi oleh
manusia pada level mikro hingga makro, dari hasil interaksi dan ikhtiar
perubahan (pembangunan), yang berujung pada adanya aktifitas atau praktik
(terapan). Epistimologi ilmu kesejahteraan sosial terbangun dari proses
dialektika serta adopsi dari pelbagai disiplin (interdisplin) ilmu yang ada yang
menghasilkan paradigma dan pendekatan dalam pekerjaan sosial dan pembangunan
sosial. Spesialisasi bidang merupakan keniscayaan karena adanya tuntutan
terhadap aktifitas yang fokus dalam dimensi praktik pekerjaan sosial. Ruang
lingkup pekerjaan sosial seharusnya tidak menjadi masalah jika para praktikan
punya kepercayaan diri untuk bisa melakukan fungsi dengan baik. Keterampilan
serta nilai dalam menjalankan praktikum akan sendirinya akan berkembang
seberapun kapasitas yang kalian dapat dari Kampus. Menjadi manusia dengan
segala dimensinya, agama, filsafat, ilmu, dibarengi dengan perkembangan pengalaman
serta intiusi yang terus berkembang adalah suatu keniscayaan proses dalam
menyelami dunia kesejahteraan sosial. So Don’t Worry, Be Happy.
Sumber
Bacaan
Fahrudin, A. (2012). Pengantar kesejahteraan sosial. PT Refika Aditama.
Friedlander, W. A., & Apte, R. Z. (1968). Introduction to social welfare (p. 389). New Jersey: Prentice-Hall.
Jahidin, A. (2016). Epistemologi Ilmu
Kesejahteraan Sosial Perjalanan Dialektika Memahami Anatomi Pekerjaan Sosial
Profesional. Yogyakarta: Samudra Biru.
Midgley, J. (1995). Social development: The developmental perspective in social welfare. Sage.
Suharto, E. (2004). Masalah Kesejahteraan
Sosial Dan Pekerjaan Sosial Di Indonesia: Kecenderungan Dan Isu. Sosio Informa, 9(1).
Website:
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/
https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/empati/index
Lampiran I
Lampiran II
[1]
Menurut Adi Fachrudin kesejahteraan sosial diartikan suatu keadaan seseorang
dapat mampu memenuhi seluruh kebutuhan serta mampu melakukan hubungan baik
dengan lingkungan sekitar. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, “kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan
material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya”. Menurut Edi
Suharto kesejahteraan sosial itu meliputi a) Kemampuan memenuhi seluruh
kebutuhan yang diperlukan oleh seseorang b) Suatu kegiatan yang dilaksanakan
oleh lembaga kesejahteraan sosial yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan
sosial c) Sebuah bentuk kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk mencapai hidup
sejahtera. Walter Friedlander mendefinisikan sebagai “Kesejahteraan sosial adalah sistem yang
terorganisir dari institusi dan pelayanan sosial yang dirancang untuk membantu
individu atau kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih
baik”. Dapat diambil kesimpulan bahwa Ilmu kesejahteraan sosial dapat dimaknai
sebagai sebuah “keadaan”, “pelayanan”, “ilmu.”
[2]
Oleh James Midgley dikenal dengan istilah Pembangunan Terdistorsi dan
melahirkan istilah Pembangunan Sosial, yaitu sebuah konsep yang muncul akibat
dari ketidakberhasilan pembangunan ekonomi yang tidak mampu memberikan kesetaraan
kesejahteraan bagi semua golongan masyarakat. Midgely berpendapat perlu adanya
strategi pembangunan institusional, baik yang dilakukan secara individu, kelompok
dan masyarakat.
[3]
Ontologi merupaka studi yang membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.
Ontology terbagi menjadi 2 (dua) pembahasan : 1. kuantitatif, yaitu dengan
mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?. 2. Kualitatif, yaitu
dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas
tertentu, seperti misalnya kopi yang memiliki warna kehitaman, bunga bangkaiyang
berbau tidak sedap.
[4]
Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai) dan logos
(teori), yang berarti teori tentang nilai. Aksiologi merupakan cabang filsafat
ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Jadi yang ingin
dicapai oleh aksiologi adalah hakikat dan manfaat yang terdapat dalam suatu
pengetahuan. Aksiologi menawarkan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Untuk
apa pengetahuan ilmu itu digunakan?, Bagaimana cara penggunaannya dikaitkan dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan
norma-norma moral dan profesional?. Dari aksiologi inilah muncul etika dalam
dunia profesi pekerja sosial.
[5]
Epistimologi berasal dari kata episteme, yaitu "pengetahuan",
dan logos, "ilmu." Jadi epistimologi adalah cabang dari
filsafat yang berkaitan dengan hakikat atau teori pengetahuan. Ilmu ini
meliputi pembahasan tentang asal mula, sumber, ruang lingkup, nilai validitas,
dan kebenaran dari pengetahuan.
[6]
Charities Organization
Society (COS) dan Fabian
Society yang ditransformasikan kepada sebuah pendekatan langsung menjadi the
Settlement House Movement. COS dan Fabian Society, kemudian Settlement
House Movement, adalah titik awal perkembangan profesi pekerjaan sosial
profesional.
[7]
Intervensi sosial perorangan
berkembang dalam COS, dengan pelopornya adalah Mary Ellen Richmond (1861-1928),
yaitu meletakkan dasar dalam bimbingan sosial perorangan. Richmond juga membuat
buku berjudul Friendly Visiting Among The Poor (1899); Social
Diagnosis (1917); dan What Is Social Casework? (1922).
[8]
Jerman merupakan pemrakarsa awal program jaminan sosial hari tua di dunia pada
tahun 1889, yang dirancang oleh Kanselir Jerman, Otto von Bismarck. Pada tahun
1881, Ide tersebut di perintahkan oleh Kaisar Jerman, William the First, kepada
Bismarck yang merupakan anggota Parlemen Jerman. Kaisar memerintahkan:
"...mereka yang cacat dari pekerjaan karena usia dan ketidakabsahan
memiliki klaim yang beralasan untuk perawatan dari negara." Hal inilah
yang membuat Bismarck termotivasi untuk mendorong kebijakan asuransi sosial di
Jerman dalam kerangka mempromosikan kesejahteraan pekerja dengan tujuan pembangunan
ekonomi Jerman bisa bekerja secara efisiensi dan maksimal.
[9]
Louis Jean Joseph Charles Blanc: seorang sosialis, politisi dan sejarawan
Prancis yang giat dalam mendorong reformasi, Blanc sering menyuarakan pembentukan
koperasi untuk menjamin jaminan kesejahteran bagi para pekerja.
[10]
Agama tidak diragukan mampu untuk memberikan jawaban terhadap masalah sosial
dan memberikan dukungan serta resources kepada individu maupun masyarakat
dengan sistem tersendiri. Praktikan juga secara prinsipil memahami bahwa proses
praktikum ini mempunyai “hubungan” yang baik dengan Allah, agar niat serta
segala tindakan praktikum mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Praktikan
harus menyelami hal ini karena untuk profesi sebagai calon peksos, perubahan
individu tidak akan muncul jika Allah tidak “menggerakkan” hati seseorang
tersebut dan jika ada hambatan atau tantangan, solusi atau jalan keluar akan
diberikan oleh-Nya.
[11]
Filsafat juga memberikan kontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan manusia dalam
memecahkan permasalahannya, memberikan ruang gerak dalam berpikir yang lebih
bebas dan mengakar, menyediakan pintu analisis dari berbagai arah terhadap
setiap permasalahan yang dirasakan oleh manusia. Filsafat esensinya adalah seni
berfikir.
[12]
Ilmu berkembang bercabang-cabang menjadi berbagai disiplin ilmu, baik ilmu
murni maupun ilmu terapan. Yang dimaksud ilmu di sini adalah Ilmu Kesejahteraan
Sosial itu sendiri sebagai sebuah konstruksi utuh disiplin ilmu.
[13] Di salah satu karyanya, Jahidin juga
menambahkan aspek pengalaman dan intiusi juga penting yang akan membentuk pekerja
social.
[14] Tholabul
ilmi minal mahdi ilal lahdi, tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang
lahat.
[15]
Empati adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami pengalaman dan
sudut pandang orang lain. Seorang praktikan dalam bentuk tindakan mengamati,
memahami, mengalami, dan menanggapi keadaan emosi serta gagasan dari sisi orang
lain. Dalam hal ini dari perspektif klien. Jadi empati adalah upaya mencoba
berdiri dalam situasi dan posisi orang lain dan mengakui bahwa pengalaman,
persepsi, dan pandangan setiap individu itu unik berbeda satu dengan yang lain,
sehingga memungkinkan praktikan untuk lebih memahami dan membangun hubungan
yang lebih baik, hubungan lebih kuat dengan klien. Ketrampilan ini penting
karena dapat membantu kalian dalam menentukan dan memberikan layanan intervensi
yang paling cocok sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing klien.
[16]
Berpikir kritis ini adalah kemampuan untuk menganalisa informasi yang
dikumpulkan dari hasil observasi lapangan maupun hasil pengumpulan data lainnya
seperti wawancara kemudian penelitian dan lain sebagainya. Jadi Praktikan ini
harus mampu mengevaluasi secara objektif. Berpikir kritis itu diawali dengan
melepaskan diri dari prasangka, sehingga memungkinkan praktikan untuk membuat
keputusan yang tepat, mengidentifikasi sumber daya terbaik dan merumuskan
rencana terbaik untuk membantu klien sehingga akan melahirkan proses intervensi
yang terbaik pula dan berkualitas tentunya.
[17] Harus diingat bahwa menulis juga
merupakan bagian dari keterampilan dalam berkomunikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar